do i need to say the reason why

108 17 10
                                    

"Kenapa tidak bersiap?"

Pundak Sabrina melocat satu milimeter karena ia sudah pastikan ia sendiri setelah seorang siswa Ravenclaw meninggalkan Great Hall dan rungunya tidak menangkap satu suara pun, bahkan insting pertahanannya tidak muncul. Kepalanya telah menoleh ke arah suara yang mengejutkannya; rambut hitam dan baju hangat rajut yang Sabrina tahu itu jahitan seorang Ibu. "Sepertinya kau tidak lihat kalau aku sedang sibuk di sini," cetus Sabrina sembari mengangkat buku tebal yang sedang ia baca.

"Maka dari itu aku bertanya, Petrova."

"Kudengar rumah Hufflepuf pintar."

"Memang."

Sabrina menjatuhkan wajahnya diatas kertas lapuk berbau usang, menelan geraman ditenggorokannya sebelum menoleh lagi ke lelaki yang mengganggunya, "Jung Hoseok," panggilnya, "aku bisa loh mempraktikkan mantra yang baru aku pelajari saat ini."

"Oh ya?" terkadang Sabrina sulit sekali untuk melihat mana yang disebut kesabaran rumah Hufflepuf atau sifat kepribadian alami yang mengalahi rumah sihir mereka, "yang mana? Coba aku ingin tahu."

"Tidak ada." Sabrina menutup bukunya sama seperti ia berusaha menutup konversasinya di saat Hoseok memperburuk keadaan dengan duduk disampingnya. "Kenapa tidak bersiap? Sebentar lagi semua orang akan berangkat ke stasiun."

"Aku yang tanya duluan."

Sabrina, sabar, Salazar Slytherin tidak mengatakan untuk membuang energi pada seseorang yang tak dapat memberimu sesuatu berharga. "Aku tidak pulang, Hoseok."

"Oh."

"Nah, sekarang kau pulang."

"Tidak mau ditemani?"

Kesetiaan? Kepada teman? Hoseok mencoba mempertahankan reputasinya sebagai Hufflepuf? Sabrina seorang Slytherin terlalu independen untuk itu. "What? No! Why would I?"

"Kalau diajak ke rumahku?"

Sabrina menghela napas. "Tidak juga, trims."

"It's holiday, though."

Sekarang Sabrina mengusap wajahnya dengan tangan yang belum ia cuci sehabis memegang buku lapuk yang ia pinjam dari perpustakaan, bokongnya bergegas untuk lepas dari kecupan kursi, dan memeluk bukunya saat melangkah, "And my family doesn't want me to come to ruin it," ia mendesah, lalu melirik Hoseok yang membuntutinya dari belakang, "but your family does. Jangan kasihani aku, semua orang sudah menunjukkan kartu kesedihan mereka di depan wajahku karena aku tak punya siapa-siapa untuk liburan, walaupun mereka salah sih, aku punya jadwal untuk menemukan tempat tersembunyi Hogwarts dan membantu Professor menyiapkan materi untuk semester depan, ah, menyusun rencana belajar untuk semester depan. So, don't pity me, I have load of shit to do."

Gadis itu berdecak, sekarang terusik karena Hoseok tak muncul saat ia tahu keduanya sama-sama menyentuh lantai pertama koridor dari grand staircase. "Hei, jangan dibelakangku terus, kau seperti peri rumah."

"Oke, sekali lagi," celoteh Hoseok saat memiliki langkah yang sama seperti Sabrina. "Mau datang ke rumahku?"

Sabrina tersenyum muak. "Tidak."

"Walaupun aku punya sesuatu yang bisa aku tunjukkan kepadamu?"

"You owe me nothing."

"But I think you gonna like it."

"Kenapa ... kenapa kau melakukan ini? It's not like we're friends or even a thing," Sabrina tak memutus langkahnya untuk melihat wajah Hoseok, bibirnya bergetar sedikit, ia telah mempelajari kalau ia sedikit gamblang jika menyatakan sesuatu, terlebih lagi kepada seorang Hufflepuf, "we barely talk to each other?"

Giliran Hoseok yang mengambil waktunya untuk mengatur kosa katanya untuk dikeluarkan, Sabrina bersorak dalam hati karena akhirnya alasan masuk akal akan tib---, "Just ... because."

Bagus. Sabrina terpaksa loncat menghadap Hoseok dan menunjuk di depan wajahnya dengan tongkat sihirnya, "Surgito."

Hoseok mempertahankan ekspresinya, sebab tidak ada apa-apa. "Apa aku terlihat seperti dimantrai?"

"Nope." Sabrina menggeleng, "but my quick observation said yes."

Hoseok menghela napas, ow, itu menyakitkan, karena itu tindakan yang seharusnya Sabrina lakukan. "Oke."

Sabrina memutar tubuhnya lagi dan memimpin jalan, kedua tangannya mengunci dipunggungnya, "jadi, apa kau menggunakan obliviate kepadaku?"

"Tidak, Sabrina."

"Lalu apa?" gadis itu memutar sol sepatunya menuju jendela kaca dari koridor yang mereka telusuri. Memandangi keramaian dari murid-murid Hogwarts berbaris untuk memenuhi kereta tak berkuda itu, "Semua ini apa?"

"I think ..." Sabrina tidak memberi perhatian lagi kepada Hoseok, membiarkan lelaki itu terjebak pada pikirannya di belakang punggungnya. "I'm gonna miss, seeing you, so, yeah."

"Why would you?"

"Because I said so."

"Oh," Sabrina mengarahkan tongkat sihirnya ke dahinya dan berbisik. "Surgito."

"Aku juga tidak bawa ramuan cinta."

Pengakuan singkat Hoseok membuat skala defensif Sabrina meningkat, kurang lebih lima persen, tongkat sihirnya menunjuk ke tubuh Hoseok lagi, "Accio amortentia," Sabrina terkekeh, "Kenapa? 'kan bisa berguna untuk membawaku ke tempatmu."

"It's weird."

"Alright," Sabrina membawa kedua tangannya untuk ditaruh di tulang pinggangnya, satu lulutnya menekuk sebelah sehingga sebagian besar bobot tubuhnya ditahan oleh satu sisi tubuhnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan kepadaku sebelum pergi?"

Hoseok membuang napasnya, "Sure," ia tidak terlihat gelisah ataupun cemas, hanya seorang lelaki dengan rambut hitam, mata sipit, dan warna mahoni di matanya, mengeluarkan sapu tangan dari saku celananya dan mengulurkannya kepada Sabrina. "Happy Christmas," tuturnya.

"Happy Christmas," Sabrina membuka sapu tangan yang dilipat rapih itu, lantas tersenyum saat mendapati sulaman bulan dengan awan yang menutupi seperempatnya, "your mom do this too?"

"No, I did it."

"Oh, magic?"

Hoseok memutar bola matanya. "My magically hands," balasnya, "I'll see you next year, perhaps?"

"You gonna hear about me a lot."

"I wouldn't mind though." Hoseok melangkah melewati Sabrina, tidak terburu-buru meskipun kereta tak berkuda telah bersiap-siap berangkat menuju Stasiun Hogsmeade, langkahnya pasti, tak seperti cerita romansa di mana sang karakter menolehkan kepalanya sejenak pada perempuan yang ditinggalkannya. Sabrina tertawa kecil, aneh, sebab tidak ada referensi yang bisa ia samakan selain dongeng tentang pengakuan tanpa sebab itu. [ ]

do i need to say the reason whyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang