Prolog

49 5 7
                                    

"Shadow teacher?"

Nawang mengerutkan kening. Menatap Bagas dengan heran.

"Yup. Guru bayangan. Shadow teacher, aid teacher, guru pembimbing khusus. Sama saja. Intinya mereka mendampingi anak berkebutuhan khusus."

Bagas membuka gawai dan memperlihatkan sebuah foto. "Ini Ayu. Keponakanku. Sekarang kelas IX. Dia ABK. Anak berkebutuhan khusus."

Nawang menatap lekat wajah Ayu. Cantik dan terlihat normal seperti anak seusianya.

"Dia ADHD. Sekilas memang tampak normal, namun ada kalanya dia tantrum. Ayu susah konsentrasi saat belajar karena itu ia butuh guru pembimbing khusus."

Nawang mengerutkan kening, tampak berpikir keras. Tawa Bagas pecah melihat ekspresi kekasihnya. Diusapnya kepala Nawang.

"Serius banget mikirnya. Materi kelas IX mudahlah buat Nawang Maditaningtyas, mahasiswi berprestasi Fakultas MIPA."

"Bukan materinya, Bagas. Ayu ini yang aku pikirkan. Bisa tidak aku menjelaskan pelajaran-pelajaran sulit seperti Matematika, Fisika, Biologi pada Ayu?!"

"Tidak akan tahu kalau tidak mencoba." Bagas tersenyum simpul. Diketuk-ketuknya meja kafe sambil bersenandung kecil. Seolah tak acuh namun ekor matanya berulang kali melirik Nawang.

"Nawang Maditaningtyas, sang aktivis pasti suka dengan tantangan."

Nawang melotot, sebal dengan aksi provokatif Bagas. Bagas terkekeh. Namun mulutnya tetap saja mengoceh, mengeluarkan semua stok rayuan.

"Nawang cantik yang lembut. Tak akan tega melihat seorang anak tak berdaya dalam kegelapan."

"Ayu ini ABK, Bagas, bukan tunanetra."

"Ayu tidak paham satu pun materi yang diajarkan gurunya. Artinya dia berada dalam kegelapan. Tak ada tangan yang menuntunnya menuju cahaya ilmu."

Nawang tergelak. "Kenapa bukan kamu yang menuntunnya. Kamu omnya."

Bagas mendengus. "Aku tak sesabar kamu saat berhadapan dengan anak kecil. Karakter cerdas, tampan, dan berwibawa seperti aku ini lebih cocok mengajar mahasiswa, Nawang sayang."

Nawang mencibir. Mulai kesal dengan rasa percaya diri kekasihnya yang over dosis.

"Baiklah. Akan kucoba." Nawang mengangguk mantap.

Bagas tersenyum lebar. Segera berdiri dan menarik tangan Nawang.

"Eh mau ke mana, Gas?"

"Ketemu Ayu. Kamu harus kenal Ayu dulu."

***

  Mobil yang dikemudikan Bagas masuk ke sebuah halaman yang cukup luas. Beberapa pohon mangga tumbuh di kanan kiri. Rimbunnya memayungi rumah bergaya joglo yang terlihat teduh. Meja kursi dari kayu jati berdiri gagah di teras rumah. Kicauan burung menambah nyaman suasana. Berada di sini, mengingatkan Nawang pada rumah kakek nenek di Yogyakarta. Memunculkan rasa tenang dan damai dalam dirinya.

"Nawang, ini Mas Joko, kakak sepupuku. Dia ayah Ayu."

Suara Bagas mengalihkan perhatian Nawang pada sosok lelaki setengah baya di depannya. Tubuh Joko tinggi besar. Seulas senyum tercetak di wajahnya. Senyum yang sama dengan milik Bagas.

"Ini Mba Endang, istrinya."

Nawang mengalihkan tatapannya pada seorang wanita semampai di sebelah Joko. Meskipun sudah tidak muda lagi, namun gurat kecantikan masih terpahat di wajah Endang. Gurat yang sama dengan milik Ayu.

Joko dan Endang merupakan pasangan yang ramah. Obrolan akrab disertai gurauan mengikis kecanggungan Nawang. Joko dan Endang terlihat cerdas dan berwawasan. Selalu ada topik yang mengalir membuka percakapan-percakapan baru.

NawangTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang