BAB 13 - Jalan-jalan

206 52 8
                                    

BAB 13

JALAN-JALAN

Saat Caka datang ke toko, Daffa diam di gudang. Dia seolah menghindari tatap muka dengan cowok itu. Mungkin takut dijotos balik kali. Bagaimana pun, Daffa telah bersalah menghajar Caka. Sementara, Stevi, Bagas, dan Agus nge-cie-cie-in. Gue hanya ketawa malu. Semenjak kenal Caka, gue jadi banyak tersanjung sama temen-temen satu team ini.

Gue buru-buru menghampiri mobil Caka setelah selesai kerja. Saat masuk, ternyata ada Raka dan Bu Sum yang juga dibawa. Saat melihat ke arah Raka, gue berpikir buat menjewer tuh anak, tapi nggak jadi. Ya kali, gue sekejam itu. Imajinasi liar hanya sebatas imajinasi. Pada akhirnya, gue ngerti, dia hanya anak kecil.

Gue akhirnya bersalaman dengan Bu Sum. Sementara Raka nyalamin gue dengan wajah ketakutan. Setelahnya, gue duduk di dekat kemudi, tepat di sisi Caka.

"Kita mau maen sekarang." Caka terlihat antusias. Dia mirip seorang bapak muda yang lagi memboyong anak istrinya liburan. Gue jadi berharap mimpi itu jadi kenyataan.

"Wah, maen ke mana?" tanya gue.

"Ada deh ...." Caka tertawa. "Tempat kesukaan Raka. Iya nggak, Dek?" Caka melihat wajah kusut Raka dari kaca depan.

"Wah, Kakak jadi nggak sabar pengin tahu tempat favorit Raka," kata gue sambil natap anak jabrik itu.

Raka nggak menjawab. Dia hanya menunduk dengan bibir manyun. Sikapnya kayak gini? Atau emang gara-gara ada gue? Waktu Raka ngacak-ngacak rak di toko, wajahnya juga nggak jauh beda sama sekarang.

"Eh, Cak. Thanks ya, lo udah baik sama Daffa." Gue menatapnya tulus.

"Kayaknya lo seneng banget ya, cowok itu masih ada di toko." Dia menanggapi ucapan gue dengan tatapan masih fokus ke kemudi.

"Bukan begitu. Gue nggak sejahat itu buat seneng di atas penderitaan Daffa. Gue hanya nggak mau keadaan keluarganya makin terpuruk gara-gara gue."

"Keadaan keluarga?"

"Dia itu tulang punggung keluarga. Orangtuanya udah renta."

Caka terlihat penasaran. Gue bisa lihat itu semua dari kerutan di dahi.

"Lo tau banyak soal dia ya?" tanyanya lagi.

"Enggak juga. Gue bahkan baru tahu soal cerita itu beberapa hari lalu. Saat jalan bareng."

"Jalan bareng?" Wajah Caka kelihatan tegang mendengar cerita gue. Pertanyaan itu meluncur berbarengan dengan gerakkan membuang wajah. Sekarang, tatapannya fokus ke jalanan.

"Sekali doang. Itu juga karena maksa."

Percakapan ini mirip banget dengan percakapan pasangan kekasih saat salah satunya merasa cemburu. Gue lihat, wajah Caka berubah kecut saat gue cerita kalau pernah jalan sama Daffa. Kok gue makin ngerasa kalau Caka juga tertarik sama gue ya? Apa ini hanya sebatas 'kepedean'? Tapi masuk akal juga sebenarnya. Mengingat, Caka ini ganteng, keren, mapan. Kalau seandainya dia nggak tertarik, ngapain jalan sama gue? Seorang kasir minimarket yang kadang-kadang jadi bahan olokkan dan juga makian pembeli.

"Eh, Enyak lo apa kabar?" Caka masih fokus membolak-balikan stir mobil.

Gue yang sedang melamun, langsung mendongak. "Eh, Enyak?"

"Iya ...." Caka terlihat bersemangat.

"Baik-baik aja, alhamdulillah." Gue hampir menangis. Ternyata ada yang perhatian sama Enyak. Padahal waktu itu, Caka datang dalam keadaan terpaksa. "Cuman ya gitu, nggak bisa ditebak. Pernah tuh, dia tiba-tiba sakit, padahal awalnya segar bugar. Gue kadang-kadang khawatir banget sama Enyak."

Customer Sharelove (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang