(7) Ahn agreement.

1.2K 162 3
                                    

Namjoon mengatur jalan napasnya beberapa kali, guna menenangkan perasaan. Tadi, ia baru melihat kalender digital yang berkedip di sisi meja dan sadar masih tersisa tiga minggu lagi.

Lama. Sangat lama.

Kembalinya pujaan hati yang ditolak sebagai mantan, bukan hal yang mudah diredam. Soal hatinya lebih-lebih. Ia cukup terkejut mendapati sosok menawan itu hadir di depan mukanya lagi. Dengan senyum indah yang sama, juga rona semu hangatnya. Tidak ada yang berubah.

Walau bibir ranum itu mengatakan sebuah keharusan formal ia datang karena mereka tetaplah teman juga sebagai yang lebih tua, pendar penuh cinta itu tak bisa ditutupi. Mereka pernah dekat. Tentu saja insting dan ikatan masih terasa pekat. Alasan klise apa pun tak mempan di nalar Namjoon.

Keinginan untuk memiliki juga menggenggam kembali apa yang terpaksa lepas, masih kental menjalari sekujur tubuhnya.

"Hyejun tetaplah putra saya. Selain nama marga yang disematkan padanya, Hyejin sendiri menitipan anak itu pada saya, tuan Ahn." Namjoon berujar tegas dan jelas. Tidak berkedip menatap sang ayah mertua yang duduk di seberang meja.

Ya. Sedari pagi tadi, mertuanya datang berkunjung. Sekadar menemui si cucu juga sekalian bersilahturahmi dengan besan dan tentunya menantu yang duduk tegap dengan gagah. Tak sedikit pun ragu atau terbata dalam mengatakan keyakinan serta pilihan.

"Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga besarku, Namjoon. Yang kamu lakukan ini, akan mencoreng namaku juga."

"Apa perlu saya menunggu sampai seratus hari?"

"Bukan soal itu, anak muda."

"Lalu?"

"Sepeninggal putriku, apakah pantas jika dirimu tinggal bersama ... kekasih yang juga pria dan mengurus Hyejun dengan ... entah aktivitas apa yang akan kalian torehkan di mental cucuku. Lebih baik jika ia bersama kakek neneknya saja, dari pada bersamamu yang bermasalah dengan orientasi seksual. Kukatakan terus terang demikian."

"Saya menghargai pendapat Anda. Sekarang, bolehkah saya mengemukakan tanggapan?"

Ahn Heunjae menghela lalu mengangguk mempersilahkan.

"Stigma yang Anda pahami adalah salah satu ketimpangan dalam memahami tindakan saya. Itu hanya dari satu sisi saja. Yang saya lakukan tak jauh beda dengan orang lain dalam memilih jalan hidup. Permasalahannya hanya pada jenis kelamin. Rasa suka itu tak berbatas. Saya simpulkan seperti demikian. Namun, tentu saja kita memiliki perbedaan pendapat. Begitu juga dengan semua orang di dunia. Saya sayangnya tak memedulikan hal itu. Jika omongan seluruh orang dimasukkan dalam kepala, saya sudah pasti gila." Namjoon tetap menjaga alur napasnya seperti si mertua yang setia menunggu lanjutan kalimatnya, "sederhana saja, tuan Ahn. Saya hanya ingin mencari kedamaian sendiri. Itu adalah dengan memegang kembali apa yang terpaksa saya lepaskan untuk idealisasi Anda juga mendiang ayah saya. Kewajiban saya sebagai orang tua kini. Itu akan tetap saya jalani sampai kapan pun. Hanya saja saya tak sanggup jika hanya sendiri. Saya manusia biasa yang juga bisa lenyap kapan saja. Selama Hyejun belum bisa mencari nafkah sendiri, saya akan bersamanya, bersama orang yang saya yakini memiliki kasih sayang yang sama layaknya orang tua Hyejun sendiri."

"Jadi, maksudmu kakek dan neneknya tak becus merawatnya begitu?"

Namjoon menggeleng pelan. "Saya tidak mengatakan demikian. Itu kesimpulan Anda sendiri, tuan Ahn. Saya hanya tak ingin, apa yang terjadi pada Hyejin terulang pada anaknya."

Pria yang tadinya masih tenang dan menjaga emosi, terlihat berkedut. Kepalan tangan di lutut ia remas.

"Apa maksudmu?"

"Tidak bermaksud buruk, tuan Ahn. Yang saya ingin perjelas hanya, Hyejin sangat menyayangi orangtuanya, sampai-sampai ia rela menikah dengan saya dan menitipkan Hyejun pada saya sepenuhnya."

"Tentu, karena dia anak kalian. Bagaimana ...." Heunjae terdiam, begitu Namjoon hanya bergeming. "Iya, 'kan? Hyejun darah dagingmu dan putriku, bukan?"

Namjoon tak segera menjawab untuk semakin menekan efek aura di sekitar mereka. Saat Heunjae hendak membuka suara, barulah Namjoon menjawab.

"Saya menghormati Hyejin, sampai detik ia memilih pergi selamanya, ayah."

Heunjae punya firasat ketika Namjoon memanggilnya secara akrab barusan, ia akan kembali tak berkutik seperti ketika Namjoon bersikukuh memilih pulang ke Ilsan bersama Hyejun dari memakamkan putrinya.

.
.

"Yah!" Hyejun segera merentangkan tangan begitu melihat induk semangnya keluar. Tak betah lagi berada di pangkuan si nenek.

"Jagoanku tak nakal, 'kan?" Namjoon menimang bayi lelaki itu dan hanya dijawab celetuk nyaring panggilan padanya. "Oh? Bilang apa tadi? Iya?"

Ibu mertua Namjoon mendekati setelah dipamiti ibu Namjoon pergi ke dapur untuk menyiapkan makan siang bersama asisten rumah.

"Tidak, nak. Hyejun tenang sekali, tapi tidak sampai mengantuk. Ia menemani kami mengobrol tadi."

"Ah, syukurlah."

"Um, nak Namjoon, bagaimana ...."

"Kita makan siang dulu, bu. Anda berdua sudah jauh-jauh datang. Setidaknya izinkan saya menjamu sejenak."

Mertua Namjoon itu baru mau mengatakan sesuatu ketika terpaksa menelan suara karena mertua satunya menyusul di belakang Namjoon. Ia meminta Hyejun pindah ke pelukannya, tapi anak itu malah memeluk leher Namjoon dengan pekik nyaring.

"Eh, tak boleh begitu pada kakek," tegur Namjoon seraya memindahkan Hyejun ke Heunjae, tapi tetap bayi itu menolak. Merengkuhnya lebih erat malah. Ralat, mencekiknya.

Kakek dan neneknya pun pasrah saja dengan kelucuan si bayi dan mereka bersama ke ruang makan. Istri Heunjae yang penasaran diredam agar bersikap biasa sampai mereka selesai dan pulang ke Seoul.

Selesai mengantar di gerbang, Hyejun sudah tertidur pulas di pelukan Namjoon. Selama kunjungan kakek neneknya tadi, ia seperti punya firasat tak enak. Jadinya, sepanjang makan dengan bandel ia tak mau lepas dari Namjoon. Sampai menangis begitu mau diambil alih nenek satunya.

"Tidak biasanya, si kecil begini, loh. Jadi tidak enak sama besan."

"Tidurnya kurang pulas mungkin."

"Iya, ya. 'Kan tidak di kamarmu, nak."

Mereka berjalan beriringan, masuk ke rumah.

"Jadi? Tadi bagaimana? Walau aku percaya kau bisa, tapi tetap saja ...."

Namjoon tersenyum. "Ibu tak perlu khawatir. Dukung dan doakan aku saja, supaya Seokjin masih mau padaku. Soalnya, menunggu masa berkabung ini masih lama."

Ibu Namjoon membulatkan mata. Meminta mereka berhenti jalan. "Jadi, sudah setuju?"

"Awalnya alot, tapi ternyata ayah mertua memang menyayangi putrinya. Toh, Hyejun bukan satu-satunya cucu dan akan tetap kuasuh sampai dewasa. Masalah rumor kalau tidak diberi panggung, sendirinya juga tenggelam. Jadi, ya. Semua berkat doa ibu."

Wanita paruh baya yang mewariskan lesung pipi di wajah Namjoon itu memekik senang. Berjinjit mengecup kening anaknya yang naluriah menekuk lutut agar kecupan diterima. Lalu, terkejut begitu Hyejun mengingau. Sambil tertawa-tawa tanpa suara, ibu dan Namjoon yang menepuk bokong Hyejun menaiki undakan teras.

"Sampai terbawa mimpi, ya? Mau ketemu Jin Jin lagi?" bisikan Namjoon dijawab Hyejun dengan menempelkan kepalanya ke pipi berlesung, matanya tertutup, omong-omong. "Baiklah, tapi—aduh, jagoan. Telinga ayah jangan diemut, geli."

.

(Until, next page....(~‾▿‾)~)

.Bae | NJ [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang