Apa yang harus dijelaskan? Tidak ada. Yang tidak dimengerti? Tidak ada juga.
Pernikahan mereka jelas dan sah. Bukan pernikahan kontrak.
Keduanya sama-sama waras saat melaksanakan akad.
"Kalau mau pulang, saya antar."
Naraya tidak menjawab. Keluar dari kamar mandi, wanita itu melihat Bima masih berada di kamar.
"Ingin saya pergi sekarang?"
Tanya Naraya tidak bisa dijawab oleh Bima. Bukan ingin mengusir wanita itu. Tapi, dia cukup tahu diri. Dari tadi malam sudah membuat wanita itu lelah.
Meletakkan handuk di teratak kecil penyangga, Naraya berjalan ke arah Bima yang berdiri membelakangi kaca rias.
Keduanya berdiri saling berhadapan. Saling menatap dalam keasingan.
"Karena keadaan, antara kita terikat." Naraya mengatakan kebenaran. Lantas bertanya sebuah fakta yang sudah ter-ikrar. "Akad semalam, apakah permainan takdir?"
Tidak. Bima tidak beranggapan seperti itu.
"Katakan apa yang Ibu inginkan. Saya akan memenuhinya." kalaupun harus dipecat sore ini, akan diterima laki-laki itu.
"Saat meng-akad saya semalam, apa yang terpikirkan?"
Mungkinkah Bima menjawabnya?
"Katakan saja. Status saya sekarang, layak mendengarkan."
"Maaf," ucap Bima. "Saya tidak pernah main-main. Apalagi menganggap Tuhan sedang bersandiwara."
Mata Bima tidak sanggup menyelam dalamnya tatapan Naraya.
"Menikah berarti siap menjaga seumur hidup."
Bima tidak mendapatkan respon Naraya.
"Janji saya pada almarhumah, akan memperlakukan siapapun yang akan menjadi pendamping saya dengan baik."
Sepuluh detik berselang, Naraya mengembalikan kalimat Bima. "Kalau begitu lakukanlah."
Terkejut? Tentu.
Bukan hanya Bima. Naraya juga kaget.
Mereka tidak bisa dikatakan dekat. Sebagai atasan dan bawahan yang hanya bertemu saat meeting. Jelas, Naraya tidak begitu mengenal dengan semua kepala staf di perusahaannya.
Dengan almarhumah, dirinya baru bertemu dua kali. Lantas, takdir menginginkan semua seperti hari ini.
Nyonya Brawijaya? Sekelibat, ucapan Damar menyusup.
"Mereka menyuruh saya istirahat."
"Tentu, istirahatlah." Bima mempersilahkan Naraya
Kaki Naraya melewati tubuh Bima. Untuk seorang laki-laki dewasa seperti Bima, tak perlu mendekatkan hidung untuk mencium harum yang terasa asing tapi menggugah sesuatu.
Ketika melihat Naraya tidak langsung berbaring, Bima bertanya, "Ada apa?" mata Naraya menatapnya seperti biasa. Dingin.
"Bukankah satu kamar hanya ada satu ranjang?"
Bima meminta maaf. "Saya akan tidur di kamar sebelah."
"Kenapa?"
Tanya Naraya dijawab lugas oleh Bima, "Kamar di sini banyak. Jangan khawatir."
"Saya bertanya kenapa harus di kamar lain? Ranjang ini tidak muat untuk dua orang?"
Mata Bima membola. Sebiasa mungkin ia menormalkan sikapnya.
"Tidurlah. Semoga pertemuan nanti malam akan singkat."
Bima bukan gengsi, apalagi malu. Tapi, pantaskah ia tidur di samping wanita yang tak lain adalah atasannya? Terlepas siapa wanita itu dalam hidupnya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wanita Penguasa (Tamat- Cerita Lengkap Di PDF)
General FictionJatuh, bangun. jatuh dan bangun lagi untuk berjuang hingga titik darah penghabisan. Bait ke berapa dalam sejarahnya, hingga wanita itu dikenal kejam dalam mengambil keputusan?