4. Menjadi Ksatria

105 35 9
                                    

Betapa cerobohnya aku, di hari sepenting upacara sumpah menjadi ksatria, aku malah bangun kesiangan. Sebenarnya semalaman aku nyaris tidak tidur karena tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupanku menjadi ksatria, terutama jika identitasku sebagai pemilik pedang suci terungkap. Aku begitu sibuk dengan pikiranku sendiri sehingga aku baru bisa tidur nyaris saat pagi datang. Alhasil, pagi ini aku malah bangun kesiangan. Setidaknya, aku bersyukur bahwa aku bermalam di istana sehingga aku tinggal mencari tempat acaranya akan diadakan, tapi betapa kejamnya Leedo dengan meninggalkanku begitu saja! Aku mengecek kamarnya, dan di sana kosong. Bisa dibilang di bangunan tempat para ksatria tinggal, aku tertinggal sendirian.

Aku segera bersiap-siap dengan secepat kilat. Aku membersihkan diri seadanya, lalu segera memakai seragam ksatria kerajaan. Aku tidak sempat mengikat rambutku, jadi rambutku yang sudah tumbuh sepanjang leherku aku biarkan tergerai. Aku harus bergegas ke tempat acara akan diadakan supaya aku sempat melakukan sumpah ksatria.

Tak sampai sepuluh menit kemudian, aku sudah berlari di sepanjang koridor istana supaya aku segera sampai. Anehnya, seisi istana ini malah kosong. Jangan-jangan upacaranya sudah dimulai? Gawat, aku benar-benar harus segera bergegas. Aku mempercepat langkahku supaya aku bisa segera sampai di lapangan upacara akan diadakan.

Tapi sebentar, semakin aku berlari menjauhi kamarku, suasana istana semakin aneh saja. Kemarin aku dan rekan-rekan baruku telah melakukan persiapan untuk upacara pengangkatan sebagai ksatria hari ini. Sehingga seharusnya aku tahu di mana upacara itu akan diadakan. Tapi sekelilingku terasa asing dan rasanya ini bukan jalan menuju tempat acara. Bukan bangunan istana yang terlihat, lama-kelamaan yang terlihat hanyalah pepohonan saja. Sial, sudah kesiangan, malah tersesat. Sepertinya aku tadi salah berbelok karena buru-buru. Di saat seharusnya aku memperhatikan jalan supaya segera sampai, aku malah mengambil jalan yang salah dan membuatku semakin lama untuk sampai. Tampaknya hari ini adalah hari tersialku.

Setelah menyadari bahwa suasana sekitar semakin asing, akhirnya aku menghentikan langkahku. Aku mulai menatap sekeliling untuk mengamati pemandangan sekitar. Tapi sayangnya, aku yakin sekali aku belum pernah berada di istana bagian ini. Aku tidak tahu ini tempat apa, namun di sini terlihat hijau dan berwarna-warni. Tampaknya ini adalah taman belakang istana, atau sejenisnya, karena semakin aku amati yang ada di sekeliling memang hanya bunga-bunga dan pohon saja. Selain itu hanya ada beberapa kursi dan meja juga, beserta gazebo. Tapi aku tidak pernah tahu bahwa ada taman seperti ini di istana, karena di sini benar-benar kosong. Seolah tempat ini adalah bagian taman yang tidak terpakai. Istana memang selalu terlalu luas, dan aku terkadang bisa sangat-sangat buta arah.

Menyadari bahwa aku memang telah tersesat, aku mulai melangkah pelan-pelan. Jika aku lanjut berlari, aku pasti akan semakin tersesat. Makanya langkah terbaik adalah berjalan dengan hati-hati, sementara pandanganku tetap menatap sekeliling. Di tempat yang kosong dan asing ini, sepertinya jalan keluarnya hanyalah mencari seseorang yang mengenal istana untuk ditanyai di mana arah menuju lapangan. Karena aku rasa akan percuma jika aku mencoba mencari jalan keluar sendiri jika ujungnya aku hanya akan memutari tempat ini berulang-ulang. Tapi aku nyaris frustrasi karena di tempat ini tidak terlihat jalan keluar, maupun eksistensi akan seseorang.

Setelah beberapa saat berkeliling, akhirnya di tengah-tengah kesialanku, aku menemukan kehadiran seseorang. Ia sedang membelakangiku dan tampak sedang melihat-lihat bunga yang mekar. Aku tidak tahu itu siapa, tapi aku bersyukur setidaknya ada orang lain di sini. Dari belakang, ia tampak mengenakan jubah. Tubuhnya juga cukup tinggi. Mungkin ia adalah ksatria seniorku yang sudah berada di tingkat tinggi. Tapi siapa pun ia, aku bersyukur ada seseorang yang bisa aku tanyai setelah memutari tempat ini.

"Ini adalah bunga lili yang indah."

Tidak sengaja aku mendengar kalimat itu darinya saat aku berjalan mendekat kepada untuk menanyakan tentang arah. Bunga lili? Aku penasaran apa yang ia lihat sehingga aku mencoba mengintip dari balik bahunya. Terlihat ada beberapa bunga dengan kelopak berwarna putih di depannya. Namun jika aku lihat baik-baik, yang sedang ia puji bukanlah bunga lili, melainkan bunga amarilis. Mungkin karena bunga yang tidak dikenalinya memiliki nama yang sama denganku, aku jadi refleks menegurnya.

AMARYLLIS (ONEUS & ONEWE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang