Mereka yang ada di ruang tamu spontan berdiri, mengangkat kedua tangan, tak terkecuali ayah Kinanti. Terkejut sekaligus tegang. Mengapa bisa tentara Jepang menyergap kediaman Gusti Pradana?
"Narande ippozenshin suru!" (berbaris, dan maju kedepan) instruksi seorang komandan dalam kelompok itu. Mata sipitnya menatap nyalang pada pangeran Mahardika dan keluarganya.
"Tunggu!" sergah pangeran Mahardika tiba tiba.
"Apa yang membuat kalian datang kemari dan memperlakukan kami begini?" Ucap pemuda itu lantang namun tak menantang. Karena ia tau, yang saat ini berhadapan dengannya bukanlah sesuatu yang patut dianggap remeh.
"Kaihi sinaide!Kami sudah tau anda terlibat dalam gembong pemberontak Wirobrajan. Sekarang ikut kami untuk interogasi."(jangan mengelak) ucap sang komandan dengan wajah bengisnya.
Gusti Pradana mengerutkan dahi. Ia tahu, putra sulungnya tak pernah mengikuti pergerakan pemuda semacam itu, apalagi sampai berurusan dengan Kempeitai dai Nippon. Lantas lelaki itu bertanya, "Benarkah itu nak?"
Pangeran Mahardika menoleh, hendak menjawab pertanyaan sang ayah, namun segera disergap oleh dua orang tentara Jepang. "Lepaskan!" Mahardika terus berusaha membebaskan diri, meliukkan tangannya yang berada di belakang tubuh, dipegangi oleh kedua tentara.
"Aku tidak pernah mengikuti pemberontakan apapun! Kalian pasti salah orang! Lepaskan!" Pemuda itu meringis merasakan cengkraman kedua tentara itu semakin erat.
Komandan berwajah bengis itu tersenyum merendahkan, lantas beralih menatap pangeran Mahardika dengan sengit. "Lalu buat apa kami menangkap mu jika bukan karena kau seorang kriminal? Tada shitagau!" (ikut saja!)
"Lepaskan putraku! Dia tidak mungkin terlibat dalam pergerakan apapun! Aku berani bersumpah demi nyawaku!" Gusti ayu Pramusita ikut menimpali, membentak mereka yang hendak menyakiti putranya. Ia tahu betul, Mahardika tak pernah mengikuti pergerakan pemuda, apalagi mencari masalah dengan pemerintah kolonial. Rautnya marah seperti singa betina yang siap menerkam mangsanya. Namun pergerakkan wanita berusia awal 50an itu berhenti saat salah satu tentara Nippon menodongnkan senapan laras panjang di tengkuknya.
"Jangan menyentuhnya!" Gusti Pradana berlari melindungi istrinya yang kini berwajah sepucat tembok. Ia menerjang tentara Nippon di belakang Pramusita hingga terjengkang membentur perapian. Lelaki itu menyembunyikan sang istri di balik tubuhnya.
"Itu benar, Mahardika tidak mungkin seperti itu! Pergi dari sini! Kami tidak punya urusan denganmu, dengan pasukan mu, juga dengan kaisarmu!" Sentak Gusti Adibrata sembari menunjuk nunjuk wajah komandan mereka, ikut membela keluarga calon besannya.
Suasana kian menegang, rahang sang komandan berkedut marah, ia menggebrak meja ruang tamu dengan sepatu boot nya. Netra legamnya semakin menggelap tersulut amarah. Tiba tiba suaranya menggema "Sorera o korosu!" (habisi mereka)
❌❌❌
Adjeng Andriyani tak mampu menyembunyikan gelisahnya. Sudah lewat tengah malam, dan sang suami belum juga kembali. Berkali kali kepalanya melongok ke teras, berharap sosok Adibrata cepat kembali. Kinanti ada di sana, ikut menenangkan sang ibu yang tak henti hentinya merapal doa.
"Gusti... kemana perginya suamiku!" Andriyani mondar-mandir gelisah, sambil memijat pelipis.
Dhanu Brawijaya telah berangkat ke Batavia beberapa jam lalu. Dan kini, dirumah itu tinggalah Andriyani, Kinanti, dan beberapa pembantu wanita paruh baya. Tak ada lelaki di sana. Romo yang tak kunjung pulang membuatnya khawatir.
"Kita tunggu saja sebentar lagi bu.." hanya itu yang mampu diucapkan Kinanti. Ia begitu khawatir, tiba tiba kilasan memori tentang kebersamaanya dengan Romo terputar berulang, hingga membuatnya pening.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐨𝐯𝐞 𝐢𝐧 𝐖𝐨𝐫𝐥𝐝 𝐖𝐚𝐫 𝐥𝐥
Ficción históricaCERITA SEDANG HIATUS Indonesia, 1943 Berwajah datar, dengan hati sekeras baja adalah pesona Nakamura Yamada Hiro. Putra seorang petinggi Dai Nippon yang diutus memimpin pasukan ditanah bekas jajahan Belanda. Hidup keras bukan lagi hal asing baginya...