BAB 8 - Tugas Pertama

231 66 5
                                    

BAB 8

TUGAS PERTAMA!

Setelah Caka pulang, Enyak ngomel sampe jam sepuluh malem. Dia mengungkit-ngungkit betapa Babeh sangat sulit membangun hubungan dengan calon besannya. Babeh juga berhutang budi sama keluarga mereka karena pernah pinjam uang buat modal usaha bengkel, pernah pinjam modal buat beli boneka ondel-ondel, bahkan Babeh pernah mengatakan, anaknya boleh nikah sama anak Babeh.

Sebenarnya kasihan juga sama Enyak, tapi gue nggak bisa dipaksa. Perjodohan mirip banget kayak maksa makan ayam goreng, padahal gue nggak suka sama sekali. Cowok yang mau dijodohkan sama gue nggak buruk. Tapi itu bukan alasan buat gue nerima dia begitu aja.

Kata Enyak, calon besannya sempat menelepon. Dia berterima kasih telah mengizinkan bersilaturahmi. Dia berkata bahwa anaknya mungkin nggak jodoh sama anak Enyak. Dalam tanda kutip, beliau menerima kalau anaknya emang nggak jadi dijodohin sama gue. Tapi di sini, Enyak yang nggak nerima. Dia merasa sangat malu. Enyak sendiri yang menginformasikan kepada calon besannya kalau gue belum punya cowok.

Enyak terus mengomel sampai gue akhirnya kembali ke Bekasi. Bahkan siang ini, saat gue sudah berada di gudang toko, Enyak masih menelepon dan maksa gue buat mikir ulang. Enyak, Enyak, padahal gue udah sodorin cowok cakep, tapi Enyak nggak luluh juga. Dia malah curiga kalau gue sama Caka pacaran boongan. Nasib, nasib. Nggak ada yang percaya kalau gue bisa dapetin cowok secakep Caka. Ya, meskipun Enyak emang bener. Gue dan Caka hanya pura-pura pacaran.

"Ve, lo udah nemuin alamat orang yang KTP-nya ketinggalan itu belum?" tanya Daffa yang tiba-tiba muncul.

Gue yang sedang duduk di kursi langsung terperanjat. "Ya udah dong. Emangnya elo? Kemarin, gue suruh lo buat balikin KTP itu. Elonya nggak mau. Cowok cemen lo! Takut tersaingi apa gimana?"

"Males aja gue, Ve. Dia nyebelin tauk. Gue udah feeling saat dia protes waktu itu."

"Iya, dia nyebelin kayak elo!"

"Sial lo ....." Daffa melangkah ke arah gue, lau mendaratkan tas di atas meja.

"Tapi ngomong-ngomong, dia nggak seperti yang kita kira lho, Daff." Senyum lebar terbit di bibir gue. "Selain ganteng, dia baik. Kemarin gue dianterin lho ke Jakarta. Baik kan?"

"Hah?" Daffa terlihat syok. Dia yang memang baru datang dengan wajah merah, sekarang mengusap dahi. "Nganter lo?"

"Iya." Gue mengusap kertas jadwal yang tertempel di meja. Nyaris setiap hari gue ngecek jawal dan berdoa agar nggak sering-sering satu shift sama Daffa. "Dia bahkan mampir ke rumah, terus kenalan sama Enyak. Enyak gue seneng banget deh gue bawa cowok."

Kalimat gue mengalir begitu aja. Sementara Daffa enggak nanggepin ucapan gue. Saat curi-curi pandang ke arahnya, dia seperti kepahitan karena memakan sesuatu. Gue lihat rautnya terlihat nggak nyaman. Bodo amat! Mungkin sekarang Daffa sedang berpikir: gimana bisa si Ve deket sama cowok?

"Eh tapi, soal lamaran itu gimana?"

Gue tertawa. "Nggak ada lamaran-lamaran, Daff. Si Agus Bohong." Soal telepon yang waktu didenger itu emang bukan soal lamaran kan? Itu telepon dari salah satu perusahaan buat interview, dan sialnya, interview pun nggak jadi. Ada pun rencana perjodohan yang akan dilakukan Enyak, Daffa nggak perlu tahu. Itu bukan urusan dia.

"Gue minta maaf ya, mungkin waktu itu aktivitas lo terganggu gara-gara gue," desahnya.

Gue lihat, Daffa meminta maaf dengan tulus. Entahlah. Si Daffa ini memang nggak bisa ditebak. Kadang marah, nyebelin, terus tiba-tiba jadi baik kayak malaikat. Meskipun secara keseluruhan, delapan puluh persen sifatnya emang nyebelin.

Setelah mengobrol sedikit sama Daffa, shift kedua dibuka dengan diawali Briefing. Ini jadwal gue, Daffa dan juga Ansori. Soal Ansori, cowok itu pendiem. Gue jarang ngobrol sama dia, selain kalau nyuruh jagain kasir saat gue shalat. Selebihnya, dia cuek bebek. Bahkan kalau dimarahin Daffa, dia kayak orang yang nggak punya kuping. Santuy. Uniknya, Ansori juga bukan tipe orang yang sering menggosip kayak gue sama Bagas. Kalau dipancing buat ngobrolin kekesalan gue sama Daffa, dia hanya cengengesan, lalu memilih membuka lemari pendingin dan membiarkan angin dari dalamnya menyentuh wajahnya. Seolah-olah dia kepanasan saat gue mancing buat ghibah.

Pekerjaan gue di shift dua berjalan dengan lancar. Enggak ada yang minus. Enggak ada pula barang yang hilang. Apalagi Daffa nggak banyak ngomel. Menurut gue, itu adalah anugerah, karena besok-besok, bisa jadi sikap menyebalkannya kembali lagi.

Berbarengan dengan itu, gue mendapatkan chat di whatsapp dari nomor baru. Dan gue baru sadar kalau itu Caka saat gue lihat foto profilnya. Di foto profil itu, dia enggak pakai baju dengan badan penuh keringat. Di bagian tangan, terdapat gundukkan berurat. Perutnya pun mirip seperti roti sobek yang gue jual di toko.

Besok pagi, lo datang ke rumah! Gue nggak mau tahu! Lo harus dandan yang cakep. Nanti gue kasih tahu kita mau ngapain!

Alih-alih kesel, gue malah bahagia setengah mampus. Hukuman biasanya akan membuat seseorang menjadi malas. Nah gue justru sebaliknya. Gue bahagia mendapatkan chat itu. Caka mau ngajak ke mana sehingga nyuruh dandan yang cakep? Jangan-jangan, dia mau ngasih surprise? Gue pernah lihat cowok ngasih kejutan romantis. Mungkin dia akan melakukan itu?

Sebelum menghayal lebih lanjut, gue membalas chat.

Oke, Boss. Gue besok dateng!

"Eh, Pea, lo kenapa senyam-senyum sendiri?"

Mulai! Si Daffa kembali nyebelin dengan nyebut gue 'PEA'. Padahal gue udah sempet berterima kasih di dalam hati karena enggak goda gue lagi. Detik ini, lima menit menuju pulang, dia telah kembali seperti Daffa yang mirip kaya cabe rawit yang bikin panas.

"Ini, gue diajak jalan sama cowok."

"Cowok yang mana?"

"Yang KTP-nya jatuh itu. Namanya Caka Kanendra. Namanya cakep kan? Apalagi orangnya." Gue tertawa dengan mata masih melihat ke ponsel.

"Jalannya kapan?"

Tuh kan, Daffa kemakan sama ucapan gue. Rupanya, dia penasaran.

"Besok pagi."

Daffa langsung melotot. "Ya udah, besok masuk shift pagi ya! Gue nggak mau tahu!"

"Eh, maksud lo apa?" Gue berkacak pinggang. Si Ansori malah senyam-senyum. Dia sedang membereskan eskrim di lemari es. "Enak aja gue harus masuk pagi! Jadwal gue buat besok itu shift dua, sama kayak hari ini."

"Gue kepala toko di sini!"

"Terus gue harus nurut sama lo?" Gue memonyongkan bibir. "Hellaw. Jangan harap ya, Daff. Waktu itu gue nurut buat masuk shift pagi gara-gara kasihan sama teman-teman yang lain. Tapi buat besok, no way! Lo iri kan lihat gue mau jalan sama cowok? Sedangkan elo? Mana ada lo mau jalan sama cewek! Wleee!" Gue melangkah keluar dari toko, bermaksud untuk pulang.

Setelah sampai kosan, gue baru sadar sesuatu. Gue ninggalin Daffa dan Ansori begitu aja tanpa berkata apa pun. Huh, siapa suruh maksa-maksa gue buat masuk besok pagi? Gue tahu akal-akalan si Daffa. Dia hanya nggak mau gue ketemu Caka kan? Mungkin si Jangkrik Item itu nggak ada temen yang sama-sama jomblo kalau akhirnya gue punya gebetan baru. Daffa, Daffa. Makanya jangan marah-marah mulu biar banyak cewek yang suka sama lo!

***

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang