40. Pergi

116 26 18
                                    

Pattar mengendarai motornya dengan kecepatan di atas rata-rata. Begitu tiba di depan rumah Hana, ia buru-buru mengetuk pintu lebih keras dari biasanya. Pattar bisa mendengar suara kaki melangkah mendekati pintu. Air mata sudah memenuhi pelupuk matanya seperti bendungan yang bisa jebol kapanpun.

"Pattar, bisa nggak sih ..."

Pattar langsung memeluk Hana. Wanita itu terkejut dan membutuhkan beberapa detik untuk memahami situasi.

"Pattar, lo kenapa?"

"Papa kecelakaan Hana." Pattar tidak melepaskan pelukannya dan menangis dengan keras.

Hana menepuk-nepuk punggung Pattar setelah memahami situasinya. Setelah Pattar cukup tenang, Hana melepaskan pelukannya, kemudian mereka duduk di sofa ruang tengah.

"Gue harus pulang."

"Sebentar lagi, lo harus tenangin diri dulu baru kita ke bandara."

"Tapi Papa kritis Hana." Mata Pattar kembali meneteskan air mata dan tangannya bergetar hebat.

"Pattar, denger gue, Papa baik-baik aja. Lo harus tenang." Hana menggenggam tangan Pattar sebagai bentuk dukungan. Sebenarnya Hana tidak bisa meyakini kata-katanya sendiri. Tapi, Hana harus membuat Pattar tenang, meskipun harus mengatakan hal yang bahkan tidak bisa ia pertanggungjawabkan.

Setelah Pattar tenang, Hana mencari tiket pesawat yang memiliki waktu keberangkatan tercepat.

"Oke, gue udah booking tiketnya. Kita ke bandara naik taksi aja."

Pattar yang tidak memiliki kekuatan untuk berdebat hanya mengangguk menyetujui ide Hana.

Sesampainya di bandara.

"Handphone lo mana?"

"Buat apa?"

"Gue harus telpon Bang Petra buat jemput lo di bandara. Kondisi lo gak stabil sekarang."

"Terima kasih, Hana."

"Papa lo, Papa gue juga. Inget gue juga anaknya."

Pattar menyerahkan handphone kepada Hana. Hana menyentuh angka 7, beberapa saat kemudian di layar muncul nama 'Bang Petra'. Meskipun mereka tidak begitu akrab, ternyata angka 7 masih menjadi panggilan cepat Pattar untuk satu-satunya saudara yang ia miliki.

"Halo."

"Halo Bang, ini Hana. Pattar sekarang ada di bandara, pesawatnya berangkat pukul 19.00. Tolong jemput dia di bandara jam 19.55 ya. Kondisinya nggak stabil, tolong ya."

"Kamu selalu sepeduli itu sama Pattar." Suara Petra terdengar lemah dan tanpa emosi.

"Bang, ini bukan saatnya untuk bahas tentang itu."

"Terima kasih, Hana." Panggilan singkat itu berakhir begitu saja.

Hana mengantar Pattar hingga pesawatnya berangkat. Meskipun tidak tenang, ia berusaha percaya kalau Papa baik-baik saja.

***

Hana berada di ruangan berdinding putih yang dipenuhi oleh alat laboratorium, mengenakan jas lab yang hampir setiap hari ia gunakan. Saat ia berada di ruang isolasi, suara ponselnya tidak berhenti berdering. Hana buru buru keluar dari ruangan itu untuk mengangkat telponnya.

"Halo, Bun."

"Hana, kamu bisa pulang hari ini?"

"Kenapa tiba-tiba minta aku pulang?"

"Papanya Petra dan Pattar meninggal dunia 10 menit lalu, ini Bunda sama Ayah lagi urus administrasi rumah sakit. Kamu bisa pulang kan?"

Lutut Hana melemas, ia merasa tidak mampu menopang tubuhnya sendiri "Iya, Bun. Aku pulang sekarang."

The Untold Story ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang