"RIVAILLE!"
"Bos! Ada apa?!"
Napas gadis itu tersengal-sengal, dadanya yang nyeri dan sesak naik turun, beberapa butir keringat dingin menempel di dahinya. Menggulirkan mata memandang sekitar, dia kemudian menghembuskan napas lega saat sang asisten menatap khawatir dari balik kursi kemudi.
"Syukurlah, hanya mimpi. Kukira aku betulan mati."
"Bos bermimpi buruk lagi, ya?" Nara—asistennya yang berambut pirang—bertanya dengan raut khawatir.
Ayumi menghembuskan napas berat, menyandarkan punggungnya dan memijat pelipis. "Begitulah," sahut Ayumi seadanya. Perempuan bersurai panjang itu terdiam sejenak, kemudian memandang serius pada Nara. "Nara, apa kamu pernah bermimpi mati secara tragis?"
Yang diberi pertanyaan mengerutkan kening bingung. "Mati secara tragis? Tidak. Itu mengerikan, aku-"
Mendesah lelah dan meraih botol minumnya, perempuan berambut legam itu berikutnya mengibaskan tangan tak peduli. "Ah, sudah, lupakan. Tolong ingatkan aku siapa klien kita hari ini?"
Nara mengatupkan bibir, mencibir dan memandang aneh. Kendati cukup penasaran dengan apa isi mimpi buruk atasannya, Nara memilih abai, mengambil dokumen tentang klien yang sudah menunggu di dalam restoran. Toh, belakangan bosnya memang kerap memimpikan hal di luar akal sehatnya. "Kita akan bertemu Erwin Smith, seorang direktur utama serta sahabatnya-"
"Oh, aku ingat dia!" Ayumi menegakkan tubuh, ekspresinya kegirangan dengan sorot menggebu-gebu. "Ayo cepat, Nara! Jangan biarkan lelaki tampan menunggu terlalu lama!"
Nara menganga kecil, menghela berat ketika Ayumi tahu-tahu sudah keluar dari dalam mobil, meninggalkan tas beserta dokumen penting begitu saja. Gadis muda itu mendesis, memandang tak habis pikir juga setengah jengkel sebelum berlari menyusul atasannya dengan kedua tangan penuh bawaan. "Bos! Hati-hati, Bos bisa tergelincir!"
Namun Ayumi abai. Sama sekali tidak menggubris. Perempuan itu memang selalu punya semangat berlebihan setiap memiliki pertemuan dengan pria rupawan.
Si gadis bersurai pirang mendesah lega saat menemukan Ayumi berdiri di ambang pintu. "Bos, jangan lari-lari terus! Capek, tahu!"
Melihat atasannya tidak menjawab dan hanya berdiri bak idiot, dia mencibir, kemudian menolehkan kepala ke dalam ruangan. Nara menahan napas ketika menyadari betapa rupawannya paras dua pria dan seorang perempuan muda di sana. Pantas saja Ayumi sampai membeku begitu.
"Bagaimana bisa Hanji Zoe ada di sini juga?" ucap Nara lirih, matanya bergerak menangkap sosok pria di samping Erwin Smith. Itu- "Rivaille Ackerman?"
"Eh, sejak kapan kalian di sana?" Hanji Zoe, perempuan cantik berkacamata adalah orang pertama yang menyadari presensi Ayumi dan Nara. "Astaga, ayo masuk! Kami sengaja memilih ruangan ini agar obrolan kita lebih ter-"
"Hei, Mata Empat, hentikan. Biarkan mereka masuk."
Hanji mengatupkan bibir, bersungut-sungut sebal, namun tetap menurut.
"Bos, ayo cepat masuk," bisik Nara. Ayumi tersentak, berikutnya jadi tersenyum kikuk lalu bergerak masuk.
Tersenyum ramah, dia mendudukkan diri di hadapan pria berambut pirang. "Maaf datang terlambat, jalanan benar-benar macet total." Ayumi benar-benar menyembunyikan keresahannya dengan baik. Memilih mengabaikan pria berambut hitam familier yang kini menatapnya intens.
Hanji menyenggol lengan Rivaille. "Oi, Rivaille, bukankah kekasihmu bertambah cantik?"
Ayumi membeku.
"Benar. Zeus sudah menjanjikan kehidupan yang layak untuknya." Pria itu bersidekap, memandang Ayumi lurus.
Nara menatap bingung saat menyadari Ayumi bergerak tak nyaman di tempatnya. "Maaf, sebaiknya-"
"Sudah lihat mimpimu? Itu bukan sekadar mimpi. Itu ingatanmu yang berasal dari kehidupan sebelumnya. Dua ribu tahun lalu, kita benar-benar mati secara tragis di tangan Ares."
Ayumi gelagapan, terkekeh kikuk. Dia melirik pada Erwin yang tersenyum simpul.
Pria bermata kelabu itu bangkit, melangkah dan berdiri di samping Ayumi yang terduduk kaku. "Maaf mengejutkanmu," katanya dengan suara rendah. "Aku menemuimu untuk memenuhi ucapan yang tak sempat aku penuhi, mengenai pernikahan kita."
Rivaille merendahkan tubuh, bibirnya hanya berjarak beberapa senti dari cuping Ayumi, membuat gadis itu dapat merasakan hembusan napas hangat pria itu, hal yang membuat tubuhnya meremang. "Menikahlah denganku, Ayumi. Mari tebus janji kita di masa lalu."
[Fin]
KAMU SEDANG MEMBACA
Quintessential [COMPLETED]
FantasySempurnamu, biar aku saja yang tahu. Kamu milikku, aku milikmu. Bukankah itu sudah cukup untuk kita? Kamu semestaku. Seharusnya kamu paham, aku tak berdaya tanpamu. Sejauh apapun kamu melangkah pergi, aku akan tetap menanti kamu kembali, meski hingg...