Baca!Bab ini diambil dari sudut pandang Aya. Paham ya?
Gue kangen aja sama Aya dan ingin menceritakan bab ini dari sudut pandang si Eneng.
Bab ini akan sangat membosankan karna minim dialog dan hanya berisi narasi. Skip aja kalo ga suka.
Oh, ya. Jangan nagih-nagih cast Aya ya? Beneran, setaun lebih Bukbad publis, gue ga bisa dapetin visual yang pas untuk karakter seorang Soraya.
Seperti yang pernah gue bilang, buat gue memilih cast itu ga bisa ngasal. Ga cukup ngandelin good looking aja. Tapi harus kerasa pas sama karakternya.
____
Aku masih terjaga. Tak bisa tertidur meski jam dinding sudah menunjukan pukul sebelas malam lebih.
Eno sudah terlelap sejak tadi. Mungkin dia kelelahan setelah bekerja hari ini. Apalagi pekerjaannya tergolong lumayan berat.
Pikiranku masih dipenuhi peristiwa tadi sore saat aku melihat Papa dan keluarga simpanannya. Wajah mereka yang berselimut kebahagiaan, dan manisnya cara mereka berinteraksi.
Sungguh berbanding terbalik dengan sikap Papa saat ada di rumah. Dingin, acuh, dan sibuk dengan dunianya sendiri seolah aku dan Mama bukanlah bagian dari hidupnya.
Sakit. Hatiku teramat sakit, tak terasa air mataku sudah meleleh lagi. Sekuat hati aku berusaha melupakan kejadian tadi, nyatanya aku tak setangguh itu.
"Ya ... terus ... teruuss ...." Suara Eno memutus renunganku. Aku meliriknya yang pulas di sebelahku. Dia nampak bergumam tak jelas seperti sedang mengigau.
"Iya ... dikit lagi ... teruss ...." Suara lemahnya kembali terdengar.
Apa ini? Kenapa dia mengigau begitu? Atau jangan-jangan dia sedang bermimpi jorok? Aku sudah geram saja.
"Terus ... kanan, maju dikit, stop ...."
Aahh ... sepertinya gara-gara kelelahan jadi kenek truk, dia sampai mengigau sedang membantu parkir. Haha ... ada-ada saja. Aku jadi malu sendiri karna sempat berpikiran buruk. Siapa suruh punya hobi nonton film jorok.
Oh, ya ampun. Eno pasti sangat lelah hingga pekerjaannya sampai terbawa mimpi begitu. Aku memiringkan badanku menghadap padanya. Menatap seksama wajah lelap itu.
Dia benar-benar sangat manis. Kututup tubuhnya dengan selimut, yang sejak tadi diberikan Eno hanya untuk menutup badanku saja.
Tempat tidur yang sempit membuat sebelah kakinya hingga harus terjuntai ke lantai. Apalagi ada sebuah guling yang kami gunakan sebagai pembatas di antara tubuh kami berdua.
Ya. Sebuah kebiasaan jika aku menginap di kostnya. Semacam antisipasi untuk berjaga-jaga. Eno yang mengusulkan ide guling pembatas itu. Katanya dia takut lepas kendali jika harus tidur berhimpitan langsung denganku.
Aku merasa lucu dengan alasannya. Bukankah dia sudah sering lepas kendali terhadapku? Ada-ada saja.
Senyum kecilku merekah. Melihat lelapnya istirahat kekasihku itu. Selelah apapun badannya, dia selalu bersedia jadi tempatku bersandar. Tak pernah menunjukan rasa jengah atau jemu. Dia selalu ada untuk menjadi tempatku berkeluh kesah.
Ya, Allah ... terima kasih. Sudah mempertemukan aku dengan Eno. Sudah menghadirkan dia dalam hidupku. Semoga kami bisa bersama selamanya. Semoga aku tak akan pernah kehilangan dia ....
Ya. Entah mengapa, rasa takut akan kehilangan Eno selalu menghantuiku. Aku tak bisa membayangkan, jika aku harus berpisah atau kehilangan Eno. Entah akan seperti apa hidupku.