Bubur dan Bumi.

190 28 9
                                    


"Ahhh! Kenapa gue ceritain ke lo sih!" Kesalku setelah sadar aku terbuka tentang perasaanku.


Bumi tertawa kencang, "Gue nggak minta di ceritain."


"Tau ah, nyebelin!"


Bumi menghentikan motornya tepat di depan tukang bubur yang cukup ramai. Aku pun turun dari motor, menunggu Bumi masih memarkirkan motornya. Setelahnya ia menghampiri grobak bubur.


"Mang, mau dua. Punya gue kayak biasa, jangan pake kacang sama bawang." Ucapnya seakan-akan ia sudah biasa membeli di sini. "Lo mau gimana, Moon?" Tanyanya padaku, setelahnya ia mengambil air botol mineral dingin dari dalam box pendingin.


"Aku campur aja, Mang." Mamang buburnya mengiyakan sembari membuat bubur pesanan Bumi juga aku.


Aku menghampirinya dan duduk di sampingnya di kursi plastik. "Lo biasa makan di sini?" Tanyaku penasaran.


"Itu Bokapnya Elang." Seketika aku melongo, aku menatap Mamang buburnya. Wajahnya tidak mirip Elang. "Canda ha ha ha!" Tawanya.


"Sialan! Gue kaget."


"Itu Mamang buburnya yang biasa Elang sewa jadi bokapnya kalo di panggil kepsek."


"Bercanda lagi deh?"


"Serius. Kalo bokap sewaan gue ada lagi. Dia tukang pangkas rambut deket rumah Aryan."


"Kalian selalu sewa orang tua?" Tanyaku serius karena memang beberapa kali Bumi dan teman-temannya di panggil Pak Kohan.


"Iyalah semuanya." Bangganya.


"Emangnya orang tua yang lain kenapa?"


Bumi hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku. Ia pun memilih untuk melahap bubur ayam yang baru saja di berikan Mamang buburnya. Aku pun tak memaksanya untuk menjawab. Aku ikut melahap bubur ayam yang memang terasa enak.


"Enak, Moon?" Tanyanya di sela-sela kunyahannya. Aku hanya mengangguk tanpa berniat menjawabnya. "Iyalah, bokapnya Elang!"


Selama makan Bumi ikut diam. Akupun diam karena memang aku terbiasa diam saat makan. Selesai makan, Bumi menoleh ke arahku.


"Lo nggak masalah kan gue ajak makan di pinggir jalan gini?"


Aku berdesis sebal, "Gue lebih suka makan di pinggir jalan!"


Bumi tersenyum sembari mengusap rambutku lembut, "Makin sayang deh."


Aku hanya diam tanpa membalasnya. Aku masih terus menepis perasaanku yang memang sudah untuknya. Aku masih belum ingin menunjukkannya. Aku masih takut dengan perasaan seseorang yang bisa saja berubah dalam sekejap. Ingatlah Adlan, ia saja selalu menunjukkan ia ingin denganku tapi akhirnya ia lebih memilih bersama Mecca daripada bersamaku.

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang