Gadis bernama Irene itu tak berhenti menatap kagum akan isi galeri seni yang ia masuki. Dari menit awal menginjakkan kaki di sana, pupil matanya kerap kali membesar dengan decakan kagum keluar dari bibirnya. Belum lagi dengan berbagai lukisan bergaya abstrak yang menurut sebagian orang terlihat aneh dan menyeramkan, namun bagi Irene, ia bahkan dapat merasakan emosi dari sang seniman.
Bergeser dari lukisan satu ke lukisan yang lainnya, gadis itu terdiam kala melihat lukisan di hadapannya. Bingkai besar itu menampakkan lukisan sederhana bergambar mawar, dengan warna biru di bagian kelopaknya. Irene tersenyum samar, lalu membuang napas. Ia tak menyangka, dirinya akan menemukan lukisan ini di sini.
"This is beautiful, isn't it?"
Irene tersentak kaget kala mendapati seorang wanita telah berdiri di sampingnya sembari menatap lukisan yang sama. Detik berikutnya, wanita yang tak Irene ketahui namanya itu tersenyum tipis. Tanda pengenal dengan logo yang sama dengan galeri seni tempat Irene berdiri ini bisa gadis itu dapati di bagian dada kirinya.
"It's pretty," bisik Irene. Lalu, disambut anggukan setuju oleh wanita di sampingnya.
"Our artist said, that the meaning of blue rose is ma—
"Making the 'impossible' possible." Irene menyela dengan segera lalu menoleh ke arah sampingnya lantas tersenyum manis.
"Right?"
Wanita tersebut tertegun sesaat, sebelum akhirnya ikut tersenyum bersama Irene. Ia hanya takjub mendengar hal itu dari Irene, yang mana gadis itu belum pernah ia lihat di galeri seni tempatnya bekerja ini. Ia juga tak menyangka, gadis dengan rupa menawan tersebut akan tertarik dengan seni. Kebanyakan yang ia tahu, gadis-gadis seperti Irene ini lebih suka bersolek ria dengan mengoleksi banyak barang branded daripada mengurung diri di galeri seni yang tak semua orang suka.
"Wow, so you know what the meaning behind this painting? I bet you have a great sense of art." Irene hanya tersenyum tipis menanggapinya. Selanjutnya, ia mengalihkan atensi dari lukisan di hadapannya menuju wanita tersebut.
"Kau pegawai di sini...Jennie?" Irene menyipitkan matanya untuk membaca tanda pengenal milik wanita yang mengajaknya berbicara sedari tadi tersebut. Dan wanita bernama Jennie itu kembali tersentak kaget untuk sesaat, lalu mengangguk singkat.
"Iya, saya pegawai di sini. Saya pikir anda tak bisa berbahasa Indonesia." Lagi, Irene tersenyum saja mendengar penuturan itu keluar dari bibir Jennie. Banyak yang mengira ia tak mengerti bahasa ibunya memang, hingga orang-orang lebih suka berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Inggris bahkan Chinese.
"Kau bukan satu-satunya yang berpikir seperti itu sebenarnya." Jennie tersenyum kikuk lalu keheningan menghampiri mereka setelahnya. Irene masih mengamati karya seni di hadapannya, dan Jennie ingin segera pergi dari sana. Namun pekerjaannya yang mengharuskan ia menemani 'tamu-tamu baru' membuatnya tertahan untuk sementara waktu.
Irene beranjak dari lukisan mawar biru yang membawa sejuta kesan baginya, menuju ke bingkai selanjutnya. Senyum lebar ia patri setelahnya.
"Uh, sunflower!" Irene berteriak girang, diiringi dengan kerutan di dahi seorang Jennie.
Irene mengamati dengan teliti sembari mulai berpikir. Imajinasinya berkelana guna menafsirkan apa arti dari gambar yang ia lihat saat ini.
"Biar kutebak, dia membuat lukisan ini karena dia tak ingin kehidupannya serumit blue rose, kan? Dia hanya ingin mengikuti matahari tanpa harus melawan takdir. Terlalu melelahkan memang memungkinkan yang tidak mungkin." Irene dengan segudang maknanya dan sejuta imajinasinya mulai menebak arti dari bingkai di hadapannya ini. Penuh percaya diri karena mengira tebakannya kali ini benar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Flower of Despair
RomanceYou still live in the silences between my thoughts. © cyroldbee, 2020.