Iki Palek

14 4 11
                                    

Tidak ada lagi rintik air yang menjatuhkan diri dari netra. Lagi-lagi, saya punya kalbu tersayat sembilu. Memang tidak berdarah, tetapi sakitnya begitu menyiksa.Pandangan ini enggan melepas fokus dari titik yang mendukakan suasana hati.Sekumpul bebatuan yang telah menelan jasad para pejuang punya. Salah satunya merupakan purnama yang selalu menyinari kegelapan saya punya malam. Melepas pergi orang terkasih untuk kesekian kalinya, belum mampu membuat saya menjadikannya biasa saja. Rasanya masih tetap sama. Atma ini bagai dicabik secara paksa oleh benda berujung tumpul, begitu sakit.

Annike Si Wanita Malang, itu adalah julukan yang pantas dilabeli untuk saya. Kini saya benar-benar hidup sebatang kara menanggung beban derita kehilangan. Saya ingin bersuara keras untuk meluapkan segala derita yang menimpa. Namun, apa daya, berbicara saja sudah teramat sulit untuk dilakukan. Tenggorokan saya tercekat tanpa alasan.

Saya punya jiwa sudah hampa.

Saya punya tatapan sudah mati mengembara.

Sungguh sangat menyedihkan saya punya peristiwa.

Tubuh menyerupa ranting,  pakai busana berona lusuh, serta rambut keriting tiada bentuk semakin memburukan penampilan. Saya tidak peduli bagaimana orang lain memandang. Mereka orang hanya mampu melihat, bukan merasakan apa yang terjadi.

Satu demi satu pelayat pergi meninggalkan pemakaman, menyisakan saya seorang yang masih meratapi kepergian Geraldus, lelaki yang sangat saya cinta. Seandainya perang tidak terjadi, mungkin pelukan Geraldus masih dapat saya rasa,  sembari melihat bagaimana dia punya mulut mengatakan betapa besar rasa sayangnya pada saya.

Sekarang kenangan itu sedang saya rindukan.

Perang antara Suku Dani dan Suku Moni yang kembali mencuat lagi-lagi membawa petaka.  Kejadian itu membuat saya harus hidup tanpa memiliki orang-orang untuk dikasihi lagi.

Seandainya saja saat itu saya menahanmu untuk pergi. Dua hari yang lalu, saya punya perasaan memiliki firasat tidak enak saat Geraldus meminta izin untuk berperang. Saya tidak menyangka jika waktu itu adalah kali terahir saya punya mata melihat Geraldus terlelap di sisi saya, Lalu dia punya mata menatap saya penuh cinta. Saya juga tidak pernah membayangkan jika Geraldus punya tatapan kala itu merupakan sebuah salam perpisahan. Penyesalan begitu dapat saya rasakan dan hanya itu yang tidak pernah bisa saya abaikan.

Saya tengok saya punya kedua telapak tangan.

Tidak ada ruas jari yang tersisa.

Semuanya telah dihilangkan.

Lantas, apa yang harus saya potong untuk kepergian Geraldus?

Saya punya lutut terasa lemas untuk berdiri lebih lama. Tanpa meninggalkan makam batu milik Geraldus, saya sedikit berjalan dan duduk di tepian batu terbesar, Batu Palimanan, lantas memejam dan meredam segala rasa sakit dengan energi positif yang saya dapat melalui oksigen alamiah. Rasanya tidak ada lagi alasan yang membuat nyawa saya terasa hidup, saat satu-satunya sebab kenapa saya harus hidup justru ditakdirkan untuk lebih dulu meninggalkan.

Para jemari yang menghiasi saya punya tangan hampir kehilangan kesempurnaanya. Kosong. Saya merasakan saraf otak mengirimkan reaksi denyut untuk berpendar pada dua jari pertama yang hilang. Saat kehilangan, batinku begitu ditekan di usia yang terbilang muda. Kematian Liben dan Maruna. Anak pertama dan kedua dari sepuluh anak yang saya dan Geraldus punya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 25, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Iki Palek - HG Final Round By SylphWhere stories live. Discover now