Bagian Sembilan Belas

561 74 18
                                    

Langit yang berwarna oranye, menjadi saksi saat Gus Atma menikmati dari kejauhan wajah Mbak Galuh yang teduh. Gejolak darah mudanya ingin sekali menemuinya. Tapi sebagai laki-laki ia tak mau dianggap tak berakhlak karena mengungkapkan perasaan di saat yang tak semestinya.

Apalagi dirinya seorang Gus yang begitu dekat dengan fitnah. Ya, menjadi Gus bukanlah hal yang spesial. Tapi ia butuh kesabaran dan kerendahan hati untuk mengerti jalan hidupnya.

Jika di sisi lain hatinya ia adalah Gus dan menerima titisan darah para orang alim. Namun di sisi lain ia juga memiliki tanggungjawab besar untuk umat. Untuk menjaga ajaran Islam tidak melenceng dari yang diajarkan Al-Qur'an dan hadits.

Gus Atma menarik napas. Wajah ayu Mbak Galuh yang sedang menyiram tanaman di depan ndalem Paklek Salim kembali membuat dada Gus Atma berdesir. Hal yang baru ia sadari adalah adanya sikap dan watak uminya dalam diri Mbak Galuh.

"Gus."

Merasakan sebuah tangan ada di pundaknya, Gus Atma terkejut. Ia ingin menoleh, tapi ia juga tak bisa menebak siapa yang kini ada di belakangnya.

Menghirup napas dalam sebelum membalikkan badan. Ia sangat lega hingga menghembuskan napas ketika Gus Atma melihat sosok Gus Atmi di belakangnya. Adiknya itu tersenyum lebar sambil melirik usil kepada kakaknya.

"Kamu usil banget sih, Mi," sebal Gus Atma memukul kecil lengan adiknya saking gemasnya.

"Wahahaha. Lha Gus Atma cuma berani liatin anak orang, nggak berani nikahin. Ups." Gus Atmi pura-pura keceplosan lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Halah, ngomong apa sih, Mi. Aku mau saja menikahi Mbak Galuh, tapi seminggu lagi kita berangkat ke Mesir." Gus Atma mendengus.

Tak mengerti kenapa ia bisa sangat terpengaruh dengan kehadiran wanita itu. Terkadang heran juga bagaimana bisa adiknya itu lebih santai persoalan cinta ketimbang dirinya.

Gus Atmi menatap ke dalam mata kakaknya. Terlihat jelas kegelisahan di sana. Mungkinkah cinta benar-benar telah terpatri dalam? Gus Atmi melihat kakaknya itu sangat tidak nyaman.

"Atau Mas Atma nikahi saja Mbak Galuh? Sepertinya Mas Atma nggak akan tenang 7 tahun jauh dari Mbak Galuh." Gus Atmi memikirkan ide gila yang tidak sengaja terlintas di pikirannya.

"Jangan ngawur, Mi." Gus Atma semakin bingung. Di sisi lain ia memang ingin menghalalkan perasaannya yang sangat mengganggu. Mungkin menikah satu-satunya cara agar ia tenang.

"Istikharah saja, Gus. Kalau memang dengan menikah bisa membuat Gus Atma lebih tenang, aku akan matur Abah." Gus Atmi tersenyum semringah.

Pelan namun pasti, ada kelegaan tersendiri dalam hati Gus Atma mendengar kalimat adiknya. Bayangan indahnya pernikahan mampir di dalam kepalanya. Tak sadar membuat bibirnya sedikit terangkat.

##

Malam begitu khidmat. Membelah keheningannya dengan munajat meminta petunjuk. Gus Atma bersimpuh dan terus memohon ampun kepada TuhanNya. Sebagai mana yang dikatakan Abah Muntaz beberapa waktu lalu. Sebelum meminta sesuatu, alangkah baiknya kita membersihkan diri dan hati.

"Astaghfirullahalladzim alladzila illa ha illahuwal hayyul qoyyum." Lirih namun Gus Atma merasa sangat tenang. Ia berharap Allah meridai keinginannya. Dan Allah memberi jalan yang terbaik.

Gus Atma terdiam. Sekelebat bayangan datang di pelupuk matanya. Bayangan itu begitu gelap. Bahkan Gus Atma tak mampu menyibak petunjuk itu dengan jelas. Ragu dan alpa, ia sama sekali tak mendapat jawaban dari kerisauannya. Tapi setitik rasa bersalah bercokol di hatinya. Betapa lemah imannya saat ini. Gampang tergoda dengan nafsunya yang begitu besar. Meraba-raba ragu yang semakin besar, Gus Atma tahu tak seharusnya ia maju untuk mengikat
Mbak Galuh seperti rencana semula.

"Aku tidak boleh terbawa suasana. Biar saja Allah yang menuntunku. Aku ingin fokus mencari ilmu dulu," bisiknya pada diri sendiri.

Gus Atma baru saja akan memejamkan mata saat tiba-tiba pintu diketuk. Ia merasa sangsi, biasanya Gus Atmi tak kembali ke kamar di waktu malam seperti ini. Gus Atmi adiknya terbiasa mentadabburi malam dengan di masjid atau asrama putra. Mereka memang hanya boleh berada di pesantren malam hari, karena Abah Muntaz tak mengijinkan putra kembarnya berkeliaran tak berguna di pesantren.

"Atma belum tidur?" Suara Abah Muntaz membuat Gus Atma bangun dari sajadahnya. Ia membuka pintu dan membiarkan Abahnya duduk di tepi ranjang.

"Abah kok belum tidur?" Gus Atma terkesiap, berusaha mencairkan suasana dengan pertanyaan yang malah membuat senyum di wajah Abah Muntaz.

"Sing biasa e yahmene wes turu kuwi awakmu, Ngger." Abah Muntaz menggeleng heran. Menyadari ada sesuatu yang disembunyikan oleh anaknya.

"Abah dengar awakmu minta nikah ya?" Abah Muntaz kembali membuka percakapan.

Gus Atma hampir terlonjak. Terkejut bahwa keinginannya tempo hari sampai di telinga Abahnya. Gus Atma menggerutu, bingung mencari alibi.

"Atmaja Abqari?" Abah Muntaz menyadarkan anaknya yang malah melamun setelah ditanya tentang pernikahan.

"Dalem, Abah?"

"Ck, ck. Opo atimu wes mantep rabi?" Abah Muntaz tidak mengulur waktu. Enggan berbasa-basi.

"Mboten, Bah." Gus Atma segera menjawab. Meski jawaban cepat, Gus Atma sama sekali tidak berbohong. Ia memang telah memikirkan benar-benar.

"Terus karepmu piye?"

"Atma ajenge fokus sekolah riyin." Suara Gus Atma samar. Untung saja Abah Muntaz memasang pendengarannya dengan tajam.

"Yowes, sukur." Abah Muntaz kembali berdiri lalu menyentuh pundak anaknya. Ada sedikit rasa bangga karena pemikiran anaknya lebih dewasa dari yang ia duga.

"Atmi sing ngomong, jare pengen dirabekne sakdurunge nang Mesir." Senyum di wajah Abah Muntaz masih berkembang. Bersyukur bahwa anaknya tak lekas terbawa perasaan untuk menikah saat belum siap.

"Lho, Gus Atma kok plin plan? Jare kate ngelamar mbak Galuh?" Gus Atmi muncul di balik pintu dengan wajah manyun. Ia malu karena telah grasak-grusuk mengatakan kepada Abahnya.

"Kosek kene a!" Gus Atma segera memiting kepala Gus Atmi. Saking sebalnya dengan tindakan adiknya itu.

"Aduh, ampun Gus." Gus Atmi mengaduh. Tak menyangka jika apa yang dia pikirkan terlalu jauh dari kenyataan. Ternyata Gus Atma sama sekali tak sungguh-sungguh ingin menikahi Mbak Galuh.

"Mene-mene maneh lek kate ngomong dipikir dhisik, Mi!" Abah Muntaz menjewer telinga anak bungsunya.

Seperti Gus Atma, Abah Muntaz juga sebal dengan tindakan Gus Atmi yang tidak berpikir jauh terlebih dahulu. Untung saja Gus Atmi tidak berkata kepada lurah pondok atau perangkat desa, kalau Gus Atma akan menikahi Mbak Galuh. Jika itu terjadi, mereka akan tertimpa masalah lebih berat.

"Wes kene anak lanangku kabeh." Abah Muntaz kembali duduk di samping dipan. Berusaha mendekati anak-anak yang sebentar lagi meninggalkannya untuk menuntut ilmu.

"Abah pesen sing eleng lan waspodo ning negara liyo. Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung. Ojo sok gumede, ojo sok biso." Petuah Abah Muntaz sambil matanya berkaca-kaca. Tak bisa membayangkan hari-harinya tanpa dua permata hati yang begitu ia sayangi.

Tak terasa, mata Gus Kembar juga telah gerimis. Mereka bertiga saling berpelukan. Dalam hati mereka berdoa semoga setelah berpisah nanti mereka bisa kembali berkumpul.

Assalamualaikum warahmatullahi wa barokatuh teman-teman

Akhirnya setelah memaksakan diri untuk bangun dari Hiatus yang entah sejak kapan, bisa juga menulis lagi.

Mohon doanya ya kawan-kawan. Ingin menulis rutin seperti dulu lagi.

Oh iyaa, sebelumnya author minta maaf ya kalau nanti tentang perjuangan Gus Kembar menuntut ilmu di Mesir harus author skip karena kurangnya ilmu author menulis tentang negara itu. mungkin hanya sekilas-sekilas saja author bahas.

Jangan lupa vote dan komennya ya.

Di Persimpangan Sirr Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang