•••
"Aku pikir, apa yang aku lakukan beberapa bulan ini udah bisa bikin kamu merubah cara pandang kamu, Deelara. But it's okay. It's not your fault, maybe I need more time to make you sure. Kalo memang waktu yang kamu butuhkan, aku akan dengan senang hati melakukan itu Deelara. Aku nggak masalah dengan itu. Tapi kalo urusannya udah berhubungan dengan kepercayaan---" Tian menjeda kata-katanya lalu menarik napasnya dalam. "Nggak ada lagi yang bisa aku lakukan. Aku nggak bisa paksa orang untuk percaya sama aku, termasuk kamu."
"Aku punya alasan untuk semua ini, Yan. Kamu berusaha membuatku yakin sementara di sisi lain, kamu nggak pernah mau membagi hal yang berhubungan dengan masa lalu kamu. Kamu bikin aku bertanya-tanya, kenapa Yan? What's with your past? Is there still an unfinished story there?"
Deelara bisa melihat tatapan Tian yang berubah tajam. Deelara tahu arti dari tatapan itu, tatapan yang mengisyaratkan bahwa kata-katanya baru saja melukai ego laki-laki itu. Tapi Deelara sudah tidak bisa mundur, ini adalah salah satu dari sekian banyak hal yang mengganjal pikirannya selama ini. Deelara butuh jawaban yang bisa membuatnya benar-benar yakin sebelum melangkah lebih jauh.
"Kenapa kita harus bahas masa laluku, Deelara? Apa masa lalu seseorang selalu menjadi tolak ukur untuk kamu?" Tian menatap Deelara dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. "Aku pikir, ini hanya tentang aku dan kamu yang belum menjadi kita. No matter how much I want you, aku akan tetap menunggu sampe kamu yakin."
Deelara menatap Tian sangsi. Tidak peduli jika pertanyaan selanjutnya akan lebih melukai ego Tian, yang Deelara inginkan sekarang adalah jawaban jujur. Jawaban yang bisa menghilangkan semua ketakutannya.
"You did this... Not because you're my first man, right?"
Ekspresi Tian kini benar-benar berubah. Jauh lebih tajam dari sebelumnya, dan rahangnya mengeras. Deelara sudah biasa melihat Tian yang seperti ini ketika berhadapan dengan orang lain, tapi ini pertama kalinya Deelara menerima tatapan itu.
"What do you mean, Deelara?" Suara Tian terdengar dingin.
Sebenarnya Deelara takut jika harus mendengar jawaban jujur Tian, tapi ini memang harus Deelara tanyakan. Apapun yang terjadi setelah ini, setidaknya semua pertanyaan yang selama ini mengganjalnya bisa dia keluarkan.
"Bagaimana aku tau kalo kamu sendiri nggak pernah benar-benar memberikan jawabannya? Bagaimana aku bisa yakin kalo seorang Septian Pramudya yang di kenal sebagai people who refuse to have relationships ini serius dengan ucapannya? Kamu Yan, kamu yang membuatku berpikir seperti itu." Ujar Deelara lagi, sengaja menekankan setiap kalimatnya. Berharap Tian mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lifeline - Septian Pramudya
RomanceDengan gerakan pelan, Deelara berusaha menyikirkan tangan berotot itu dari perutnya. Lalu bergerak mengumpulkan pakaian dan dalamannya yang berserakan di lantai sambil menahan perih di bagian intinya. Setelah mengenakan semua pakaiannya, Deelara be...