認罪。

428 78 11
                                    

Jul, 1946

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jul, 1946.

Entah bagaimana caranya, mereka berakhir di sini. Hanya berdua. Minghao yang duduk di atas bebatuan yang menjadi pagar pembatas antara pasar malam dengan danau, serta lelaki yang menurutnya mengesalkan itu menunjukkan kebolehan wushunya. Dengan kuas yang baru dibelinya, ia menorehkan tinta membentuk wujud si lelaki wushu di atas kertas halaman pertama bukunya yang juga baru dibeli.

Entah kenapa ia mau-mau saja menjadikan tentara itu model gambarnya. Padahal ia yang membuat suasana hatinya hari ini memburuk saat makan malam tadi. Demi Tuhan. Tentara itu sangatlah aneh. Bagaimana bisa dia mengatakan sebuah lemon sama sekali tak terasa asam di mulutnya? Namun setelah terpaksa meladeni tingkah kekanakannya, si tentara itu tak buruk juga. Bahkan Minghao tak merasa kesal saat menyadari teman-teman lainnya bersekongkol untuk meninggalkan mereka berdua.

"Sudah gambarnya?" Yang pamer tadi datang mendekat, ikut duduk di sebelah si seniman.

Tanpa mengalihkan pandang, ia membalas, "Sebentar lagi selesai."

Yang satunya tertawa kecil. Gemas melihat ekspresi serius teman barunya itu. Ia lebih manis saat kalem nan serius ternyata. Namun kalau disuguhi yang dalam mode sarkas seperti seminggu lalu, tentara itu tak keberatan juga.

"Sudah!" pekiknya kegirangan. Menarik si pemuda yang lebih tinggi dari imajinasi di kepalanya. "Namamu siapa? Biar kutuliskan di sini."

Dilihatnya si seniman menoleh padanya, membalas tatapannya. Tangan si Xu sudah bersiap-siap akan menuliskan namanya di ujung kanan bagian atas kertas. Dengan nada ceria, ia menjawab, "Namaku ... takkan kuberitahu."

Senyum lembut itu berubah datar, membuat tawa kecil menyembur dari si tentara. "Ayolah. Kau sudah tau namaku, dan sudah seharusnya aku juga tau namamu."

"Kau manis, Hao."

Kok .... "Enak saja, aku keren tau!" Bicaranya begitu, namun telinganya sudah mulai memerah. Matanya pun melirik sana-sini, menghindari tatapan manis yang diberikan pria di sampingnya.

"Tulis saja, Wen Junhui sangat tampan," ujarnya tersenyum kecil, masih memusatkan tatapan pada wajah manis itu.

Minghao kembali menoleh, menatap pria yang baru perkenalkan dirinya. "Wen Junhui? Itu namamu? Baiklah."

Tangannya bergerak dengan telaten, mengukir nama yang disebutkan tadi dengan apik. Lalu merobek halaman pertama itu dari bukunya dan diberikannya kepada Junhui.

"'Sangat tampan'nya mana?" tanya Junhui saat disadarinya di sana hanya terukir nama lengkapnya disertai bubuhan tandatangan si seniman.

Yang satunya yang sedang sibuk merapikan kuas-kuas dan tinta ke dalam boks kecil menimpali secara impulsif, kemudian menampilkan keterkejutannya dengan jelas. "Di wajahmu."

Mata dan mulutnya yang terbuka lebar disertai telinga dan wajah memerah membuat senyum kecil terpatri di wajah tampan itu. Dengan kepercayaan diri yang meningkat, Junhui membentuk pistol dengan jarinya lalu menempelkan jari telunjuk di dahinya sementara jempolnya di bawah dagu, disertai kedua mata yang terpejam. "Ternyata ketampananku juga diakui oleh kaum adam."

Hening. Minghao masih sibuk menenangkan dirinya, sementara kedua netra cantik milik Junhui memusatkan pandang pada rembulan yang bersinar terang di atas sana. Entah kenapa ia merasa kehadiran rembulan itu seakan-akan mengoloknya dan perasaannya. Junhui tau perasaan ini salah. Tak seharusnya ia merasakan ini terhadap orang yang baru dikenalnya. Terlebih lagi orang itu merupakan kaumnya. Namun, tanpa hiraukan stereotip, ia takkan lari dari kenyataan lagi. Sudah cukup ia menyesal telah melepaskan seseorang yang berharga baginya dulu.

"Minghao." Yang dipanggil menoleh, mendapati Junhui yang masih mendongak memperhatikan langit malam. "Bagaimana kalau ... aku bilang aku tertarik padamu?"

Ditemani semilir angin yang tiba-tiba berhembus menerbangkan beberapa helai surai coklat milik keduanya, seakan ikut senang dengan keputusan impulsif Junhui, tatapan kedua lelaki ini bersirobok. Hening. Tak ada suara yang keluar dari masing-masing bilah bibir. Hanya terdengar suara organ terpenting tubuh milik keduanya yang berdetak tak karuan.

©munwaves, 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©munwaves, 2020

black rose [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang