Razi sedang memantau display informasi penerbangan di Terminal 2 ketika seseorang menepuk punggungnya dari belakang. Ternyata Marvish, dia sekarang terlihat jauh lebih bersih dan segar dengan T-shirt London dan jaket yang Razi belikan kemarin.
"Heeey!" Seperti teman lama, Razi memeluk Marvish erat, seakan lupa bahwa Mr. Acton masih disana, menatap mereka dengan pandangan menyelidik,
"Kirain gak bakalan ketemu, padahal udah gue whatsapp barusan," Marvish membuka jaket,
"Masak sih?" Razi mengeluarkan handphone nya, lalu dia menepuk jidat, "pantesan, data roaming gak nyala,"
"Ah ya, kenalin, ini Mr. Acton, kita ketemu di Hotel," Razi menggeser badannya sedikit supaya Marvish bisa melihat Mr. Acton secara jelas,
"Kau yang kemarin, kan?" Tebak Mr. Acton sebelum Marvish membuka mulut,
"Yes, oh que casualidad! Senang bertemu anda kembali, Sir." Marvish menjabat tangan Mr. Acton erat,
"Wait, kalian saling kenal?" Tanya Razi,
"Jadi... dia yang kau maksud??" Sela Mr. Acton dengan mata membesar,
Razi semakin bingung
#######
"All right, thank you for your presence, we will inform you after our discussion."
Mr. Acton menjabat tangan pria berjas rapi yang baru saja diwawancarai, membosankan, batinnya ketika pria itu keluar dari ruangan. Sudah lima belas kandidat terbaik yang dia wawancarai hari ini, tapi belum satupun yang sesuai dengan SOP dan parameter khusus yang dia terapkan.
Seorang pria berjas rapi baru saja keluar dari sebuah ruangan di lantai tiga belas dan melewati Marvish yang sedang berjuang keras menenangkan pikirannya. Ini bukan situasi yang dia harapkan, hadir di jadwal interview dengan muka lebam dan tanpa persiapan sama sekali. Berkali-kali dia mengusap peluh di dahi yang semakin membanjir, membuatnya terlihat seperti habis berlari marathon,
"Mr. Eduardo!"
Seorang wanita muda dengan senyum menawan berdiri di depan pintu dan memanggil Marvish,
"Your turn, follow me please"
Marvish mengikuti wanita itu, sepuluh detik kemudian, dia mendapati dirinya sedang duduk di sebuah ruangan besar, di depannya ada seorang pria berumur yang memperhatikan dirinya dengan pandangan menyelidik, membuatnya tak nyaman,
"Apa yang terjadi dengan wajah anda?"
Marvish memulai ceritanya dengan meminta maaf karena tidak bisa berpenampilan sempurna, lalu meluncurlah semua detil kejadian, semenjak dia mengikuti beberapa lapis tes untuk diterima bekerja di tempat ini hingga terakhir ketika bertemu dengan Razi dan akhirnya bisa menghadiri wawancara di detik terakhir. Pria yang bernama Mr. Acton itu mendengarkan dengan seksama penuturan Marvish yang sesekali mengaduh ketika tangannya memyenggol kursi.
"Anda mengenal orang itu sebelumnya?" Tanya Mr. Acton,
"Tidak sama sekali, dia pasti utusan Tuhan." Marvish menjawab sambil menerawang,
Mr. Acton melanjutkan wawancara, ada satu hal menarik yang dia dapat dari pria Spanyol itu, bahwa Marvish adalah tipe orang yang tidak akan pernah berputus asa jika belum mencoba secara maksimal,
"Saya melakukan apapun untuk bisa kesini. Kebetulan orang tua sudah tidak ada dan saya dibesarkan di panti asuhan. Sejak kecil, saya terbiasa bekerja untuk menyambung hidup dan membantu perekonomian panti. Puji Tuhan, saya bisa sekolah hingga jenjang sarjana berkat seorang dermawan dari Thordesillas yang mengangkat saya sebagai anak ketika usia saya lima belas tahun, walaupun kehidupannya jauh dari sukses. Sejak saat itu, saya bertekad untuk bisa sukses dengan cara belajar dan bekerja mati-matian."
Mr. Acton tampak tidak peduli, walaupun sebenarnya dia terkesima dengan kehidupan pribadi Marvish. Ada satu hal yang dia sembunyikan dari semua klien, bahwa dia sangat percaya Law of Attraction, dan Marvish adalah bukti nyata hukum alam itu.
"Baik, saya kira cukup, kami akan menginformasikan hasilnya dalam waktu dekat."
Mereka berdua berjabat tangan, Marvish lalu keluar dari ruangan itu.
"Next, Sir?"
"No, i already found him."
%%%%%%
"Oohh jadi gitu."
Razi ber oohh ria di sebuah kafe dekat tempat check in, bersama Marvish dan Mr. Acton yang keduanya memesan kopi dan croissant.
"Sungguh sebuah kebetulan, saya sudah mendengar semuanya dari Mr. Eduardo. Tapi tak menyangka ternyata andalah yang dimaksud." Kata Mr. Acton kagum,
"No, Sir. Saya hanya menjalankan kewajiban." Razi meminum capuccinonya hingga tersisa ampas busa, "By the way, bagaimana, apakah teman saya ini diterima? Hahaha."
Marvish tertawa senang, Mr. Acton terlihat sedang berpikir keras hingga keningnya berkerut,
"Apa saya salah bicara, Mr. Acton? Maaf kalau ada perkataan saya yang menyinggung." Razi merasa tidak enak melihat reaksi Mr. Acton,
"Tidak, tidak sama sekali." Mr. Acton menghembuskan napas pelan, "It's unofficial. Tapi berhubung keputusan ada di tangan saya..." Dia mengulurkan tangan kepada Marvish, "Welcome to the team."
Razi dan Marvish bertatapan tak percaya. Tanpa menyambut tangan Mr. Acton, Marvish menarik pria tua itu ke pelukannya,
"THANK YOU SIR! THANK YOU!"
Sikap Marvish memicu perhatian orang yang lewat, dia cepat tersadar dan langsung melepas Mr. Acton dari pelukannya,
"Sir, maaf, saya hanya sangat senang sekali.. maaf, Sir."
Wajah Marvish merah padam, membuat Mr. Acton tertawa renyah,
