50. Senja Merah Di Bukit Berkabut

5.9K 1.1K 104
                                    

“Cerita ini fiktif

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Cerita ini fiktif. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan”

© Story of “Surga di Balik Jeruji” by @NailaAfra
.
.
.
.
.
.
.
.

“Merasa hadirku hanya memberi hukuman pada orang yang menyayangiku”

***

Tersenyum lebar menjadi hal yang paling sulit untuk Daffa lakukan sebelumnya. Tapi sekarang bibirnya akan mengukir senyum pada hal sederhana. Contohnya pada saat ini! Ketika dia selesai berjualan di pasar kemudian hasil dagangannya terjual habis.

“Pak Slamet pasti bakalan senang,” gumam Daffa berbicara pada diri sendiri. “Dia bisa membeli beberapa liter beras dengan uang ini.”

Dia mendorong gerobak yang sekarang terasa ringan, walaupun hasil uang yang didapat dari hasil menjual sayur tidak seberapa tapi tetap saja dia tidak bisa berhenti untuk tidak tersenyum. Dia mendorong gerobak dengan penuh semangat. Sesekali berhenti untuk melihat lagi pada lembaran uang yang berada genggaman, tidak banyak, hanya uang yang berjumlah kurang dari sepuluh ribu. Tapi entah kenapa membuat Daffa ingin sekali berlari ke atas bukit dan memperlihatkan kepada Slamet kalau hasil panen yang dia tuai dengan bekerja keras di ladang dibeli oleh penduduk desa. 

Lima bulan telah berlalu sejak Daffa tersadar dan terbangun di rumah bambu di atas bukit berkabut, di mana seorang kakek tua bersama cucu perempuannya yang gila merawat Daffa. Dia tidak mempunyai tempat untuk pergi sehingga mereka menawarinya sebuah tempat dia berpulang. Daffa mulai terbiasa, pada teriakan Zahra yang menganggu setiap hari, membangunkannya ketika menjelang subuh, Aurina Zahra menjadi orang pertama yang bangun di bukit berkabut, dia selalu duduk di depan rumah menunggu fajar menyapa. Daffa pun mulai mengerti apa yang Slamet si kakek tua penyandang tunarunggu katakan, bahkan melalui gerakan tangan ataupun dari suara gagap Slamet yang mencoba memanggil dalam kesunyian dunia yang dia miliki.

Daffa Raffan membuka dirinya kepada Slamet, kepada Zahra, kepada kedua orang yang juga dikucilkan oleh orang-orang desa. Daffa mulai menganggap rumah bambu bukit berkabut adalah tempat tinggal sekarang.

Slamet adalah orang baik. Daffa tidak bisa melupakan raut kekhawatiran dari wajahnya tadi pagi, saat Daffa menawarkan bantuan kepada Slamet, mengambil alih gerobak yang berisikan sayuran hasil panen.

“Biar saya saja yang membawanya ke desa. Ke pasar seperti biasa bukan?” Daffa mengambil alih gerobak yang susah payah Slamet dorong. “Saya sudah tahu cara menjual ini. Saya sudah mempelajari semua harga.”

Slamet menggelengkan kepala dengan enggan. Dia memberikan tatapan cemas. Lalu berucap dengan lidah kakunya. “Jangan.”

“Saya cukup sehat. Saya sudah pulih sepenuhnya,” jawab Daffa menyakinkan. Dia mengambil beberapa kentang dari tanah untuk dimasukkan dalam gerobak. “Pak Slamet jangan khawatir. Lagipula saya merasa tidak enak kalau tinggal di sini tanpa melakukan apapun.”

Surga di Balik Jeruji | LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang