010 — like a date — Kita gila bareng, gue engga mau gila sendiri.
Setiap bekas Langit lalui terekam di memorinya, termasuk rencana yang belum terealisasi tersimpan rapih dalam ingatan ingin dilaksanakan segera. Entah bersama semesta menyimpan rencana, atau bersama langit yang selalu menemani setiap kakinya menuju.
Namun itu dulu. Langit sekarang, menolak melangkah bersama atap bumi. Yang Langit inginkan balik ke masa-masa sebelum rencana-rencananya tersusun. Sebelum ia ditinggalkan seseorang yang menuju tempat lain tanpanya.
Saat kini Langit baru saja mengambil potret gadis dengan senyum menawan yang mirip sering Langit lihat ketika dulu.
"Nih." Langit memberikan ponsel kepada pemilik.
Darin segera melihat hasil bidikan lelaki berambut gondrong yang sering diikat. "Lihat Kal, Wong ayu dari sudut apa wae tetep ayu aku." Darin percaya diri memuji, kemudian mematikan layar ponsel menaruh dalam tas kecil ia punya satu-satunya.
"Narsis ya mba Darin," cibir Langit.
Mereka memutar tubuh bersamaan kembali lagi melihat aquarium piranha, ada banyak ikan jenis air tawar itu. Langit mulai iseng mendorong sedikit bahu Darin menggunakan kedua tangan. "Hayo! Awas nanti kacanya pecah, kita jadi santapan piranha, terus masuk berita."
"Ih Kala, apa sih."
"Besok jalan-jalan ke luar kota yuk," ucap Langit.
"Dhateng pundi?" Darin bertanya pergi ke mana pada Langit.
"Hm." Langit bersedekap, jari telunjuk diletakan bawah dagunya. Berpura-pura berpikir.
Usai menyewa lapangan badminton selama dua jam, pukul sepuluh Langit menawarkan makan dahulu, tawarannya malah ditolak, mereka membeli pengganjal perut saja di Minimarket sebelum menuju Jakarta Utara.
Ngomong-ngomong Sea World mereka datangi belum terlalu ramai, entah mungkin karena hari biasa atau mereka berkunjung pukul sebelas, di waktu tempat edukasi dunia laut buka jam sepuluh. Tetapi destinasi ini diramaikan oleh kumpulan anak-anak lucu berseragam cerah kuning biru melakukan kegiatan field trip, berkeliling dipandu pemandu dan seorang lima guru berjaga depan dan belakang barisan. Sekolompok yang Langit tak tahu TK asal mana, pasti tidak lama akan histeris melihat ikan karnivora dibelakangnya.
"Hii... bu guru! Itu ada ikan piranha!"
"Ihh banyak!"
"Woah banyak banget ikannya!"
Nah, dugaan Langit benar.
Darin yang menunggu jawaban, pelan-pelan digiring Langit menuju area lain, bergantian pada bocah-bocah gemas berseragam olahraga kuning biru. Perlahan suara pemandu yang sibuk memberikan pengetahuan mengenai biota air tawar terdengar menjauh, seiring kaki mereka melangkah melanjutkan ke area terowongan bawah laut. Namanya Antasena tunnel.
"Rencananya ke tempat agak dingin. Besok bawa setelan baju hangat, jangan bawa celana pendek apa lagi besok berangkat pakainya rok. Don't wear skirt, short pants or anything yang pendek-pendek. Pakai celana panjang."
"Besok ke mana memang?"
"Ada lah."
"Sampeyan iki kalau mau ngajak, aku ndak boleh tau."
Langit tersenyum jenaka saja, tangannya mengusap-usap pelan pucuk kepala si gadis. "Pindah ke sini aja, Dar." Ajaknya menginjak bagian kanan bawah, mirip eskalator datar di bandara. "Lumayan kalau lagi males jalan."
"Kamu ini jangan asal pegang rambutku, aku sudah keramas tahu!"
Langit mengeluarkan tawanya gelinya. "Apa hubungannya? Tangan aku ndak bau loh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Satu Minggu Jakarta
Teen FictionRomansa metropolitan// Langit tidak selalu menampakan cerahnya, terkadang langit memunculkan awan mendung menemani manusia penuh harap. Seperti Langit Sangkala, ia menunjukan kalau laki-laki tidak selalu kuat, sebagai laki-laki juga bisa rapuh, juga...