Larut yang Gemulai

16 1 0
                                    


     Hembusan nafasmu terikat di pamflet calon dewan. Tak mau kalah, letih psikismu menyatu karbon monoksida. Weekend yang tetap saja membuat beban menebal. Berkompromi tentang mimpi–impian.

     Induk pemikiranmu menoleh, menelusuri jengkal demi jengkal keriuhan seraya memasang tanda tanya di setiap yang melintas di depanmu. Sesekali memilih berhenti, mensyukuri hidup, menengadah dalam pejaman, memainkan imaji menaiki kapas terbang, sedetik kemudian memaki dan menajam di barisan banner yang masih wangi.

     Jika ini film superhero, kuyakin semua orang akan menghindari kita. Sebab jelagamu pasti sudah memunculkan laser. Melukis umpatan dimuka rapi mereka.

     Senin yang menjelang larut kamu menelpon. Kamu bilang susah tidur. Pikiranmu melayang-layang  memenuhi kamar. Kamu sesak napas. Ide, imaji, halusinasi berjubel di tiap rongga. Padahal sebelum tidur kamu (katamu) telah menggosok gigi, berwudhu, dan menyebut nama-Nya yang Maha beserta kekasih-Nya.

     Hening menyambangi kita. Lima menit menikmati nyanyian malam penuh keraguan. Kamu tiba-tiba terbahak. Sontak aku melempar benda persegi panjang di tanganku. Suaramu tambah menghentak. Sembari mengatur nafas, kamu mengejekku yang terkejut.

     Kamu bercerita banyak. Sama seperti biasa aku terkantuk mendengarkanmu. Celetukanmu memang menyebalkan. Setiap kali aksara itu keluar dari tulang lunakmu aku harus berpikir. Dan ada benarnya paragraf yang kamu siarkan.

     Es dalam tubuhmu mencair. Uapmu mengeras ke pendengaranku. Aku seperti anak kecil menunggu detik-detik fabel akan segera berakhir.

     Ajaibnya, seperti malam-malam sebelumnya yang membuat kita terjaga. Kasih-Nya telah memenuhi semesta. Penguasa sepertiga malam telah datang. Kamu mengucapkan syair padu firman-Nya yang menggetarkan seluruhku. Ayat Arsy-Nya mengalun merdu melingkupiku.

     Kamu menghela nafas perlahan. Kutebak kamu sedang tersenyum lega sekarang. Pelepasan telah menaungimu. Rasa bebas yang menyita kita dari arti sebenarnya. Terkadang begini saja tak apa, kamu yang lagi-lagi meyakinkan.

     Kamu menjelma pendongeng dan aku setia menjadi telingamu. Kamu berangsur-angsur mengulang hamdalah, beserta kawan-kawannya. Berterima kasih padaku meski terkantuk mau menjadi sahabat manusia sepertimu. Kamu yang tau aku di zona merah berpesan padaku untuk tidak lupa menyebut nama-Nya beserta kekasih-Nya sebelum melelapkan bunga tidur. Mengucap salam dan membiarkan aku menutup perbincangan tepat pukul dua tiga puluh Selasa dini hari.

     Justru akulah yang bersyukur. Pemilik semesta mempertemukan kita di antara milyaran umat-Nya. Kamu memang menyebalkan dengan kepala batumu, segala sifat jelekmu, dan untungnya kamu masih manusia biasa. Meski begitu ikatan syukur beserta pengajaran hidupmu menuntunku, melunakkan hatiku. Sesungguhnya inilah kasih Dia, Sang Maha Cinta.

22.09.20
Jul

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 22, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

TafahusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang