第三集。

321 70 4
                                    

Nov, 1950

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nov, 1950.

"Jun-ge, halo," sapanya lembut disertai senyum kecil. Tangannya bergerak membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh di atas gundukan tanah itu. Kedua netranya menghindar dari salah satu ujung gundukan tanah itu, di mana sebuah nisan yang mengukir nama lelaki itu tertancap.

"Tujuh November datang lagi, Ge." Matanya mulai berkaca-kaca. "Bagaimana di sana? Sepertinya tempat itu indah ya, Ge, sampai Gege tak sudi pulang ke aku." Kontras dengan kikikan gelinya, netranya sudah menjatuhkan cairan bening. Cairan yang selalu mengawali, menyelingi dan mengakhiri 7 November.

"Ah, aku menangis lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk tak menangis di depanmu lagi," ucapnya, seraya mengulum senyum tipis dan menghapus jejak-jejak air mata di pipinya.

Bertujuan mengalihkan pembicaraan, satu-satunya manusia di sana kembali berucap, "Oh iya, Ge. Aku sudah berani mengenakan pakaian yang Gege kasih tiga tahun lalu, loh." Tangannya bergerak mengangkat sedikit bagian bahu kemejanya dengan lucu. Kalau lelaki yang dikunjunginya itu masih satu alam dengannya, mungkin lelaki itu akan terus menguyel-uyel pipinya sambil melemparinya pujian bertubi-tubi dan berakhir memeluk pinggang rampingnya.

"Oh, Ge. Apa aku sudah bilang, aku dan Sicheng baru saja membuka akademi seni sendiri?"

Sicheng, pemuda yang sempat mengabdi sebagai tentara di negaranya, memutuskan untuk mundur dua tahun yang lalu karena merasa profesi sebagai tentara tak cocok untuknya. Lelaki itu kemudian mencetuskan ide untuk membuka akademi seni bersama dengan Minghao, yang kini sudah lumayan dikenal sebagai pencetus murid-murid bertalenta.

Pertanyaan Minghao itu pun kemudian dilanjutkan dengan bercerita mengenai pengalaman-pengalamannya mengajari anak-anak untuk melukis diselingi senyuman bangga saat teringat dengan beberapa muridnya, serta kehidupan pribadinya, seraya menikmati semilir angin yang berhembus menerbangkan helai-helai rambutnya dan tumbuhan-tumbuhan liar di sekitarnya.

Jarum panjang jam yang melingkari pergelangan tangannya terus bergerak hingga tanpa terasa jam sudah menunjukkan pukul dua belas. Pantas saja sinar mentari dirasanya semakin membakar kulit. Ponselnya berbunyi, menandakan ada pesan singkat yang baru saja masuk. Ponselnya dikeluarkan dari kantung celananya, lalu kontak masuk dibukanya, menampilkan pesan singkat dari Sicheng yang menerbitkan senyum kecil di wajah manisnya.

dari: Sicheng Cerewet :P

Sudah pacarannya. Kerja sini. Telat lima menit, penghasilanmu kupotong, haha.

Minghao berdiri dari duduknya. Menepuk celana bagian belakang, mengusir kerikil dan pasir yang mengganggu keestetikan celana bahannya. Kedua netranya akhirnya memandang nisan itu. Bibir penuhnya mengulum senyum. "Dadah, Gege. Penghasilanku akan dipotong kalau aku telat." Tangannya melambai kecil ke arah nisan dan gundukan tanah itu. Kemudian berlalu.

Angin tiba-tiba berhembus brutal seiring dengan kepergiannya. Seakan merasakan kehadiran Junhui yang menghantar kepergiannya, ia mengulum senyum tipis.

Aku tau kau akan sekuat ini, Hao. Makhluk halus yang berdiri di gerbang pemakaman mengulum senyum bangga. Kedua netranya ikut memancarkan kebahagiaan melihat punggung sempit itu berjalan penuh wibawa. Hilangnya lelaki itu di tikungan ujung sana membuatnya kembali ke 'rumah'nya, menduduki posisi yang sama dengan tadi saat mendengarkan cerita kekasihnya itu. Ah, kekasih. Entah masih layakkah kita disebut sepasang kekasih.

©munwaves, 2020

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


©munwaves, 2020

black rose [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang