Somebody call me right one
Somebody call me wrong
I'm not gonna care about it
Why dont you not do so as well
So what?
(BTS - So What)
— — — — — —
Lagu itu terdengar ketika gue lagi turun dari bus. Hari itu Senin sore, dan gue baru aja balik ngampus setelah makan dua mata kuliah yang gak terlalu gue minati: Desain dan Dokumentasi.
Sebenarnya, mata kuliahnya baik-baik aja. Malah, berguna banget dong di prodi gue. Tapi ...
Dosennya, hehe.
Oh iya, meskipun lagu ini kesukaan gue—sejujurnya, semua lagu BTS memang kesukaan gue— gue masih gak bisa paham dan menerapkan apa yang mereka nyanyikan ke dalam kehidupan gue. Dari bagian awal aja gue udah bingung, gimana bisa lo mengabaikan orang yang mengomentari hidup lo?
Guys, itu benaran gak gampang. kalian semua tahu itu, 'kan?
Tapi, gue juga gak bisa bilang kalau lirik itu salah. Terkadang, kita memang harus mengabaikan komentar orang yang menjatuhkan.
Meskipun, sekali lagi, itu 'kan gak gampang, ladies and gentlemen.
Tapi ya udah deh, mungkin suatu saat gue bisa gak terlalu mikirin itu.
Kayak yang pernah gue bilang ke Kak Dirga, di daerah rumah gue itu lengkap. Apa aja, ada. Pas jalan pulang, gue udah biasa nemuin macam-macam. Rumah besar yang kosong, bekas kolam renang, toko komik bekas yang lusuh dan gak ada yang beli, dan lain-lain. Banyak deh, bisa capek gue kalau sebutin semua.
Tapi yang paling umum gue temuin, ya ibu-ibu yang biasa ngerumpi di depan toko sembako pas sore-sore, sambil jagain anak-anak mereka yang main sepeda atau sekadar lari-lari. Pakai jilbab, tapi pakai daster pendek. Gak masalah, itu hak mereka. Gue gak punya hak untuk komentar apa-apa, tanpa tahu apa-apa. Tugas gue cuma tetap menghargai dan sopan. Sebab, kebanyakan dari mereka baik, di depan gue.
Iya, di depan gue aja.
Ketika gue melewati mereka, gue langsung melepas kedua earphone yang nyangkut di telinga gue. Otomatis, lagu yang gue dengarkan jadi makin kecil dan akhirnya gak kedengaran sama sekali.
"Permisi ibu-ibuu, eh? Raka! Makan apa kamu, Dek?" gue menyapa mereka semua. Bahkan, anak kecil bernama Raka yang langsung nyamperin gue dengan mulut penuh mengunyah nasi dan lauk-lauknya.
"Twewh Lwilwa (Teh Lila)," katanya sambil mendongak ke arah wajah gue.
"Eh, Lila. Baru pulang, Neng? Makan dulu sini yuk." Ajak Bu Wida, satu dari empat ibu-ibu yang nongkrong di sana. "Iya nih, Bu, hehe. Aduh, makasih Bu tawarannya, kebetulan Lila baru aja makan di kampus tadi." gue menolak tawaran beliau dengan halus.
Lagi pula, gue hapal itu seratus persen basa-basi, haha. Gak mungkin juga 'kan, gue tiba-tiba numpang makan?
"Iya, Neng. Mangga. Istirahat Neng! Capek atuh pasti abis sekol-eh, kuliah. Aduh, kadang aku 'tuh suka lupa kalau Neng Lila 'mah sudah kuliah!" Ibu Raka mempersilahkan gue untuk lewat. Beliau memang tetangga gue yang cukup baik, sih. Suka melucu, dan gak yang aneh-aneh.
"Kalau gitu, Lila duluan ya, ibu-ibu!" gue nyengir, pamit dan jalan pelan-pelan sambil sedikit membungkukkan badan. Yah, udah kebiasaan, sih. Mungkin gue memang anak yang terlahir dengan DNA senyum, sapa, sopan dan santuy.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eccedentesiast; Lie
Teen FictionSemua orang sakit. Semua orang pura-pura. Semua orang bohong. Kenapa semua orang tega melakukan ini? Padahal, hidup Lila sudah mulai baik-baik saja. Lila benci orang munafik, egois, dan mereka yang pura-pura paham tentang Lila. Mereka yang datang...