"Katakan di mana bini gue lu sembunyiin, hah?! Harus berapa kali gue bilang supaya lu mengerti kalau hubungan kami itu nggak akan berakhir semudah yang lu kira, hm? Cepat bilang di mana lu sembunyikan Inna, Aldi!" teriak Torra tak tahu malu, tepat di depan halaman parkir RSUD Naibonat. Ia tak memedulikan situasi ramai pasca pergantian shift beberapa tenaga medis di sana, dan sejujurnya Aldi pun demikian.
"Gue bukan Doraemon yang punya kantong ajaib biar bisa menampung badannya Inna, Bajingan! Bukannya lo berdua udah baikan sampai nomor hape gue diblokir sama emaknya? Kenapa jadi nyalahin gue? Sehat lu?" Aldi bahkan dengan terang-terangan menertawakan tingkah Torra yang kini tengah mencengkeram kerah kemejanya, sebelum pada akhirnya sejumlah ejekan keluar dari pita suaranya.
Sedikit rasa tak percaya muncul begitu saja dalam hati Torra, melonggarkan cengkeraman tangannya tadi. Ia menyipitkan sebelah matanya yang sempat terbuka lebar, dan kekehan tawa Aldi pun kian membesar.
Kesal dengan hasil yang didapatkan, suara menggelegar Torra membuat dirinya juga menjadi pusat perhatian beberapa penggunjung serta serorang tukang bakso keliling, "Jangan bohong lu, Al! Lu tahu apa yang bisa gue lakukan untuk karir lu di tempat ini kan?"
"Ngapain gue bohongin elu! Emang ceritanya kayak gitu kok. Gue malah baru tahu dari lu kalau si Inna kabur dari rumah. Kemarin pas gue pamit kan ditinggal gitu aja nggak ada jawaban pasti. Malah elu yang dikasih kesempatan ya kan? Ya harusnya lu interopeksi diri dong! Emang waktu itu Inna lu apain sampai dia tiba-tiba kabur, heh? Lu perkosa ya? Dasar sakit jiwa! Kok lu bisa tahu dia kabur? Baru pulang dari Jakarta?" Torra menuntut Aldi untuk berkata jujur padanya, namun yang Aldi lakukan adalah terus saja mengejek, dan juga bertanya untuk menuntaskan rasa penasaranya.
"Brengsek lu banyak bacot! Bukan urusan elu!" Tentu saja tak ada satub jawaban pun yang akan Torra berikan untuk rival gilanya itu.
Torra bahkan berencana untuk melontarkan satu ancaman lagi di sana, "Terus lu ke sini dalam rangka apa, Monyet?! Pergi lu sono! Bila perlu mati aja sekalian! Taik lu!
"Anjing! Lu jawab dulu yang jujur, Aldi Wiryawan! Di mana lu sembunyikan bini gue! Jangan kabur lu?!" Tetapi mulut lancang Aldi terus memaksanya untuk berbuat kasar. Torra juga mengejar Aldi yang berlari sempoyongan menuju mobil dinasnya.
"Kampret! Gue kagak tau, PeA! Pak pak! Orang gila nih, Pak! Tolongin saya, Pak!" Dengan terengah-engah Aldi berupaya untuk bisa meloloskan diri, dan memang Dewi Fortuna sepertinya sedang berpihak pada Aldi, ketika dering ponsel dari saku celana cargo yang sedang Torra kenakan berbunyi.
Torra menghentikan langkah dan segera menarik benda pipih tersebut, membiarkan Aldi lewat begitu saja. Kecemasan tentang Inna menjadi hal yang lebih utama untuknya, namun penelepon tersebut ternyata bukanlah sang ibu mertua.
"Sial! Mau apa lagi si Laura telepon aku? Kalau bukan karena dia sekertaris partai dan orang kepercayaan Pak Cagub, sudah dari kemarin-kemarin nomornya aku blokir! Perempuan keparat nggak tahu malu! Awas aja dia!" Laura Wijaya adalah nama yang tertera di layar ponselnya, membuat sejumlah umpatan keluar bersama dengan pergerakan ibu jarinya, menolak panggilan terlepon tersebut.
Tak ada pemikiran Torra mengenai mantan kekasihnya itu lagi untuk saat ini, terlebih di saat dirinya belum mendapat kepastian akan keberadaan istrinya. Bersama deru napas yang memburu, Torra memilih untuk mendinginkan isi kepalanya di dalam mobil. Ia menaikkan volume air conditioner setelah berada di balik kemudi, mencari nomor kontak Indri Bastari untuk dihubungi.
"Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau--"
"Sialan! Kenapa lagi ini?! Kok nomornya ibu jadi nggak aktif? Coba sekali lagi." Sayangnya nomor dengan nama kontak 'Ibu Indri' tersebut tidak dapat tersambung saat itu, menghadirkan luapan emosi yang lumayan besar di sana.
Sejumlah pikiran kotor, pun menggema di antara tingkat kecemasan yang semakin tertatih menuju ke puncak. Torra berharap segala hal yang Indri utarakan bukanlah alasan Inna untuk menghindar darinya, sebab tumpukan rasa bersalah di dalam dirinya pada wanita itu sepanjang mereka menikah, entah mengapa kini telah berhasil menghadirkan satu rasa baru. Ya, rasa yang sulit untuk ia cerna dan gambarkan dengan kata-kata.
"Nomor yang Anda--"
"ARGHHH...! Brengsek! Apa-apaan ini?! Shit!" Mencoba peruntungan sekali lagi di tengah harapan tipisnya, kali ini Torra memang belum beruntung. Buku-buku jarinya mulai memutih, meremas kemudi mobil akibat kekacauan di dalam dirinya.
Saat mesin mobil sudah Torra hidupkan kembali, ternyata kendaraan beroda empat itu melaju menuju Kota Kupang, yang sama sekali bukan jalanan ke arah di mana kedua orang tuanya bertempat tinggal.
Torra melaju tak tahu diri di jalanan yang mulai padat, namun tidak lama ketika ia mengingat tentang pekerjaannya.
Sepuluh detik berkendara sembari mencari nomor kontak si kepala tukang, ponsel Torra bekerja untuk berusaha mengatasi apa yang mengkhawatirkannya, "Halo, Pak. Saya nggak kembali dulu ke lokasi sampai besok atau lusa gitu bisa kan?"
"Tapi, Bos. Besok itu orang dari kantor PU mau datang cek ke sini." Namun pria di ujung telepon merasa keberatan dengan keputusan tuannya.
Aksi saling sahut menyahut pun terjadi setelahnya, "Tolong, Pak. Istri saya hilang dari rumah orang tuanya di Jakarta sana, terus juga sekarang nomor ibunya malah susah dihubungi."
"Mungkin ke rumah saudara kali--"
"--Kakaknya sudah meninggal dunia, Pak. Sudah dulu e? Pokoknya besok kalau orang dari kantor PU datang cek ke lokasi, bilang saja saya lagi sakit, lalu tunjukkan saja berkas yang sudah saya berikan tadi pagi itu. Bisa kan, Pak?"
"Aduh, Bos. Saya agak gimana gitu."
"Tenang, Pak. Nanti saya coba kontak Pak Vincent untuk tanya-tanya, apa saja yang bakal mereka buat sekalian ngomong kalau soal tadi. Bagaimana? Bisa kan, Pak?"
"Ya sudah, Bos. Besok saya usahakan."
"Makasih, Pak. Nanti saya kirimkan uang rokoknya. Buat Bapak dari saya pribadi, bukan buat anak-anak tukang."
"Iya, Bos. Terima kasih." Dan berakhir dengan kemenangan di tangan Torra Mahardika tentunya.
Setelah itu, laju kendaraan kembali meninggi seperti beberapa saat lalu, "Tolong jangan gegabah, Sayang. Aku janji akan berubah dan memperbaiki semua kesalahanku. Aku sayang sama kamu, In. Tunggu aku di sana." Dan tujuan Torra tak lain adalah Bandar Udara Eltari yang berada di Jalan Adi Sucipto, Komplek Lanud Eltari Kupang.
Torra tidak ingin mengulur waktu agar bisa kembali bertemu dengan Inna, mengutarakan ribuan permohonan maaf dan meminta istrinya itu untuk tetap bertahan di sisinya. Banyak impian yang belum Torra wujudkan, jadi menyerah bukan pilihan untuknya saat ini.
Tekad Torra membola kian besar seiring dengan pedal gas di bawah sana yang keras terinjak kaki, hanya saja yang menjadi pertanyaan, apakah semesta akan mendukungnya lagi kali ini? Hem, semoga.
***
BERSAMBUNG...
Follow akun temanku MemeyMecxa2 ya, Teman-teman. Follow juga akunku di aplikasi Dreame dengan nama ID Julia Inna Bunga. Makasih. Masih panjang cerita ini. Kalau bosan dan merasa penuh drama kayak nonton sinetron, saya tidak melarang untuk terus membacanya. Terima kasih banyak atas dukungan teman-teman semua. Selamat malam...
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...