Zahara berjalan tergesa-gesa memasuki gerbang SMU Karya Abadi. Ia berusaha tidak terlambat masuk kelas, jika tidak ingin disetrap sama Pak Dino, guru matematika yang killer itu.
Saat akan memasuki lorong terdekat menuju kelas XI IPA 4—yang letaknya di bagian belakang sekolah—Zahara baru menyadari laki-laki yang beberapa minggu ini telah dikaguminya dan sering mengganggu pikiran, berjalan di sebelah.
Zahara memperlambat langkah kaki, berjalan di belakang Abyasa. Menikmati detak jantung yang tetiba tak beraturan. Melupakan wajah sangar Pak Dino yang mungkin sudah menunggu.
Di ujung lorong, Abyasa berbelok ke kiri, sedangkan Zahara tetap lurus ke arah perpustakaan lalu berbelok ke kanan. Kelas XI IPA 4 tepat di depan perpustakaan.
Zahara menghembus napas lega, kelas belum mulai. Ia melirik benda melingkar di tangan. Pukul 07.00 wib. Lima belas menit sebelum bel berbunyi tanda jam belajar dimulai. Tampaknya tadi ia salah melihat jam.
***
Sejak hari itu, Zahara kerap kali berpapasan dengan Abyasa di pagi hari menuju kelas. Tidak tiap hari, tapi sering. Kebetulan yang menyenangkan bagi Zahara. Atau mungkin sebelumnya sudah sering berpapasan, tetapi Zahara tak menyadarinya.
Kadang Zahara berjalan sejajar, tetapi berjarak satu-dua meter dari lelaki yang mulai mengisi hatinya itu. Sesekali Zahara melirik ke arah Abyasa. Pernah lelaki itu menoleh padanya, sekilas. Berhasil membuat jantung Zahara berdetak lebih kencang. Refleks gadis itu memalingkan muka.
Namun, lebih sering Zahara berjalan selangkah-dua langkah dibelakang Abyasa. Sambil menikmati alunan rasa yang mengalir indah di dada. Menghadirkan senyuman yang tak lekang meski telah sampai di kelas.
"Cerah banget wajahmu, Ra." Kalimat pertama Inur menyambut Zahara saat meletakkan tas di meja.
"Iya dunk, pagi-pagi itu harus diawali dengan semangat. Masa' iya udah lemes." Zahara makin melebarkan bibir ke atas.
"Semangat sih semangat, tapi gak senyum-senyum sendiri juga kaleee. Mau dibilang gini?" Inur membuat goresan miring di keningnya menggunakan telunjuk.
Iya, aku emang udah gila. Hatiku menggila karena Si Dia.
***
Hari ini jam pelajaran kedua kosong, gurunya berhalangan hadir sehingga tugas dititipkan pada guru piket.
Keadaan kelas sepeninggal guru piket, setelah memberikan tugas yang harus mereka kumpulkan, mulai ramai. Ada yang fokus mengerjakan dan tidak ingin diganggu murid lainnya. Ada yang berpindah tempat duduk demi mencontek pada teman di belakangnya. Suatu perbuatan yang sudah lama Zahara hindari. Bagi gadis itu, mencontek adalah sebuah kejahatan yang tak ada bedanya dengan mencuri.
Terlihat juga yang tak acuh dan asyik mengobrol dengan teman sebangkunya. Sedangkan Zahara dan Inur khusyuk mengerjakan. Tidak dihiraukannya Arvin—yang duduk di kursi baris depan mereka—yang terus menoleh meminta jawaban.
Di bangku deret ke empat, satu baris di belakang Zahara dan Inur, tapi berbeda kolom, nampak murid laki-laki memperhatikan Zahara. Tangan kanannya memegang pena yang ujungnya ia ketuk-ketukkan ke meja, dibiarkannya buku tulis yang sudah terisi sebagian jawaban dari tugas yang diberikan..
“Pras!” Panggilan Arvin memecah kesunyiaan yang tercipta di pikiran lelaki itu. “Jika kau mengharapkan Zahara akan memberikanmu contekan, lebih baik kau buang jauh-jauh pikiran itu.” Prasetyo hanya mengangkat kedua bahunya, lalu melihat ke buku dan lanjut menulis.
“Bilang dong kalo kamu sudah mengerjakan,” ucap lelaki berambut ikal—yang baru saja berpindah dari bangku depan—setelah mendaratkan bokongnya di bangku kosong sebelah Prasetyo.
Waktu masih banyak tersisa sebelum masuk jam istirahat pertama. Arvin sudah kembali ke kursinya. Ia menghadap ke arah belakang. Terlihat mengobrol asyik dengan Inur. Mereka mengobrol seru dan sesekali tertawa, Zahara hanya tersenyum menanggapi.
“Ara, kalo kamu, ada gak yang ditaksir?” Arvin melayangkan pertanyaan yang tidak Zahara duga.
“Aku yakin Zahara sedang jatuh cinta. Akhir-akhir ini ia selalu ceria dan sering senyum-senyum sendiri.” Inur mencolek lengan Zahara dengan sikunya. “Emang siapa orangnya?” Sahabatnya itu sudah penasaran sejak awal.
“Ayo Ara, katakanlah.” Arvin ikut mendesak.
Zahara tersenyum menanggapi mereka. Wajahnya bersemu merah saat bayang-bayang lelaki yang telah bersemayam di hatinya beberapa bulan ini, muncul di pelupuk mata. Zahara berpikir tidak ada salahnya menyebut namanya. Zahara yakin hal ini tidak akan sampai pada lelaki itu. Arvin maupun Inur hanya tahu saja padanya, tapi tidak sampai kenal apalagi berinteraksi. Lantas, Zahara sebutkanlah namanya.
“Jadi Abyasa? Ya Allah, kenal betul aku sama dia. Kami ‘kan sama-sama di OSIS.” Suatu hal yang sangat mengejutkan bagi Zahara. Ia lupa jika Arvin juga aktif di OSIS.
Seketika Arvin berdiri dan meneriakkan sesuatu yang membuat Zahara kaget, seolah mengumumkan hal penting pada seisi kelas, “Teman-temaaannn! Ternyata Zahara naksir sama Abyasa. Sang Bintang yang terkenal itu!” Lalu ia tertawa.
“Arviiinnn …!!! Apa-apaan, sih. Duh, memalukan. Semua jadi tau ‘kan.” Zahara menutup mukanya dengan kedua telapak tangan.
Kelas menjadi heboh. Prasetyo hanya diam. Terkejut lebih tepatnya. Ia tidak menduga sahabatnya sejak kecil itu menyukai lelaki lain.
***
Berita tentang Zahara yang menyukai Abyasa sampai juga ke telinga lelaki itu.
Tidak sampai di situ, semua teman sekelas Abyasa ikut heboh dengan perasaan Zahara padanya. Bahkan sampai ke kelas lain, yang salah satunya juga menaruh hati pada Abyasa. Setidaknya itu yang Zahara ketahui. Walau banyak juga yang memendam rasa pada Abyasa. Karna dia Sang Bintang.
Ternyata gayung bersambut, Abyasa pun menunjukkan ketertarikan pada Zahara. Suatu hal yang membanggakan Zahara sebenarnya.
Bagaimana bisa Sang Bintang yang dikagumi banyak orang, memilih melirik diriku. Ya, baiklah, aku akui diriku manis dan juga pintar, #ehh, tapi .... Batin Zahara bertanya-tanya.
Zahara senang, sangat senang tentu saja. Namun rasa malunya—yang ketahuan menyimpan rasa pada Abyasa—jauh lebih besar.
Hari-hari merasakan debaran indah saat tak sengaja berpapasan dengan Abyasa di jalan menuju kelas, kini tak bisa ia nikmati lagi. Zahara lebih memilih menghindar alih-alih berjalan di dekat Abyasa seperti dulu.
Namun, di jam istirahat kedua hari itu, Arvin memanggil, meminta Zahara keluar kelas. Saat ia keluar menuju samping kelas ..., ada seorang laki-laki telah menunggu di sana. Ternyata Abyasa yang ingin menemui Zahara. Refleks Zahara bergegas masuk kelas, memilih duduk di kursi. Mematung di sana. Meski berulang kali Arvin memanggil, Zahara tetap bergeming. Terduduk kaku.
Hey, timingnya kenapa sangat tidak tepat, sih? Kau tau, jam kedua istirahat bagi gadis tomboy yang tidak ada modis-modisnya ini merupakan saat sedang kucel-kucelnya. Bagaimana bisa aku—yang punya rasa gengsi tingkat tinggi—menemui sang pujaan hati dalam keadaan begitu?!

KAMU SEDANG MEMBACA
Nyanyian Hujan
Romance'Melihat hujan mengingatkanku akan dirimu. Suara hujan menuntunku mendendangkan kesedihan karna kehilanganmu. Titik-titik hujan yang jatuh ke bumi, menyadarkanku bahwa kau tak lagi bersamaku di sini, di dunia ini.' Bagi Zahara Nadindra, hujan adalah...