24: Mas, boleh tanya sesuatu, nggak?

577 93 13
                                    

Vio terbangun dengan senyum mengembang di wajahnya. Dia kembali teringat saat Pandu mengantarkannya pulang sampai depan pintu apartemennya semalam. Pria itu menatapnya dengan sorot mata yang begitu teduh, membuat perasaan Vio melambung ke langit ketujuh.

Padahal kemarin bukan pertama kalinya Vio pergi berkencan dengan Pandu. Namun, Vio merasakan sesuatu yang berbeda. Keragu-raguan yang selama ini menahan langkahnya pun seolah sirna dan digantikan perasaan senang yang meletup-letup di dadanya. Selama bersiap-siap untuk berangkat ke kantor pun, senyum di wajah Vio tidak hilang-hilang.

Saat Vio tengah menata rambutnya, ponselnya berdenting pelan. Ale mengiriminya pesan dan bertanya kabarnya hari ini. Rasa bersalah menyelinap ke hati Vio. Dia memang berjanji untuk memberikan kesempatan, baik kepada Ale maupun Pandu, untuk mendekatinya, tetapi sekarang Vio merasa hatinya berat sebelah. Hal itu membuatnya merasa sudah bersikap tidak adil terhadap Ale.

Vio membalas pesan Ale sekenanya, sekadar untuk bersikap sopan. Setelah itu, dia lanjut bersiap-siap karena tidak ingin Pandu menunggu terlalu lama.

Setelah memastikan rambut panjangnya telah tertata rapi dan tidak ada kerut di kemeja yang dikenakannya, Vio membuka pintu. Ternyata, Pandu telah menunggunya di depan pintu.

Pria itu berpakaian rapi seperti biasanya. Rambutnya juga terlihat klimis dan disisir ke belakang. Gaya andalannya jika sedang bertugas membawakan berita. Sebenarnya, Pandu bisa saja menata rambutnya di studio, ada tim khusus yang bertugas untuk mengurusi penampilannya. Akan tetapi, Pandu lebih suka berpenampilan rapi sejak dari rumah.

"Saya buatin sarapan buat kamu," kata Pandu sembari menyodorkan bungkusan di tangannya kepada Vio.

"Mas Pandu bangun jam berapa? Sempat-sempatnya bikin sarapan." Vio menerima bungkusan itu dengan malu-malu.

"Lebih tepatnya saya kebangun dan nggak bisa tidur lagi," jelas Pandu sambil berusaha menyeimbangkan langkahnya agar bisa menjejeri Vio.

"Kenapa?"

Pandu melempar senyum. "Karena kepikiran kemarin. Sudah lama saya nggak sesenang kemarin. Makanya, daripada cuma ngelamun di tempat tidur, mending saya bangun dan nyiapin bekal buat kamu, sebagai ucapan terima kasih karena mau nemenin saya seharian kemarin."

Sesungguhnya Pandu tidak bisa tidur lagi karena diselimuti kegelisahan. Dia tidak berbohong saat berkata bahwa kencannya kemarin membuatnya merasa sangat bahagia, seakan-akan hatinya akan meledak saking bahagianya. Namun yang tidak Pandu ceritakan, rasa bahagia itu mengundang rasa cemas, membuatnya khawatir tidak dapat merasakan kebahagiaan yang sama di masa depan. Untuk mengusir pikiran-pikiran buruknya itulah Pandu menyibukkan diri di dapur untuk memasak.

"Sekarang jadinya aku yang berutang ke Mas Pandu." Vio memainkan kotak bekal di tangannya. "Apa aku harus masak sesuatu juga untuk Mas Pandu?"

"Saya akan sangat senang menerima pemberian dari kamu, tapi kamu nggak usah memaksakan diri. Kamu nggak pernah berutang ke saya, kok."

"Mas, boleh tanya sesuatu, nggak?" tanya Vio dengan hati-hati saat mereka menunggu lift datang.

"Tanya aja."

"Kenapa Mas Pandu masih pakai 'saya' kalau bicara denganku? Padahal kalau sama mamanya Yudhis, Mas lebih santai."

Pandu menoleh. "Menurut kamu, kata 'saya' dipakai saat kita berbicara dengan siapa?"

"Orang yang baru kita kenal."

"Selain itu?"

"Orang yang lebih tua?" Vio justru balik bertanya.

"Yang jelas kamu nggak lebih tua dari saya, kan?" Pandu tertawa. "Biasanya kita pakai 'saya' untuk bicara kepada orang yang kita hormati, kan? Dan saya menghormati kamu."

Let Me Love You, Violet. (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang