Bersama Bumi.

216 31 9
                                    

Aku tidak pernah dapat menebak setiap tindakan Bumi. Aku tidak pernah berharap ia pulang sekolah bersamaku. Ingat saat dulu ia masih menjadi penguntit selalu mengikutiku ataupun memperhatikanku dalam diamnya. Saat itu aku tidak peduli dengannya karena memang saat itu aku tidak menduga kalau Bumi suka padaku. Tapi saat ini aku percaya, Bumi selalu ingin menunjukkan ia ingin bersamaku. Bukan hanya ucapannya saja, tetapi di imbangi dengan setiap tindakannya yang menurutku manis.


Sudahku katakan sebelumnya kalau Bumi itu ketua geng. Ia punya motor, kalaupun ia tidak membawa motor, masih ada motor temannya masih bisa ia tumpangi. Tapi siang ini ia lebih memilih pulang bersamaku dengan angkutan umum. Lihat saja ia sudah duduk di sampingku.


"Motor lo kemana?" Tanyaku memulai topik. Sebenarnya bukan aku ingin mengobrol, hanya saja aku malas, sedari tadi ia terus menatapku dengan senyum di bibirnya.


"Di bawa Reno."


"Kenapa nggak pulang bareng Reno aja sih?"


"Dia jalan sama temen lo."


"Mawar?"


"Ho'oh."


"Kan bisa bareng yang lain."


"Bareng lo aja, lebih bahagia."


"Gue naik kereta loh?"


"Naik pelaminan aja gue temenin, apalagi cuma naik kereta."


Aku memilih diam dan lebih memilih memandang sepatuku dan sepatunya daripada pemilik sepatu yang aku pandang. Ukuran kaki Bumi bisa dikatakan besar. Aku membandingkan ukuran kakiku dengan kakinya sangat jauh berbeda.


Aku selalu kagum dengan penampilan sederhana Bumi. Aku tau betul, ia lahir dari keluarga berada. Bisa dikatakan sama sepertiku. Tapi penampilan tidak pernah menunjukkan ia hidup mewah. Lihat saja sepatu yang ia kenakan. Sepatu vans hitam lusuh, tasnya pun terlihat biasa saja, bukan dari brand mewah. Jaketnya pun ia lebih sering mengenakan jaket milik gengnya. Aku hanya tau ia memiliki beberapa jaket selain jaket gengnya. Aku juga sudah beberapa kali makan bersamanya, ia selalu mengajakku makan di tempat sederhana seperti angkringan atau makanan pinggir jalan daripada makanan mewah yang aku yakini mampu ia beli.


"Kiri Bang."


Genggaman tangan Bumi mampu mengembalikanku pada dunia nyata. Ia menarik tanganku untuk turun dari angkot. Bumi membayar ongkosku dengannya. Ia kembali menarikku menuju pintu masuk stasiun.


"Lo nggak beli tiket?" Tanyaku pada Bumi sebelum benar-benar masuk ke dalam stasiun.


Ia mengeluarkan e-money dari saku bajunya, "Di kasih sama Adira." Cengirnya.


"Adira sering naik kereta?" Tanyaku sembari berjalan menuju peron 3.


"Nggak, dia anti kendaraan umum. Dia gue suruh beli ini biar gue bisa naik kereta sama lo."

Tinggal KenanganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang