Tiga Puluh Sembilan

73 24 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen terlebih dahulu ya. Terima kasih
♡ ♡ ♡

"Woy! Gua pamit!" teriak Mahera pada The Alpana yang masih heboh dengan cerita Sambara.

"Mau ke mana lo?" selidik Rizky.

"Cari angin."

Usai menjawab pertanyaan dari Rizky mereka pun kembali disibukkan dengan Sambara. Mahera melangkah keluar dari rumah Agasa yang sering dijadikan tempat berkumpul mereka.

Mahera menaiki motor matik hitamnya. Memasukkan kunci ke dalam lubang motor. Beberapa saat kemudian ponsel Mahera bergetar. Mahera segera mengambil ponsel dari balik saku celana sekolahnya.

Kak, kok gak mampir main ke rumah? Kakak sibuk?

Sebuah chat singkat dari Nadira. Adiknya itu selalu mempertanyakan jika ia tidak ke rumah Fanessia barang satu pun. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam, pantas saja Nadira mengirimkan sebuah chat melalui aplikasi Whatsapp.

Engga dulu Dek. Mungkin besok kakak ke sana ya?

Balas Mahera. Dan tidak lama berselang sebuah pesan diterima oleh Mahera.

Oke deh, kak. Sehat-sehat ya kak!

Seulas senyum tipis tampak terlihat dari bibir Mahera. Ia terlihat senang masih diberikan seseorang yang tidak akan pernah menyakitinya Seseorang yang akan selalu ia jaga.

Mahera kembali memasukkan ponsel ke dalam saku celananya. Ia kini menyalakan mesin motor dan bergegas pergi kembali ke kostsan. Karena sejak pulang dari sekolah ia sama sekali belum menganti pakaian bahkan mandi. Terasa sangat lengket dan tidak enak sekali tubuhnya sekarang. Maka dari itu, Mahera memutuskan untuk pulang ke kostsan dan bergegas untuk mandi.

***

Mahera berjalan di lorong koridor dengan pandangan mata mengamati setiap lukisan-lukisan yang terpasang di setiap pilar-pilar lorong. Hal bisa yang terjadi di SMA Valletta Nusantara. Mahera sudah bisa menebak jika ini adalah pekerjaan dari Bu Hesti—guru seni budaya.

Mahera jadi teringat saat kelas sepuluh Bu Hesti meminta mereka untuk mengambar pada sebiah kanvas yang sudah dibeli dari Bu Hesti. Dan Bu Hesti pun sudah menyiapkan beberapa gambar yang diharuskan mereka untuk meniru. Di mana gambar-gambar tersebut terbilang cukup sulit. Semisal gambar gedung-gedung pencakar langit dengan pemandangan jalanan, suasana pantai kala senja dan pemandangan gunung. Mahera yang tidak bisa melukis hanya bisa melukis di kanvas dengan gambar lagend yaitu dua gunung dengan pemandangan tepian sawah beserta jalanan menunu gunung. Gambar yang sangat cocok digambar oleh anak SD kelas satu atau dua.

Ketika Mahera sedang asik mengamati lukisan-lukisan. Tanpa sengaja ia menabrak tubuh seseorang. Buku-buku yang cukup banyak yang tengah dobawa oleh orang itu terjatuh dan berhamburan di lantai. Dengan sigap Mahera membantu merapikan buku tersebut.

"Sorry ... Sorry, gua gak sengaja," pungkas Mahera.

"Lo gimana sih, kalo jalan liat-lia—" ucapan cewek itu berhenti ketika ia sadar siapa seseorang yang sudah menabraknya.

Pandangan Mahera dan Dearni pun bertemu. Mereka sempat saling memandang tanpa berkedip sebelum akhirnya, Dearni segera mengalihkan pandangan dan kembali merapikan buku-buku yang terjatuh. Tak mau dianggap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab Mahera pun juga kembali membantu Dearni.

"Gak usah, gak apa-apa gua." Dearni berujar tegas dan menepis tangan Mahera yang berusaha membantu.

"Sorry, gua bener-bener gak sengaja."

Dearni tidak menjawab. Dengan terburu-buru Dearni mengambil semua buku yang saat itu tidak tertata rapi. Ia pun segera berdiri dengan beberapa buku yang terlihat masih sangat berantakan dan beberapa di antaranya mungkin akan jatuh jika ia memutuskan untuk berjalan pergi.

"Kaya liat hantu aja lo, buru-buru pergi." Dearni melirik sekilas pada Mahera. Dan kemudian ia membalik tubuh untuk pergi.

"Sebegitu bencinya lo sama gua. Sampe ketemu gua aja gak mau?" tanya Mahera yang melihat gelagat Dearni yang terus menghindar darinya. Jujur saja ada perasaan bersalah yang dalam pada diri Mahera setelah kejadian waktu itu.

"Sini, gua bantu. Lo mau ke kelas 'kan?" Mahera tampak mengambil alih beberapa buku yang Dearni bawa. Tak lupa ia sedikit merapikan buku-buku itu.

"Ayo buruan, nanti lo dimarahin Bu Maryam kalo gak buru-buru!" kata Mahera yang sekarang sedikit gemas karena Dearni malah terdiam tidak bergerak sedikit pun.

'Kok dia tau kalo sekarang gua pelajaran Bu Maryam?'

"Cepetan Dearni Katyana Salvariza!" pungkas Mahera yang sudah berjalan menaiki anak tangga menuju lantai dua. Dengan berat hati Dearni pun mengikuti Mahera dari belakang.

"Misi Bu," ucap Mahera sebelum masuk ke dalam kelas Dearni. Bu Maryam yang saat itu sedang duduk di kursi guru menoleh.

"Ya? Ada apa? Masuk."

Mahera melengang masuk ke dalam kelas Dearni. Ketika masuk seluruh pandangan tertuju pada dirinya. Mungkin dalam benak mereka berkata, 'lho cowok ganteng ngapain masuk kelas gua?'

"Saya mau menaruh buku-buku ini, bu."

"Lho, kok kamu yang bawa? Dearni mana?"

Tak lama berselang Dearni pun masuk ke kelas dengan napas yang berat. Akibat berusaha mengikuti langkah kaki panjang Mahera.

"Saya di sini, Bu."

"Kalo gitu saya pamit ya, Bu?" Mahera mencium punggung tangan Bu Maryam sebelum berajak pergi dari kelas Dearni. Dan pada saat itu Dearni tidak mampu berkata-kata.

***

"Lo kok bisa sama Kak Maher. Gimana ceritanya?" bisik Gianita tepat di samping telinga kanan Dearni. Jujur saja Dearni paling tidak bisa mendengar seseorang berbicara tepat di telinganya. Rasa membuat bulu kuduk terangkat.

"Duh, bisa gak sih lo ngomongnya jangan di samping telinga gua. Geli!" Gianita hanya tersenyum lebar memperlihatkan barisan gigi-giginya. Dearni mengeleng-ngeleng kan kepala.

"Eh, jadi gimana. Kenapa bisa?" tanya Gianita kembali sambil menyenggol bahu Dearni.

"ITU YANG LAGI NGOBROL TOLONG YA, TOLONG PERHATIKAN SAYA," pungkas Bu Maryam tegas. Hal itu membuat pandangan mata teman-teman sekelas mereka tertuju pada mereka.

"Lo sih!" ucap Gianita tak sadar diri.

Lukisan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang