Jun, 1946.
"Sudah puas kau memandanginya terus?"
Sejak kedua makhluk ini menempati salah satu meja di perpustakaan kota yang diisi furnitur seadanya, di sudut meja sudah tertumpuk lima buku tebal yang sudah terbaca dan satu buku yang terbuka yang kini sedang dibaca oleh pemuda yang lebih tinggi. Sedari itu pula, temannya hanya memandangi salah satu pengunjung sambil sesekali menggumamkan kata-kata pujian, ditemani buku yang diletakkan terbuka di hadapannya tanpa dibaca, hanya sebagai alat 'kamuflase' jika tau-tau ia kedapatan memperhatikan.
"Kalau kau sebegitu sukanya dengannya, dekatilah."
"Tak semudah itu, Hao-ge. Kita itu—"
"Ya, ya, baiklah, Dejun." Si penyandang marga Xu bosan mendengar alasan itu. Alasan yang menggambarkan insekuritas temannya satu itu dan strata kelas yang tak adil dengan jelas. Lalu kenapa kalau seorang tentara seperti Wong Kunhang—kalau ia tak salah mengingat nama pemuda itu—bersanding dengan seseorang dengan latar belakang ekonomi berkecukupan seperti temannya ini? Tidakkah manusia diciptakan dengan kekurangan masing-masing untuk saling melengkapi?
Minghao berdiri, mengambil kelima tumpukan buku itu beserta buku yang baru saja selesai dibacanya. Selesai mengembalikan buku-buku itu ke rak asalnya, ia memutar lalu menggerakkan tungkainya berjalan kembali menuju tempat duduknya. Baru sampai di ujung rak, tak disangkanya kedua netranya akan menyaksikan progres kehidupan romansa temannya itu.
Wong Kunhang duduk tepat di samping Xiao Dejun. Ditambah lagi, mereka mulai membangun konversasi. Bagus, sore ini ada bahan godaan. Minghao tersenyum menggoda pada temannya itu.
Baru saja akan berbalik badan untuk menghindari menjadi orang ketiga, ia menotis keberadaan tentara satunya. Tentara yang sedari tadi tertidur menumpukkan kepalanya di atas meja itu kini sudah duduk tegak, menumpu kedua sikunya dan bertepuk tangan kecil dengan netra tertuju pada kedua sejoli itu.
Seperti anak-anak saja, hft.
Merasa dipandangi, tentara itu menoleh, bersirobok dengan netra si pemuda kurus nan tinggi. Dilihatnya pemuda itu mendengus kecil sebelum berbalik arah menuju rak-rak buku.
"Kau tertarik dengan martial arts?"
Tiba-tiba terdengar suara dari arah kanannya. Ia yang sedang membaca sebuah buku sambil berdiri di antara rak-rak menoleh, mendapati lelaki berseragam hijau khas tentara.
"Dan kau membolos latihan," balasnya sarkas sebelum kembali memusatkan pandang pada bukunya. Ia paling tak setuju tindakan lari dari pertanggungjawaban. Apalagi, para tentara harus bersiap siaga di situasi sekarang ini.
"Tak kusangka. Kau terlalu kurus untuk itu," katanya, mengabaikan kritikan sarkas itu.
Mendengar itu, Minghao menutup bukunya. Mengalihkan pandang pada lelaki di sampingnya yang sedang memilih buku, lalu berujar, "Permisi, Tuan Tentara Tak Bertanggungjawab, aku tak merasa bahwa kau, setinggi apapun jabatanmu, pantas memandang rendah seseorang hanya dari ukuran tubuhnya."
Dibalas dengan diam. Minghao lalu mengembalikan buku tadi dan pergi meninggalkan si tentara, sambil bergumam, "Keadilan sosial macam apa ini."
Yang ditinggal menyaksikan punggung sempit itu berjalan jauh, lalu tertawa kecil. "Manis."
"Oi, Wen Junhui. Balik ke habitat, ayo." Teman seprofesinya yang sedang kasmaran memanggil.
—
©munwaves, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
black rose [✓]
Fanfiction𝙟𝙪𝙣𝙝𝙖𝙤 𝙝𝙞𝙨𝙩𝙤𝙧𝙞𝙘𝙖𝙡 𝙖𝙪 -; there are always two sides to something. from the negative side, you will see death and people mourning at funerals. however, the bright side is that it brings new life and a major change that is...