生日快樂。

367 77 11
                                    

Nov, 1947

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nov, 1947.

Barak gedung B kini sedang dipenuhi dengan kerusuhan pagi hari yang dihasilkan para tentara lelaki. Ada yang memperebutkan giliran berguyur, wastafel untuk pembersihan wajah, dan gosok gigi serta pasta baru yang terbatas stoknya. Ajaibnya di antara seluruh keributan itu, salah seorang yang berasal dari Shenzhen masih dapat tertidur pulas. Belum lagi sebuah pulau yang tercipta di bantalnya.

"Hoi, Tuan Tampan Wen." Si tentara yang baru direkrut datang menghampiri. Gumaman kecil dihasilkan oleh yang tertidur, tanpa mata yang terbuka.

"Di tengah keributan ini, kok bisa dia tak terganggu sedikit pun?" heran si tentara baru, dengan jari telunjuknya menggaruk pelipisnya yang diyakini oleh dua temannya tak gatal. "The real gorgeous man is amazed."

"Diam, Xuxi. aku lebih capek mendengarkanmu berbicara dalam bahasa asing yang kuyakini sedang memuji dirimu daripada mendengarkan Junhui berceloteh tentang ketampanannya 365 hari dalam setahun." Salah satu temannya, Sicheng, berucap seiring dengan tangannya bekerja membungkus kedua kakinya dengan kaus kaki hitam.

Temannya yang satu lagi yang sedari tadi hanya menyimak bangkit dari duduknya. Dihampirinya si putra tidur. "Hoi, kekasihmu ulang tahun," bisik Kun tepat di telinga Junhui.

"Hah, apa?" Ajaibnya, dia terbangun. Hanya ketika topik kekasihnya diangkat saja lelaki itu akan sadar. Surai hitamnya mencuat ke mana-mana, layaknya sarang burung yang sudah lama tak ditinggali. Kepalanya bergerak menoleh ke sana-sini. Belum lagi terdapat aliran sungai di pipinya. Mengundang suara tawa tertahan dari tiga temannya—salah satunya memantau dari ujung ruangan.

"Jenderal Mayor berubah menjadi gembel!" teriak Kunhang dari ujung ruangan, membuat para tentara yang sedang berebutan alat mandi menoleh memandang lelaki yang sama dan menertawakannya.

;;;

"Minghao!"

Baru saja keluar rumah, sudah terdengar suara teriakan yang dihasilkan segerombolan lelaki. Menoleh ke kiri untuk mendapati sebuah truk khas militer melaju dengan kecepatan sedang. Membuat para pejalan kaki refleks bergeser menjauhi tengah jalan. Tak lama truk itu berhenti tepat di depan rumah tetangganya. Yang diteriaki tadi dengan canggung membalas senyuman dan lambaian tangan para tentara.

Ini bukan mau demo, kan?

Tampak lelaki yang dianggapnya spesial itu melompat menuruni bak truk. Ia mengambil boks persegi panjang dan sebuah kotak berukuran sedang dari teman seprofesinya sebelum menghampiri lelaki yang berdiri di depan rumahnya dengan canggung.

"Minghao," sapanya lembut disertai senyuman menampilkan gigi-gigi yang berderet rapi. Kedua tangannya mengulurkan kedua boks itu ke arah lawan bicaranya. "Selamat ulang tahun."

Diambilnya kedua pemberian itu. Dapat dilihat kue yang dihias seadanya dibubuhi ucapan ulang tahun melalui bagian atas kotak yang transparan. Refleks senyum manis terlukis di wajah manisnya, membuat tentara Wen yang melihatnya membeku menikmati pemandangan manis di depannya.

"Kenapa datangnya ramai-ramai?" tanyanya setelah kembali mengunci pandang dengan lelaki di hadapannya. "Searah dengan gedung pelantikan?"

Yang ditanya mengangguk. Truk itu memang akan membawa mereka menuju gedung megah yang biasanya diperuntukkan untuk pelantikan militer. Tentara satu ini memang akan dilantik untuk menduduki posisi Jenderal Mayor pagi ini. Namun bukannya langsung menuju gedung, ia malah meminta pengertian teman-teman seprofesinya untuk singgah di rumah kecil milik kekasihnya.

"Ya sudah, sana. Nanti kalian telat. Teman-temanmu sudah menunggu."

"Ih, aku diusir," katanya manja. Bibirnya sudah maju beberapa inci.

"Calon Jenderal Mayor yang biasanya tegas bisa begini di depan kekasihnya?" Terdengar salah satu tentara di atas bak truk bertanya. Menghasilkan kikikan geli dari belasan tentara lainnya, juga dari Minghao sendiri.

"Dasar tak tau malu. Temanmu mencibirmu, tuh," kata si penyandang marga Xu sebelum melingkarkan kedua lengan di pinggang kekasihnya. Tau benar kekasihnya itu menginginkan ini sebelum ia pergi.

Pelukan itu dieratkan seiring dengan pinggang ramping Minghao yang dikunci oleh kedua lengan Junhui. "Aku tak peduli. Aku menyayangimu, itulah yang terpenting," balasnya, lalu memberi kecupan bertubi-tubi di seluruh wajah lelaki kecil di pelukannya.

"Sudah— Tunggu— Jun-ge—" Kikikan geli tercipta, sebelum akhirnya Junhui menghentikan aksinya. Refleks kedua matanya melebar saat Minghao dengan nekat mengecup bibirnya singkat. Dilatarbelakangi sorakan menggoda dari para tentara, Minghao menyembunyikan wajah semerah tomatnya di dada kekasihnya yang lebih tinggi sementara Junhui menyunggingkan senyuman kecil seraya tangannya mengelus surai lembut seniman favoritnya.

©munwaves, 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

©munwaves, 2020

black rose [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang