GC 22

446 55 40
                                    

Mematut diri dengan tegap berhadapan dengan benda optik memantulkan pergerakannya membenah diri. Entitas diri sendiri dipandang datar sembari meraih benda penting diprofesinya untuk ia pasang dipergalangan tangannya dengan apik.

Merapikan kerah kemejanya, enggan memasang dasi dengan baik dan ia biarkan menggantung acak disekitar lehernya.

Melirik pekerja dirumahnya dari kaca, Daniel menyahut dengan berdeham kala seruan itu memanggilnya.

"tuan Kang, dikasur tuan ada...darah, apa terjadi sesuatu ?" ujar wanita tua itu menanti jawaban tak kunjung diseru kan.

"tidak ada. Lakukan saja perkerjaanmu bibi Jung." ujar Daniel membalikkan tubuhnya menatap wanita itu datar.

Daniel terdiam, menatap lama bercak darah yang ada dikasurnya beralaskan sprai abu itu jelas.

"antar sarapan untuk Jihoon yang ada dikamarnya. Jangan membangunkannya, apa lagi menimbulkan suara yang mengganggunya. Tinggalkan makanannya diatas nakas lalu keluar dari sana, dan kunci pintunya."

"ini hari sekolah—"

"dia sakit, aku sudah menghubungi pihak sekolah."

"mengenai mengunci pintu kamar—"

"lakukan seperti yang aku katakan, bibi Jung." Daniel menggeram kecil, memotong tiap kalimat wanita itu yang kembali terdiam ditempat.

"jangan membawanya berbicara. Biarkan dia istirahat dikamarnya seharian ini, Bibi bisa pulang lebih awal hari ini. Untuk makan malam, bibi tidak perlu memasak, aku sendiri yang akan melakukannya,"

"ingat, pulanglah lebih awal." serunya lagi, Daniel melangkahkan kakinya keluar dari kamarnya setelah wanita tua itu mengangguk menanggapinya.

Kakinya ia arahkan pada kamar dengan ukuran lebih besar dari kamarnya, membuka pelan, monoloidnya terpaku pada buntalan selimut sebiru laut untuk ia dekati dengan pergerakan lamat menduduki tepian kasur.

Sebelum matahari singgah keufuk timur, Daniel memindahkan Jihoon sesudah ia membersihkan tubuh Jihoon dari darah diarea sekitar bawahnya. Kembali memberi obat pada Jihoon yang sudah tak sadarkan diri dikukungannya, Daniel merutuki tindakan gilanya.

Tangannya mengudara hendak menyentuh kepala itu dengan sayang, kejadian bejatnya berkelebat menyerbunya, dan terhenti sembari menurunkan kembali tangan besarnya.

Daniel menatap lama wajah Jihoon yang damai. Meneliti tiap inci yang terpahat sempurna itu, Daniel menyugar rambutnya yang basah saat matanya terhenti pada belahan bibir Jihoon yang terbuka.

Pria itu mendengus kecil lalu pergi dari sana dan meninggalkan rumahnya menuju rumah sakit tempatnya bekerja.

Selama diperjalanan, pikirannya tidak lepas dari Jihoon. Rasa bersalahnya memuncak atas kebejatan yang ia lakukan tengah malam tadi, Daniel mengeraskan wajah sembari mencengkram stir mobil kuat.

Pijakan pedal gas melaju seolah ia melampiaskannya dengan itu, Menikung tajam di perbelokkan, menulikan telinga dari klakson mobil yang memperingatinya, Daniel hiraukan semua dengan apa yang terjadi.

Beruntung pagi ini tidak ada kemacetan, menatap nanar pada jalan yang agak lengang. Daniel mendesis marah entah karena apa.

Melewati persimpangan dengan kecepatan tinggi satu detik rambu lalu lintas hendak berganti menandakannya harus berhenti. Melirik kaca spion atas, Daniel melihat mobil dibelakang yang sudah jauh darinya hampir beradu besi dan terdiam di sana. Terkekeh kecil, Daniel terkesan tidak peduli dengan itu. Lebih tepatnya, ia tidak peduli jika terjadi kecelakaan yang bisa saja menimpanya.

Get Closer (NIELWINK) I√Where stories live. Discover now