Satu

192 5 0
                                    

"Seharusnya kau harus bersyukur Vin, masih ada laki - laki yang mau menikah sama perempuan penyakitan  sepertimu," ucap pria paruh baya itu dengan sinis tanpa perduli orang yang duduk dengan kepala tertunduk itu sudah banjir air mata mendengar kalimat yang diucapkan oleh ayahnya itu.

"Kalau Dad jadi kau, Dad gak bakal menolak perjodohan ini. Secara dia itu udah ganteng, mapan lagi. Paket complit pokoknya gak seperti kau yang taunya bikin susah orangtua aja," lanjut pria itu membuat si gadis mau tak mau berpikir keras. Dari segi mana ayahnya itu dapat menarik kesimpulan bahwa ia adalah anak yang menyusahkan orangtua. Apa karena selama ini ayahnya itulah yang telah membiayai kebutuhan hidupnya? Bukankah membiayai kebutuhan hidupnya adalah salah satu kewajiban ayahnya sebagai kepala keluarga? Lagi pula ia merasa selama ini ia tak pernah menghambur - hamburkan hasil kerja keras sang ayah untuk hal - hal yang tidak bermanfaat.

"Dad...please kali ini aja biarkan Vina menentukan dengan siapa Vina akan  menikah !" Vina menunjukkan wajah memelas berharap pria paruh baya itu tersentuh dan merasa iba. Meski ia tahu itu adalah sesuatu hal yang sangat mustahil. Namun, tidak ada salahnya bukan berusaha ?

"Dasar anak pembangkang! Taunya melawan perintah orangtua aja. Dikasi yang terbaik malah nolak." Pria itu mendengus. Matanya menatap tajam anak bungsunya yang bahkan sudah semakin menundukkan kepalanya tak berani menatap sang ayah yang semakin murka karena penolakan yang ia berikan.

"Vina..." Gadis itu sontak mengangkat kepalanya  menatap sang ibu yang mulai membuka suara. Wajahnya yang tadinya sendu perlahan cerah. Namun, wajah itu kembali suram saat mendengar kalimat yang terlontar dari mulut sang ibu.

"Dengerin Mom, Nak!" ujar wanita itu lembut namun penuh ketegasan. Membuat gadis itu harap - harap cemas menunggu kalimat selanjutnya. 

"Menurut Mom ada baiknya kamu jangan langsung nolak perjodohan ini. Gini aja deh, kamu coba ketemu dan kenalan dulu, mana tau cocok kan?"

"Mom?" Gadis itu menatap tak percaya wanita paruh baya itu. Ia sungguh tak menyangka kali ini ibunya lebih memilih mendukung ayahnya daripada dirinya. Padahal sebelumnya wanita itu selalu bertindak selaku pembela baginya di setiap ia dan ayahnya terlibat perdebatan.

Lalu ketika harapan terakhirnya justru tak lagi mendukungnya apalagi yang bisa ia lakukan untuk menghentikan perjodohan ini? Berusaha menerima dengan ikhlas? Tentu tidak. Ia bukan tipe perempuan yang gampang menyerah. Segala cara akan ia lakukan termasuk meninggalkan sumber kebahagiaannya serta segala mimpi yang telah ia bangun di kota kelahirannya itu dan menjadi pelarian di sebuah kota yang dijuluki kota seribu industri.

Sebulan lebih telah berlalu tapi entah mengapa rasa kecewa akan kedua orangtuanya itu tidak bisa hilang. Terlebih kepada ayahnya yang lagi - lagi memaksakan kehendaknya. Belum lagi kalimat - kalimat menyakitkan yang dilontarkan oleh pria paruh baya itu menambah goresan luka di hatinya.
Meski kalimat - kalimat seperti itu kerap kali dilontarkan sang ayah kepadanya tapi entah kenapa rasanya tetap sama. Sakit.

Hubungannya dengan sang ayah sedari dulu memang tidak pernah baik. Tepatnya ayahnya itulah yang membuat hubungan keduanya menjadi buruk. Entah apa penyebabnya sehingga ayahnya itu terlihat begitu membenci dirinya sehingga kerap kali memperlakukannya dengan kasar.
Sikap yang berbanding terbalik jika ayahnya berhadapan dengan Puteri sulungnya.

Di hadapan putri sulungnya itu, Runggu bisa menjelma menjadi sosok ayah yang lembut dan penuh kasih sayang. Tak pernah sekali pun pria itu melontarkan kata - kata kasar di hadapan putri sulungnya itu. Ayahnya itu juga tak pernah terlihat memaksakan kehendaknya kepada saudaranya itu. Tidak seperti padanya.

Ia tidak pernah tahu persis apa yang membuat Runggu begitu membencinya karena setiap kali ia mempertanyakan hal tersebut, ia tak pernah mendapatkan jawaban yang memuaskan entah itu dari ibunya ataupun dari saudara - saudaranya.

Hanya saja beberapa kali ia tak sengaja mendengar pembicaraan kedua orangtuanya yang mendebatkan hal yang sama. Apalagi kalau bukan tentang kekecewaan sang ayah akan kelahirannya yang tak sesuai harapan.

Sebagai seorang anak laki - laki satu - satunya dan berdarah Batak yang menganut sistem patrilineal, keluarga besarnya sangat berharap Runggu memiliki anak laki - laki agar dapat meneruskan marga.
 
Sebagian besar laki - laki Batak yang sudah menikah menginginkan anak laki - laki sebagai penerus agar marganya tidak terputus demikian juga Runggu. Meskipun Runggu termasuk orang yang berpendidikan tinggi dan cukup sukses pada saat itu tapi hal itu tak menghilangkan keinginannya untuk memiliki anak laki - laki. Selain agar ia memiliki penerus marga, ia berpikir dengan lahirnya seorang anak laki - laki, ibunya akan berhenti merecoki kehidupan rumah tangganya.

Mendengar istrinya akhirnya mengandung anak kedua mereka setelah sekian lama menunggu, Runggu begitu bahagia. Ia bahkan tidak sabar untuk mengetahui jenis kelamin janin yang dikandung isterinya. Runggu sedikit bernafas lega ketika dari hasil pemeriksaan terakhir, bidan menerangkan kalau calon bayinya berjenis kelamin laki - laki.

Bisa dibayangkan betapa bahagianya Runggu saat itu. Saking bahagianya ia tak sungkan berbagi kabar tersebut kepada saudara hingga rekan kerjanya. Akan tetapi kebahagiaan itu ternyata cuman sesaat.
Harapan Runggu yang sudah melambung tinggi seketika dipatahkan oleh satu kalimat yang disampaikan oleh dokter yang membantu persalinan sang isteri pada saat itu. "Selamat Pak, bayinya perempuan."

Runggu nyaris pingsan saat mendengar kabar itu. Beruntung ada sang ibu mertua yang menguatkannya saat itu sehingga dokter dan para perawat tidak perlu menyediakan bangkar tambahan untuknya dan menjadi pasien baru yang dinyatakan terkena depresi akibat menolak kenyataan.

Runggu memang berhasil menguasai dirinya tapi bukan berarti ia juga bisa langsung menerima kenyataan bahwa harapannya telah pupus. Ia bahkan dengan terang - terangan menolak kehadiran puterinya itu tanpa memperdulikan perasaan sang isteri yang bisa saja sakit hati.

Kazumi yang memahami apa yang dialami oleh suaminya itu hanya bisa mengelus dada. Meski ia juga merasa kecewa kepada sikap sang suami tapi ia hanya bisa diam dan mempersiapkan diri dengan kemungkinan terburuk yang akan ia alami setelah ini. Termasuk mengikhlaskan suaminya menikah lagi atau menceraikannya karena tak dapat mewujudkan harapan sang suami memiliki anak laki - laki.

Meski hatinya terasa sakit, Kazumi berusaha bangkit. Semua itu ia lakukan semata - mata untuk kedua puterinya. Terlebih untuk puteri bungsunya yang ditolak kehadirannya oleh sang suami. Tadinya ia mengira sang suami hanya butuh waktu sebentar untuk menjernihkan pikirannya dan bisa menerima kenyataan tapi ternyata harapan tinggal harapan. Hingga bayi merah itu tumbuh dewasa keadaan tak kunjung berubah bahkan keadaan menjadi lebih parah. Suaminya itu kerap kali menyalahkan puteri yang ia beri nama Vina Laviola Simbolon itu atas masalah yang bertubi - tubi menimpa keluarga kecil mereka setelah kelahiran sang Puteri.

***

Pariban "Aishite Imasu" ( TAMAT )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang