Rindu Terakhir

33 6 4
                                    

26 September 2020

Untuk Juan kesayanganku,

Hari ini, aku tiba-tiba saja teringat masa-masa SMA kita. Masa-masa yang harus kuakui, adalah masa terindah di hidupku sampai saat ini. Kamu masih ingat gak, waktu kamu tiba-tiba ngajak kenalan di perpustakaan? Kamu sengaja cari tempat sepi karena tengsin kalau ketahuan. Terus kamu ingat gak, waktu pertama kali kamu ajak aku jalan? Kita sampai pergi jauh banget buat makan bakso, karena takut terciduk.

Rasanya seperti menjalankan misi rahasia, ya. Kemana-mana harus sembunyi. Kemana-mana harus hati-hati. Kemana-mana pakai masker, padahal waktu itu belum pandemi. Tapi aku menikmati. Karena diam-diam, sejak dulu juga aku suka sama kamu.

Lalu aku juga ingat, ketika kamu untuk pertama kalinya berani 'tampil' di depan orang lain dengan kasih aku minum selesai memenangkan pertandingan badminton. Aku kira kamu bakal malu saat itu karena kita jadi pusat perhatian. Tapi ketika yang lain menggoda kita, kamu cuma melempar senyum dan melambai santai, lalu mengajakku makan di kantin.

Aku juga selalu ingat malam-malam ketika kamu telfon aku dan kita diskusi tentang banyak hal. Juga malam-malam ketika kamu ajak aku main ke rumahmu, untuk nonton film bareng. Terus aku bakal selalu masak sesuatu untuk kamu yang kelaparan. Aku juga sangat menikmati itu. Karena aku suka kamu.

Puncak bahagiaku kita pergi study tour ke Jogja, kamu ajak aku belanja bareng di Malioboro. Di sana, kita terus-terusan jalan tanpa beli satu barang pun karena terlalu sibuk ngobrol. Terus pas udah capek, kita akhirnya menepi dan di sana, kamu tiba-tiba mengutarakan perasaanmu. Katamu, aku sangat pintar memasak. Katamu, kamu nyaman setiap kali bareng dengan aku. Katamu, kamu suka sama aku.

Meski kamu bilang kamu takut menjalani sebuah hubungan, malam itu tetap jadi malam terindah buatku. Cinta pertamaku, ternyata juga menyukai aku.

Oh iya, kok aku lupa ya, gak tanya kabarmu di awal surat ini?

Jadi, gimana kabar kamu, Juan? Gimana rasanya kuliah di kampus impianmu di Depok? Ah, kayaknya memang seharusnya aku gak bertanya. Toh, aku sudah tahu kamu baik-baik saja hanya dengan lihat media sosialmu. Aku juga tahu, sekarang kamu akhirnya menjalin hubungan dengan yang lain.

Sejak dulu, aku selalu merasa apa yang kamu lakukan tidak masuk akal. Tapi aku mengabaikannya karena bagiku, yang terpenting kamu mau terus bicara denganku. Sekarang, setelah mengingat kembali apa saja hal yang terjadi pada kita di masa lalu, aku mulai mengerti, Juan. Aku mengerti.

Aku tidak cantik. Kamu malu bukan, terlihat dekat dengan aku? Makanya kamu selalu mengajak aku sembunyi. Saat di gor badminton, harusnya aku sadar. Selama ini kamu selalu sembunyi bukan karena kamu tidak suka jadi pusat perhatian. Tapi karena kamu malu ketahuan kenal denganku. Di gor badminton saat itu, kamu sengaja mendekati aku karena pada akhirnya aku meraih kejuaraan bergengsi di sekolah, dan baru kamu ingin orang-orang lihat bahwa kamu dekat dengan aku.

Malam-malam telfon dan nonton film pun, itu semua kamu lakukan bukan karena kamu senang bicara denganku. Tapi karena kamu kesepian. Juga biar kamu tidak perlu masak di malam itu ketika orang tuamu belum pulang dan sudah terlalu bosan makan indomie. Malam di Malioboro juga tidak se-spesial itu. Itu cuma omong kosong. Mungkin itu cuma karena kamu ngelindur.

Kita tidak pernah punya tanggal awal. Dan mungkin juga tidak akan punya tanggal akhir, jika aku tidak menulis ini.

Juan, ini surat terakhir dariku. Kukirimkan sekaligus dengan tumpukan rinduku yang membuncah. Biar ini jadi rindu terakhirku juga untukmu. Selamat memulai hari baru dengan orang yang baru. Aku sedih, dan juga senang karena akhirnya kamu tidak lagi takut menjalin hubungan.

Untuk Juan, cinta dan luka pertamaku ...

Di hari ini ... kita cukupkan saja, ya. Kita tutup lembaran kita yang dulu, dan memulai hidup masing-masing. Selamat tinggal.


Ayu.


Rindu TerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang