Ali sedang melewati area resepsionis, tiba-tiba Bang Roni menariknya ke tempat agak tersembunyi.
"Al, tuh ade orang stres yang nyariin elu, namanye Fahri. Palingan mau minjem duit, jiahaha! Mau nemuin kagak?" tanya Bang Roni.
Ali memperhatikan seorang pemuda yang penampilannya aneh. Bajunya kotor, di bagian wajahnya ada beberapa luka seperti habis berkelahi.
"Fahri? Siapa ya? Gue sih enggak kenal, tapi ... Ya udah, gue temuin aja deh."
Ali menghampiri Fahri. "Cari gue?"
"Cari Pak ...." Fahri terkesima memandangi Ali. "Hah? Maaf, anda, anak Pak Ali Tanjung?"
"Gue Ali Tanjung."
Fahri tercengang.
Ali membawa Fahri ke ruang pantry kantor. Ia membuatkan 2 cangkir kopi lalu meletakkannya ke meja.
"Terima kasih, Pak Ali," ujar Fahri.
Ali tersenyum geli mendengar cara Fahri memanggil namanya. "Sori, gue enggak bisa lama-lama ya. Apa yang bisa gue bantu?"
Ali mengambil cangkirnya dan meneguknya sedikit-sedikit.
"Maaf, Pak Ali. Ini memang kedengaran gila. Saya berasal dari tahun 2040," ujar Fahri serius.
Ali menyembur kopi yang diminumnya. Lalu memandangi Fahri dengan rasa kasihan. "Maaf. Oke, gue percaya. Gue tinggalin duit aja deh, tapi seadanya, ya. Gue balik kerja, ya."
"Saya cuma butuh waktu dari Pak Ali. Saya sendiri sulit untuk percaya. Mungkin ada hubungannya dengan batu yang diberikan anak Pak Ali."
Ali tertawa pelan. Fahri menyerahkan batu kecil.
Ali memeriksa batu itu. "Mirip sama batu gue." Fahri teringat batu yang ia simpan dan batu besar yang pernah berada di kamarnya. "Oh, iya, namalu kan Fahri, Apa pernah ke rumah gue buat ambil batu kaya gini yang lebih gede?"
"Saya baru kali ini nyebrang waktu," jawab Fahri.
Ali tertawa lagi. "Mending langsung aja, kalo bukan duit, lu sebetulnya butuh bantuan apa?"
"Saya juga enggak tahu. Tapi saya harus segera pulang ke waktu saya. Hmm, mungkin Pak Erlangga tahu. Bisa ketemu beliau?"
"Ketemu Angga? Hahaha! Eh, Steven Spielberg! Nemuin gua aja dia males, apalagi gue bawa orang gila!"
Fahri tampak semakin cemas.
"Sori, gue udah kasar. Kayaknya kita sama-sama orang gagal yang lagi putus asa. Ya, kebetulan aja, otak gue masih belum geser. Nyerah aja, Mas. Terima, kalo kita ditakdirin jadi orang gagal dan miskin.
Fahri memandangi Ali. "Oh, ternyata Pak Ali lagi melalui fase sulit. Pak, gagal itu cuma istilah buat orang yang udah berhenti berusaha."
Ali marah. "Tai kucing! Dulu, gue juga sering ngomong kalimat tolol itu! Asal lu tahu, gue pernah punya kantor yang enggak kalah sama kantor ini. Sekarang, duit gue cuma yang ada di dompet. Itu pun mau gue kasih ke elu."
Fahri tersenyum. "Ternyata Ali Tanjung pernah sesusah ini. Sekarang saya paham, kenapa di masa depan orang sebesar Ali Tanjung sangat peduli sama orang-orang susah."
"Tahu apa lu tentang hidup gue? Ah, sialan! Orang begini, gue ladenin. Cukup deh. Ayo, biar gue anter lu pulang."
Fahri malah membuka dompetnya dan menyerahkan sebuah kartu elektronik pada Al. Al tertegun. Ia memeriksa kartu itu dengan cermat.
"Alat bayar non banking berbasis chip?" tanya Ali.
Fahri mengangguk.
"Ah, ini pasti cuma kartu biasa yang enggak fungsi. Gue juga punya ide bikin ginian, tapi teknologi kita belum sampe, masih jauh. Maksudlu apa nunjukin gue?" tanya Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Al Kahfi Land 3 - Delusi
RomanceKisah perjuangan hidup Ali, pemuda miskin dari kawasan kumuh yang jatuh bangun menggapai cita-cita memiliki perusahaan raksasa. Ali bersahabat dengan Angga dan Sarah. Angga, sang juara kelas, pemikirannya sering tidak sejalan sehingga selalu menjad...