Jul, 1946.
Minggu pertama setiap bulan menjadi saat-saat terramai, terutama di pasar malam di pusat kota. Bertahun-tahun dalam kondisi perang yang baru-baru ini diumumkan gencatan senjata membuat suasana minggu ini lebih menyenangkan. Bermacam-macam orang dan aktivitas memenuhi pandang. Para pedagang terus menebar senyum karena akhirnya dapat menjalankan bisnis, ada juga pengunjung yang bertemu rindu sampai-sampai secara tak sadar malah menghalangi jalan. Seiring malam mendekat, semakin banyak pula anak-anak muda memenuhi meja-meja yang disediakan setiap stan.
Seorang pemuda asal Jilin datang menempati salah satu kursi kosong setelah mengambil makanan untuk yang ketiga kalinya. Disadarinya teman-temannya sedang memfokuskan atensi pada salah seorang temannya yang berkacamata bulat. Ditepuk pelan lengan teman di sampingnya. "Sicheng-ge, dia masih membicarakan lelaki itu?"
Anggukan dari Sicheng menghasilkan tawa kecil dari kedua pemuda itu. Lalu kembali memusatkan atensi kepada satu-satunya lelaki yang berbicara.
"Kenapa kalian senyum-senyum seperti itu?" Pembicaraannya terhenti saat menyadari seluruh meja sedang menampilkan senyuman menggoda di wajah masing-masing. "Apa kalian mendengarkanku?"
Salah satu temannya yang bertubuh paling bongsor yang duduk di hadapannya menyahut, "Ya, ya, kami mendengarkanmu. Kau membicarakannya lagi."
"Dan ini sudah berlalu seminggu, Ge." Dilanjutkan oleh Chenle yang duduk di sebelah si bongsor, sebelum ia menghabiskan minuman di cangkirnya.
"Kami sampai hafal setiap detil ceritamu itu." Yangyang berucap, lalu mencomot makanan Renjun yang dibalas dengan death glare.
"Maksudku, apa kalian tidak kesal?" Satu-satunya yang berasal dari Anshan kembali bersuara. "Dia—"
"Sekedar kesal atau kau sudah tertarik padanya?" goda si penyandang marga Dong, menghasilkan seruan menggoda dari lima pemuda lainnya serta wajah datar si Xu.
"Eh, itu Kun-ge." Yangyang membuat yang lain menolehkan pandang, menghentikan sesi menggoda. Tampak tiga pemuda berwajah kalem berjalan mendekat. Melihat salah satunya membuat wajah si Xu berubah masam.
"Oit, sudah lama menunggu?" tanya oknum bernama Qian Kun saat sudah sampai di meja itu.
"Kau kelamaan tau. Kami sudah hampir selesai makan," kata si bongsor Yukhei.
"Aku ambil makanan dulu." Si Xu pergi meninggalkan tempatnya dengan ketus. Mengundang tanya dari yang lainnya, sementara ketiga pemuda yang baru sampai hanya tersenyum geli.
"Kau bawa teman, Ge?" Renjun mengalihkan perhatian.
Yang ditanya baru ingat di belakangnya berdiri dua lelaki yang lebih muda darinya. Ia lalu bergeser menunjukkan kedua presensi bertubuh tinggi itu lebih jelas. "Ah, ya. Ini Wong Kunhang dan Wen Junhui. Mereka ikut karena ingin bertemu dengan entah siapa," ujarnya, melirik si penyandang marga Xiao dan Xu yang berdiri di stan makanan terdekat.
Yang terduduk pun hanya mengeluarkan gumaman 'oh' sambil melirik dua orang yang sama. Yang lain pun bergeser, mempersilakan ketiga lelaki yang telat datang itu untuk duduk. Duanya sudah menempatkan bokong di samping pujaan hati masing-masing. Sedang Junhui bergerak canggung, bingung akan duduk di mana. Kursi kosong yang tersisa hanyalah yang di samping lelaki yang ditemuinya di perpustakaan seminggu lalu. Dan ia tau lelaki itu masih kesal padanya.
"Ayo, duduk saja." Chenle bersuara.
Yang diajak bicara pun duduk. Menghiraukan tatapan kesal yang disuguhi oleh pria yang diketahuinya sebagai Xu Minghao yang baru balik dari salah satu stan makanan.
—
©munwaves, 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
black rose [✓]
Fanfiction𝙟𝙪𝙣𝙝𝙖𝙤 𝙝𝙞𝙨𝙩𝙤𝙧𝙞𝙘𝙖𝙡 𝙖𝙪 -; there are always two sides to something. from the negative side, you will see death and people mourning at funerals. however, the bright side is that it brings new life and a major change that is...