TB&TV | Bagian 32

134 17 2
                                    

Melihat punggungnya saja ... sosok Adimas yang dulu selalu melintas.

Berlebihan kan? Ya memang. Aku juga heran mungkin saja aku yang terlalu membanggakan Adimas atau karena mengagumi sosoknya yang sekarang, alhasil aku tidak dapat mengelakkan otakku untuk tidak mengembara ke masa lalunya terus-terussan.

Keren, menarik dan tidak bisa dielak kalau Adimas ini, good looking.

Kata anak-anak kelas lain seangkatan kami-- yang kudengar-dengar, kelas kami ini memang terkenal karena berisikan beberapa murid yang enak saja untuk dipandang.

Ya, jelas saja. Ada Adimas.

Satu murid saja cukup, apalagi dengan satu kata beberapa aku sudah bisa tahu siapa-siapa saja.

Adimas menggulung lengan panjang baju kokoh putihnya hingga ke sikut. Percuma saja dia menggulung, toh sudah ada cat air yang mengenainya.

"Del, lo punya yang putih?"

"Hah? Oh ini." Aku segera memberinya cat air putih yang sudah tidak kupakai.

"Udah selesai?"

"Dah lah," kataku dengan nada meremehkan.

"Coba liat?" Tanyanya membalikkan badannya setengah.

"Lo duluan."

Adimas mengangkat kanvas miliknya mengalah.

Dan mohon maap, aku langsung tertawa mereaksi gambar miliknya.

"Jelek ya? Sama lo, jelek."

"ANJIM!" Aku membelalakkan mata bukan tersinggung, terkejut saja Adimas mengeluarkan kalimat itu.

Dia, semakin terbuka padaku.

"Lo juga jelek!" Hardikku membalas.

Dan seketika itu juga Adimas tertawa lepas namun dengan aura kalemnya. Anak laki-laki itu merebut kanvas milikku tanpa izin melihat hasil yang sudah kulakukan hingga dua jam mata pelajaran ini.

"Jangan lah! Lo mah nyebelin." Aku menunjuk-nunjuknya seraya menghentakkan kakiku kesal.

"Kenape?" Aku memajukan tubuhku, menumpu sikut di atas meja hendak mengetahui pendapatnya.

"Bagus loh."

"Halah bacot."

"Kok jantan?"

"Apanye jantan?"

"Ini jantan," kata Adimas seraya menunjuk gambar yang dimaksudnya.

"Itu buaya mana ada jantan."

Adimas mengernyitkan dahinya kentara. Dia tertawa pelan. "Gak kritis," ejeknya langsung.

"Hah apaan sih?"

"Buaya identik dengan?"

Aku menaikkan alisku bingung. Ada satu saja yang identik untuk dijadikan perumpamaan. "Cowok?"

"Nah itu."

"OALAHH!! Wah ngatain kaum sendiri hahahahahaha."

Adimas ikut tertawa saja.

Rasanya kelas yang awalnya memang berisik semakin berisik karena kami berdua.

Ketika aku kembali untuk duduk di tempat, aku tak sengaja mendapati Indy sempat melirikkan mata ke arah kami.

Aku meringis. Memaki dalam hati, aku buru-buru merubah mimik wajahku menjadi datar dan mencoba untuk mengurangi pergerakanku.

"Selain lo gak kritis, lo juga gak peka Del."

The Bully and The VictimTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang