Tubuh Alya seketika ambruk dalam pelukan Bunda Mei. Kakinya terasa lemas-tidak berdaya untuk menahan beban tubuhnya. Tulang yang menjadi penyangga seakan tidak mampu membawanya untuk tetap berdiri. Tangan Bunda Mei harus memegang tubuh Alya agar perempuan itu tidak terus merosot ke bawah.
Di penghujung tahun, saat hari kelahirannya, Alya menangis tiada henti. Tubuh yang baru saja keluar dari rahim ibu kandungnya menjerit. Tangisannya memenuhi sebuah ruangan di rumah sakit. Kini, Alya harus mengulangi proses 22 tahun lalu. Ia kembali menangis di tempat dengan nama yang sama-rumah sakit.
Dalam pikiran Alya, semua akan berjalan baik-baik saja. Segala rencana yang telah ia susun, akan berjalan sebagaimana semestinya. Ia akan menjalani hidupnya berdua dengan Kakek Hamid. Setidaknya, itulah yang terus menghinggapi pikirannya. Sampai siang ini-saat jutaan pisau menusuk hatinya. Membuat dadanya remuk seketika.
Pagi tadi, Kakek Hamid masih sehat meskipun kondisinya lemah. Laki-laki tua itu memakan sarapan dari rumah sakit-yang Alya suapi. Everything will be alright. Kalimat itu seperti mantra yang terus Alya ucapkan setiap hari. Mereka-dirinya dan Kakek Hamid-akan baik-baik saja. Bahwa, hanya beberapa jam setelah kejadian sarapan itu, kakeknya telah tiada.
Alya tidak pernah tahu jika rasa sakit di dada yang dikeluhkan kakeknya siang ini adalah ucapannya yang terakhir. Karena setelah itu, laki-laki yang paling berjasa dalam hidup Alya langsung tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya, dokter yang memeriksa mengatakan jika kondisi kakeknya tidak tertolong lagi.
Hanya itu yang Alya dengar. Semua penjelasan dokter mengenai kondisi tubuh kakeknya tidak lagi berarti bagi Alya. Apapun itu hanya berakibat pada berhentinya detak jantung laki-laki itu. Sudah cukup membuat Alya dilanda kepedihan yang mendalam.
Hanya Prana yang masih berdiri dengan tenang di samping dokter tersebut. Mata suaminya memperhatikan wajah dokter yang masih menggunakan pakaian serba putih. Penjelasan menggunakan bahasa Inggris dengan cepat ditangkap suaminya.
Gumpalan darah menyumbat pembuluh koroner. Akibatnya, tidak ada sumplai oksigen yang mengaliri tubuh tua itu. Hanya itu setidaknya penjelasan dokter. Bahwa serangkaian operasi yang telah mereka lakukan nyatanya tidak mampu memperbaiki secara maksimal kerja jantung Kakek Hamid.
Laki-laki renta itu telah menyerah pada sakit yang telah lama dideritanya. Ia menyerah pada ketidakberdayaan tubuhnya sendiri. Bahwa, inilah akhir dari perjuangan tubuhnya.
Dunia Alya seketika runtuh. Seluruh beban yang ada di dunia langsung dijatuhkan pada dirinya. Perempuan itu menyadari jika kehidupannya telah terhenti bersamaan dengan hentinya detak jantung Kakek Hamid. Bahwa inilah akhir kisah hidupnya sebagai seorang anak yang tidak mengenal orangtua.
Satu-satunya keluarga yang dimiliki Alya telah membawa segala bentuk cinta untuknya. Kasih sayang dan cinta yang diberikan Kakek Hamid sepanjang 22 tahun hidup Alya harus terhenti saat ini. Laki-laki luar biasa itu pergi untuk menemui belahan jiwanya-sang istri. Meninggalkan Alya dalam kesendirian perempuan itu.
Alya melepaskan pelukan Bunda Mei. Dengan berpegangan pada sisi ranjang, ia menghampiri kakeknya. Biarlah sekali lagi ia menatap poros kehidupannya.
Mata Alya menatap nanar tubuh yang terbaring kaku di hadapannya. Tubuh inilah yang telah membawanya menjadi perempuan dewasa. Tubuh yang tidak mengenal lelah di masa tuanya hanya demi membahagiakan Alya. Tubuh yang senantiasa melindunginya dari apapun. Dan, tubuh inilah yang membuat air mata Alya terus menetes.
Rasanya, Alya sanggup kehilangan suaminya, Prana. Tapi, ia tidak akan sanggup kehilangan sang cinta pertamanya. Kakek Hamid adalah poros hidupnya. Alya tidak akan bisa melanjutkan hidupnya tanpa sosoknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hari Setelah Kemarin (Selesai)
RomancePrana meninggalkan Kota Paris dengan sesuatu yang tertinggal. Di tempat itu, ia merajut asa dan membangun mimpinya. Ketika mimpi itu musnah-hanya selangkah sebelum ia menggapainya, separuh jiwanya ia titipkan di sana. Mampukah Prana mengembalikanny...