•••
Tidak ada yang bisa memilih takdir. Ingin dilahirkan sebagai apa, seperti apa, baik bentuk rupa maupun talenta. Tidak ada yang bisa memilihnya. Salah satu jalan tengahnya hanyalah berserah dan bersyukur.
Itulah yang dilakukan oleh Park Jimin sekarang.
Dilahirkan dari rahim seorang pelacur dan tidak mengenali ayahnya sendiri. Bahkan, seumur hidupnya ia belum pernah bertemu kedua orangtuanya terutama sang ibu kandungnya.
Jimin mengingatnya, waktu itu dia masih berumur 10 tahun. Tapi, seseorang berjas hitam datang ke panti asuhan, tempat tinggalnya. Pria itu terus memandang Jimin yang saat itu sedang memainkan mainan barunya yang ia dapatkan dari kardus yang baru saja datang kemarin sore. Kardus itu berisi pakaian beserta mainan anak-anak yang sangat menarik, semua anak berebut mengambil mainan yang Jimin miliki saat itu. Hingga semalaman Jimin dijauhi oleh teman-temannya akibat mainan itu. Tapi Jimin tidak peduli sama sekali. Setidaknya dia berhasil mendapatkan mainan yang sangat di idam-idamkan oleh teman-temannya, dan teman-temannya tidak memilikinya.
Sore itu langit begitu jingga, begitu indah membuat Jimin tidak bisa berhenti mengagumi langit itu, dia hanya pria kecil manis yang jarang keluar dari panti asuhan. Tapi sore itu seorang pria berjas hitam mengajaknya keluar dan menatap langit. Jimin seolah burung yang dilepas dari sangkarnya. Berlari kesana kemari tanpa henti, tidak bisa diam seolah namja manis itu sudah menemukan kebebasan yang selama ini dia cari.
Lama-kelamaan akhirnya matahari tenggelam sepenuhnya seiring dengan menggelapnya langit. Jimin terperanjat kaget ketika sesuatu yang bersinar tiba-tiba berada di atas kepalanya. Matanya terpaksa harus menyipit karena silau. Ternyata lampu jalanan baru saja dinyalakan.
Lagi-lagi Jimin berdecak kagum. Dia belum pernah melihat sesuatu yang berkilau sebanyak ini dan membentuk suatu pemandangan indah seperti ini sebelumnya.
Tidak ada yang bersuara, hanya suara jangkrik yang menemani Jimin dan pria berjas hitam itu. Tidak ada orang lain di sekitar mereka, justru jalanan terlampau sepi.
Jimin mendadak bosan. Namja manis itu memang tidak tahan pada suatu hal yang bersifat monoton, dan berdiri sambil menatap kegelapan dengan hiasan beberapa lampu jalan yang terang sama saja dengan kegiatan membosankan.
"Paman." Panggil Jimin, pria manis itu menoleh ke belakang menatap tubuh menjulang tinggi di depannya.
"Ayo kita pulang!" Ucap pria kecil itu lagi.
Pria berjas itu tidak membalas apa-apa, karena di detik berikutnya. Ia hanya membawa Jimin dalam gendongannya dan menyuruhnya untuk masuk ke dalam mobil yang baru-baru ini Jimin ketahui merupakan sebuah mobil mewah.
Jimin tidak ingat terlalu jelas berapa lama perjalanan atau seberapa jauh jarak yang ditempuh oleh mereka hingga menghabiskan setidaknya sampai subuh hari kala itu. Tapi satu hal yang Jimin ingat. Ketika namja manis itu membuka matanya, ia sudah melihat beberapa pria dan wanita dewasa dengan pakaian seksi nan menggoda di sekelilingnya.
Lalu salah satu dari mereka, yang paling muda, mungkin berumur 16 tahun berkata padanya sangat lembut tapi berbanding terbalik dengan bibirnya yang menyunggingkan senyum hina.
"Selamat datang di rumah baru sayang." Ucap pria muda lainnya.
Setelah kalimat itu diucapkan. Jimin baru menyadari bahwa ada tiga anak seumurannya sedang menangis dibelakangnya dan yang mereka teriakkan hanya satu kata yang Jimin pikir konyol sekali.
"Rumah!"
"Mau rumah! Eomma!"
"Pulang! Hiks...hiks...."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Dancer [END]
FanficAbout Jimin and his choices... Mature content 18+ Bxb Park Jimin Kim Taehyung Jeon Jungkook