Hiruk pikuk massa manusia, berpulang dari pencarian nafkah untuk keluarga, kekasih, ataupun dirinya sendiri. Hidup memang tak selalu gampang. Tuhan menciptakan Adam dengan segala kebutuhan dan keinginan yang terpenuhi di singgasana surga waktu itu, tapi kenapa dia harus tergoda untaian hasutan iblis sampai akhirnya ia dan keturunannya harus menghabiskan sisa hidup di dunia yang semakin hari semakin tak bersyukur ini. Jika ditelaah, sepenuhnya bukan salah Adam, jika saja Hawa bisa menyingkirkan rasa penasaran dan ingin tahunya, mungkin Adam tidak akan mencicipi kesalahan yang kemudian akan ia sesali. Wanita memang selalu seperti itu, selalu ingin tahu, merepotkan.
Rangguna Adi Wijaya, umur 25 tahun, hidup dengan keadaan yang kadang kala tercukupi, kadang kali tidak. Apa ia tidak bersyukur? Mungkin sesekali, iya. Jika ia dihantam masalah yang tak ada henti-hentinya, sesekali terbesit angannya yang meragukan keadaan Tuhan. Tubuhnya tinggi dengan punggung bidang yang terlihat kokoh dari belakang, lekuk tulang wajahnya menarik kulit-kulit wajahnya yang menempel sehingga membentuk rupa yang manis dan awet dipandang. Sayangnya, ia lelaki yang malas mengumbar senyum, matanya selalu terlihat malas, bahkan helaan napasnya selalu merasa muak dengan keadaan sekitar.
ia menghabiskan hampir 10 jam di kantor, dengan berbagai macam tugas dan manusia. Tugas dan manusia di kantornya itu tak jauh berbeda, sama-sama menyusahkan. Pakaiannya masih terjaga bersih, kemeja putihnya masih menempel rapi , lengan kemejanya di gulung ke atas, sebagian lengannya yang kekar tereskpos, yang dibentuk dengan olahraga rutin 4 kali seminggu di waktu senggangnya. Ia menunduk, membaca dengan seksama pesan singkat di whatsapp, benda kotak itu ia masukkan ke dalam saku celana sebelah kanan. Matanya menangkap sepatunya yang kian lusuh, aku akan menggantinya di akhir bulan. Gumamnya dalam hati. Tak lama lagi bentangan kota akan kembali ia nikmati dari balik jendela kereta.
Desis gesekan besi baja yang saling berotasi menghentikan transportasi panjang nan hebat ini, suara desingan gas yang terdengar seperti helaan napas lega setelah berkeliling kota melewati rel yang sama setiap hari. Akhirnya kereta itu bisa lenggang beberapa saat, sesaat sebelum para halayak manusia masuk mengisi lambung kosong di tiap sudut bagiannya. Rangguna masuk, melangkahkan kakinya ke dalam gerbong. Orang-orang saling berdesakan, perang dingin memperebutkan kursi selalu terjadi di jam pulang kerja seperti saat ini. Bising-bising suara manusia, gesekan tas, ransel dan pakaian menderu jelas.
Rangguna hendak merebahkan diri di salah satu kursi, bersamaan dengan seorang perempuan seumurannya, mereka saling pandang, siapa yang akan menduduki kursi itu. Dengan senyum hangat, Rangguna mempersilahkan perempuan itu duduk, perempuan itu menolak, ia mempersilahkan Rangguna dengan gerakan tangan dan senyum manisnya. Tapi Rangguna bersikeras mempersilahkan perempuan itu. Ia lelaki, bukan hal yang sulit berdiri, sembari kedua tangannya bergantian berpegangan pada Hand Strap jika salah satunya mulai pegal.
Bentangan kota melintas cepat di luar sana, kereta ini menderu gagah. Menggerakkan besi baja yang saling berdentuman memutar. Perlahan kecepatannya pun mulai konstan, stabil dan seimbang. Aroma tak nyaman menyambar indra pembaunya, sepertinya pria tua di sebelahnya ini lupa menggunakan deodoran tadi pagi. Ia bergeser 3 Hand Strap ke kanan, menjaga jarak agar hindungnya sehat-sehat saja saat sampai di rumah.
Laju besi panjang ini perlahan melambat, lagi-lagi ia mengeluarkan helaan napas lega saat berhenti total, masih tersisa 2 stasiun lagi sebelum akhirnya Rangguna keluar dari pekatnya manusia di tempat sempit ini. Walaupun perjalanannya tak sampai di situ, ia harus memesan Ojek Online, melewati belantaran bangunan dan rumah-rumah, 4 lampu lalu lintas, 12 belokan sampai akhirnya ia sampai di tujuan.
Perempuan itu ternyata turun di stasiun ini, ia menyodorkan secarik kertas di tangan Rangguna dengan cepat, ia sempat berbalik tersenyum sampai akhirnya menghilang dari pintu kereta yang menutup sendiri, menghapus raganya di luar sana. Akhirnya Rangguna bisa merebahkan diri di kursi logam yang sebenarnya tak terlalu nyaman itu, ia membuka secarik kertas yang di gulung dengan tergesa-gesa. Calista, rentetan tinta membentuk sebuah nama. Lalu tertulis jelas 12 angka, sudah pasti itu nomor whatsapp perempuan itu, Rangguna tersenyum, memasukkan secarik kertas tadi ke dalam sling bag nya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untaian Kata Pinggir Jalan
PoesíaHanya sekelabat raungan kepala yang tiada henti berangan-angan. Tak tahu harus ku ceritakan dan ku gambarkan untuk siapa. Bacalah, telaah, dengarkan, dan juga kalau kau bisa. Rasakan.