10 - An Open Book Full Of Blank Pages

10.4K 2.1K 180
                                    

"Aku yakin seratus persen kalau Pak Steven naksir kamu, Ner!"

Neri terkejut. "Kamu ngomong apa ngigau sih, Ke?" hardiknya kesal.

Sekarang mereka menginap di guest house milik perusahaan, karena rencana rapat yang harusnya selesai sehari, telah molor menjadi tiga hari. Yuke tentu senang karena dia punya kesempatan untuk menghabiskan waktu cutinya dengan tinggal di tempat yang gratis. Berbeda dengan Neri yang puyeng dihajar pekerjaan.

"Percaya deh sama aku!" kata Yuke sambil nyengir menyebalkan.

"Atas dasar apa kamu berpraduga kayak gitu?"

"Kamu nggak nyadar juga? Nih?" Yuke merentangkan tangannya. "Kedatanganmu ke sini, fasilitas guest house ini, dan mungkin juga promosi kamu yang di depan mata."

Neri mengerutkan kening. "Aku akan tersinggung sekali kalau promosiku dikaitkan dengan sentimen pribadi Pak Steven. Aku datang ke sini kan karena pihak manajemen yang tertarik dengan programku. Dan kupikir mereka melakukan hal yang sangat masuk akal ketika memberi sinyal kalau kemungkinan aku akan bergabung pada tim baru untuk pengembangan warehouse, di luar wewenang toko yang dikelola Bu Grace."

"Tapi Ner, bagaimana pun juga Pak Steven yang membuat idemu di dengar. Terlepas dari perkara dia naksir kamu apa nggak."

"Ke, perusahaan ini orientasinya pada profit. Ketika ada karyawan yang menurut mereka bakal menghasilkan profit berlipat-lipat, pasti lah mereka dukung. Pak Steven bagian dari manajemen perusahaan, dan dia juga berkepentingan pada keuntungan itu. Paham?"

"Duh, kamu ini, susah banget sih diajak sedikit aja berpikir optimis."

"Optimis apanya? Itu sih halu namanya," bantah Neri.

"Tapi bagaimana pun aku tetap percaya kalau Pak Steven lagi ngedeketin kamu. Tunggu aja tanggal mainnya."

Neri menjitak temannya itu dan melanjutkan pekerjaan yang dia bawa sampai ke penginapan. Karena besok hari terakhir di kantor pusat dan dia harus maraton rapat dari pagi. Besok pula keputusan final ditentukan, apakah dia mendapat promosi itu. Neri menyadari kalau dirinya tidak berani berharap akan terpilih untuk menjadi anggota tim yang mengelola penjualan tiga kota besar di sekitar Malang. Ambisi itu terlalu berlebihan di usianya sekarang.

Jadi ketika keesokan harinya direktur operasional menyatakan tentang posisi baru buat Neri sebagai wakil Pak Steven, gadis itu hanya bisa terpaku dengan dada berdebar kencang. Bahkan ucapan selamat yang diterimanya dari para atasan, hanya sanggup dia terima dengan suara terbata-bata karena gugup.

Pak Steven adalah orang terakhir yang menyalaminya. Senyum lebar di wajahnya yang tampan terlihat begitu tulus ketika telapak tangannya yang lebar dan hangat menjabatnya.

"Selamat ya, Ner, untuk promosi kamu," katanya dengan suaranya yang terdengar lembut dan empuk di telinga. "Saya sudah nggak sabar untuk bekerja bersama kamu."

Neri mengangguk. "Terima kasih, Pak," katanya masih tertegun.

Peristiwa ini jauh di luar ekspektasinya. Semula dia hanya mengira naik jabatan menjadi staf di kantor pusat saja. Siapa duga akan menjadi wakil Pak Steven?

"Neri! Kamu gila!" jerit Yuke sambil berurai air mata bahagia, saat Neri menceritakan dengan terbata-bata apa yang baru saja didapatnya. "Selamat ya, pencapaian kamu sungguh luar biasa."

Melihat Yuke yang menangis terharu, Neri pun akhirnya sesenggukan.

"Kamu layak banget, Ner. Buat dapetin semua ini."

"Tapi aku baru 26 tahun, Ke."

"Dan kamu sudah bekerja keras selama sepuluh tahun, Neri! Kamu layak banget!" Yuke mengenal Neri sebagai pekerja keras yang pantang menyerah. Lembur dan tanggung jawab berlipat dia jalankan tanpa banyak mengeluh. Dan setiap peser uang yang dia terima dia belanjakan dengan penuh perhitungan. Neri jauh lebih dewasa dari usia yang sebenarnya.

Marry Me Marry Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang