Hujan Enam Pagi

68 11 13
                                    

Hujan Enam Pagi




































          Begitu aku sampai di halte tempat biasa aku menunggu bus yang akan membawaku menuju sekolah tiba, hujan tiba-tiba saja turun dengan deras. Untung aku sudah dibekali jas hujan dan payung oleh Ibu, jadi aku bisa memastikan diri tidak akan kehujanan. Tapi, memang pagi itu, kota tempat aku tinggal sudah mendung. Bahkan pukul tiga dini hari tadi sudah hujan cukup deras dan berhenti di pukul setengah lima pagi.

          Sekarang pukul enam pagi ketika aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku kemudian mendudukkan diri di salah satu kursi panjang besi milik halte. Di sebelahku, duduk seorang wanita dan seorang anak laki-lakinya yang aku tebak umurnya baru menginjak lima tahun.

          “Hujan, Le, ndak usah sekolah ya, di rumah aja.”

          “Tapi, Yaya pengin main cama temen-temen, Bu....”

          “Iya, tapi nggak sekarang. Sekarang kan hujan, kamu nggak kuat sama cuaca dingin kayak gini apalagi hujan, nanti kamu cepet sakit. Emangnya Yaya mau sakit?”

          “Kalo cakit, dibawa ke doktel ya, Bu? Nanti Yaya dicuntik dong?”

          “Disuruh minum obat juga sama Pak Dokter. Yaya mau?”

          “Nggak mau ah! Obat Pak Dokter lasanya pait, Yaya nggak cuka!”

          “Ya udah, sekolahnya besok aja ya. Hari ini main di rumah aja sama Ibu.”

          “Mauuuuu!!”

          “Nanti sambil minum susu terus makan roti bakar buatan Ibu. Enak loh, Yaya.”

          “Aciiikkkk!!”

          Aku yang mendengarnya hanya bisa tersenyum tipis. Dulu aku juga pernah ada di posisi adik kecil ini. Ketika hujan turun di pagi hari saat aku hendak ke sekolah, Mama pasti menyuruhku libur. Guru TK juga tidak masalah karena TK pasti sepi ketika hujan turun.

          Rasanya ya, saat itu, aku tidak perlu mengkhawatirkan apapun. Ketika Mama bilang kalau aku boleh libur sekolah karena hujan, aku langsung mengganti seragam yang aku kenakan dengan pakaian rumahan kemudian berlari ke ruang tengah. Tidur di atas kasur kecil sembari menonton televisi dan minum susu dengan dot sementara Mama melanjutkan memasak sarapan.

          Saat itu, aku tidak memiliki banyak ketakutan, kecemasan, ataupun kekhawatiran. Paling-paling hanya takut pada hantu yang dengan sok beraninya aku tonton melalui tayangan televisi. Paling-paling juga hanya takut pada gemuruh petir yang bergemuruh seolah sangat dekat ada di atas genteng rumahku kemudian Mama pasti berbaring di kasur sebelahku, memeluk aku dengan erat sambil menyanyikan lagu pengantar tidur. Dengan itu, dengan sesederhana itu, aku sudah bisa tidur lelap tanpa merasakan ketakutan lagi.

          Kekhawatiran dan kecemasan juga tidak ada kala aku kecil. Aku bahkan tidak pernah merasakannya. Paling-paling hanya cemas saat Mama lama sekali ke pasar sementara aku menunggu di rumah sendirian. Tapi begitu melihat Mama pulang dari pasar dengan sepeda biru mudanya, aku akan tersenyum bahagia dan menyambut kedatangan Mama dengan perasaan yang senang dan lega.

          Tidak seperti aku yang sekarang. Sudah sampai di umur delapan belas, kelas tiga SMA, dan semenjak itu banyak kekhawatiran dan kecemasan yang menghantuiku tak pernah usai. Bahkan untuk menghadapi hari esok saja, aku juga pernah khawatir. Khawatir apakah aku bisa survive di hari esok, khawatir apakah hari esok akan lebih sukar dilalui dibanding hari ini, khawatir akan masa depan.

          Ketika kecil, hari esok adalah misteri dan aku tidak pernah memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa yang akan menimpaku. Aku hanya menjalaninya dengan sederhana. Tapi ketika umurku semakin bertambah, walaupun aku tahu kalau hari esok akan selalu jadi misteri dan rahasia semesta, aku selalu menebak segala kemungkinan buruk maupun baik yang akan terjadi padaku dan tak heran bila itu membuatku cemas.

          Wah... dewasa ini banyak sekali yang aku cemaskan. Prinsip hidupku yang memilih mengikuti alur semesta kadang tidak mempan untuk sekadar membuatku tenang. Aku selalu mudah panik.

          Hujan di pukul enam pagi seperti ini membuatku semakin tidak ingin berangkat sekolah. Rasanya ingin membolos saja, tapi apa daya. Aku sudah kelas tiga dan absensi adalah hal yang menentukan nilaiku nanti.

          Pada akhirnya, kulihat Ibu tadi beserta anak laki-lakinya yang menggemaskan masuk ke taksi yang aku duga sudah dipesan beberapa menit yang lalu oleh si Ibu supaya anaknya bisa cepat pulang dan tidak kedinginan karena lama-lama di luar ruangan.

          “Neng, naik nggak?”

          “Iya, Bang!”

          Aku buru-buru menaiki bus yang selalu mengantarku ke sekolah. Mencari tempat duduk yang kosong dan untungnya masih ada.

          Aku menolehkan pandang ke sebelah kiri yang menampilkan jalanan kota yang basah kuyub karena hujan masih enggan berhenti mengguyur bumi. Aku membuang napas pelan. Mencoba menerima kesibukanku sebagai seorang murid kelas tiga dan tetap menjalani hidup dengan sebagaimana mestinya.

          Walau keinginan kembali jadi anak kecil itu selalu terlintas di dalam pikiran tatkala aku lelah.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 23, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Enam PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang