"Nak, belilah roti ini, satunya seribuan," ucap wanita paruh baya menawarkan barang dagangannya kepadaku. Aku menatap wajahnya yang tampak kelelahan, bibirnya memamerkan senyum keibuan.
"Ada apa saja, Bu?" tanyaku sembari menilik wadah yang berisi macam-macam jajanan pasar.
"Dadar gulung, brownis, martabak unyil, sama bolu kukus, Nduk," ucapnya bersemangat.
Aku sebenarnya memiliki uang yang hanya pas untuk pulang. Sedari tadi aku menunggu minibus, belum ada satupun yang lewat. Namun, melihat ibu yang dihadapanku ini, aku merasa iba."Hmm,,,beli dadar gulungnya 2 sama bolu kukus 3," ucapku akhirnya memutuskan. Ibu itu mengangguk semangat. Tangan keriputnya mengambil pesananku, sesekali mengusap peluhnya dengan lengan bajunya. Nampaknya sangat kelelahan.
"Ibu tinggal dimana?"
"Di dusun Kalijajar, Nduk. Lumayan jauh dari sini," tukasnya sambil terus mengemasi pesananku."Dari kapan Ibu jualan?" tanyaku sambil mengamati wajahnya yang keriput. Namun, di balik itu, ada secercah semangat dari sang Ibu itu. Dari sudut bibirnya, terkesan sekali ia sosok yang murah senyum.
"Setiap pagi Ibu jualan sampai malam, hal ini Ibu lakukan sejak suami Ibu meninggal," ucapnya sembari menyodorkan pesananku. Aku menerimanya sembari mengucap terimakasih.
"Jalan kaki dari Kalijajar?"
"Ya,"
Ibu itu kembali tersenyum keibuan. Ubannya sedikit kelihatan dibalik kerudung lusuhnya."Kalau Ibu tidak keberatan, bisa Ibu ceritakan kisah Ibu, maaf Bu. Bukan bermaksud memaksa, saya hanya...," ucapku terpotong.
"Tidak apa, Nduk," kilah Ibu sembari mengangguk pelan. Aku balas senyumnya."Panggil Ibu, Emak Tonah saja. Emak terlahir dari keluarga yang serba pas-pasan. Sejak umur 5 tahun, orangtua Emak meninggalkan untuk selama-lamanya. Jadilah sejak kecil Emak jadi yatim-piatu,"
"Emak sejak saat itu hidup bersama Bukde, yang kebetulan saat itu belum memiliki anak," Emak Tonah menarik napas dalam. Seakan hendak menceritakan hal yang teramat bersejarah di hidupnya, yang tak bisa ia lupakan.
"Namun, sikap Bukde ke Emak benar-benar membuat Emak nelangsa. Setiap malam Emak meratap, menangis, dan tak jarang Emak nekat bunuh diri. Hanya saja Emak memang belum ditakdirkan untuk mati, jadilah Emak masih bernafas sampai sekarang,"
ucapnya terpotong sebentar tatkala ada pembeli yang datang. Seperti biasa, Emak memamerkan senyuman lebarnya kepada siapapun pembelinya. Ah, aku dibuat malu dengan semangatnya yang tak pernah kendor.
"Lanjutkan," ucap Emak setelah rampung melayani pembelinya. Tak ketinggalan senyumnya menambah hangat senja yang agak temaram.
"Sejak kedua orangtua Emak meninggal...,"
"Maaf Mak, saya potong. Kalau boleh tahu, orangtua Emak meninggal karena apa?" tanyaku sembari mengerutkan dahiku yang agak berkeringat. Mendidih sejak berhadapan mata kuliah yang dibimbing dosen killer."Bapaknya Emak merupakan seorang sopir angkot dan ketika hendak mengantarkan Ibunya Emak yang saat itu hendak melahirkan anak keduanya, yakni Adik Emak, Qadarullah. Nasib buruk menimpa mereka. Akibat terlalu tergesa-gesa, angkot yang Bapak bawa mengalami kecelakaan.
Tabrakan dengan truk, yang membuat angkot peyok dan nyawa Bapak-Ibu serta adik Emak yang masih dalam kandungan, tak bisa terselamatkan," Emak perlahan menyusut airmatanya dengan kerudung lusuhnya. Akupun sedikit tersentuh mendengarnya.
"Sejak peninggalan mereka, Emak hidup bersama Bukde dan bukan kebahagiaan yang didapat, melainkan kesengsaraan. Betapa tidak, setelah menamatkan SMP, Emak disuruh menjadi wanita malam melayani ikan-ikan kakap dari manapun. Emak pernah kabur dari rumah, namun Bukde yang kesetanan itu memiliki banyak pengawal, jadilah kembali Emak dibawa ke rumah Bukde,"
"Jadi, Bukde Emak memiliki club terlarang itu?," tanyaku yang disusul anggukan Emak.
"Masa muda Emak dihabiskan dalam jeratan kesengsaraan," sambungnya lagi."Saat usia Emak menginjak dua puluh tahun, emak divonis mengalami kanker rahim yang sejak saat itu rahim Emak diangkat. Sejak saat itu Emak taklagi bergelut dalam pekerjaan haram itu. Emak bahagia, namun Emak juga bersedih karena sampai kapanpun, Emak tak bakalan punya keturunan," tak terasa, pipiku sudah basah. Sementara Emak hanya bisa menghela napas panjang.
"Banyak yang saat itu melamar Emak, namun setelah mengetahui kekurangan Emak, mereka satu persatu mundur perlahan. Tak jadi mempersunting Emak,"
"Namun, disaat hati Emak hancur, ada seorang lelaki datang menemui Emak dan ingin melamar Emak. Emak ceritakan semua tentang Emak, dia tetap menerimanya. Mungkin dia adalah sosok yang Allah perintahkan untuk menjadi kekasih Emak," senyumnya sedikit mengembang.
"Kebahagiaan belum sepenuhnya terasa, suami Emak meninggal setelah 5 tahun menikah. Suami Emak dibegal oleh komplotan hitam di dusun Emak. Sejak saat itu, Emak hidup sebatang kara, tanpa orangtua, tanpa anak dan hanya kepada Allahlah, Emak menggantungkan hidup,"
Tak sadar, airmataku meleleh dengan derasnya. Emak Tonah, wanita perkasa yang membuatku bisa sedikit membuka mata, nasibku tak lebih buruk daripadanya. Namun, semangatnya membuatku merasa kecil berhadapan dengannya. Lama kupeluk tubuh kurus Emak, dalam hati aku bergumam "Allah selalu bersamamu, Emak,"