"Awan di langit hitam bergulung. Bukan karena awan hujan, tapi kepulan asap mesiu dan bom yang menutupi langit hingga menghitam. Suara derap kuda meringkik panik dan ketakutan. Jerit manusia yang menghadapi ajalnya ditingkah suara kemarahan menggaung seantero perbatasan antara Dinasti Jin dan Dinasti Song. Sebuah peperangan meletus di antara kedua kerajaan,"
"Di tengah peperangan itu ada sosok yang tinggi besar gagah dalam balutan baju besi. Pedangnya tajam dan lebar, bergagang panjang, menebas leher para prajurit dari Song. Wajahnya keras seperti perisai besi dengan jenggot yang panjang, berwarna merah bak jenggot naga. Matanya berkilat dengan bara api yang memancar menggetarkan musuh. Dia adalah sang Jenderal dari negeri Jin yang akan memukul mundur para prajurit dari Song. Untuk memukul mundur prajurit yang mengepungnya, dia mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya..."
Braaaak! Suara pintu kayu terbuka.
Rumiyah terkejut. Fantasinya tentang peperangan di sebuah negeri di timur langsung buyar. Sosok laki-laki tua bermata sipit dan berjenggot panjang penuh dengan uban juga langsung berhenti mendongeng. Mereka terkesiap melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
Rumiyah sedang duduk dihadapan seorang penjual buku yang senang mendongeng tentang negeri asalnya. Lelaki tua itu tinggal di sebuah rumah kayu di tengah kota. Rumahnya penuh dengan buku-buku yang di susun di rak-rak dan bertumpuk-tumpuk di meja. Sebuah jendela terbentang lebar menghadap jalanan kota yang ramai lalu lalang orang, kereta berkuda dan pedagang jalanan. Terlihat wajah Rumiyah langsung kecewa karena dongeng si lelaki tua terinterupsi.
"Ruumiyaah! Ayo cepat! Nona Laila sudah menunggu obatnya, jangan dengarkan ocehan tukang dongeng itu!" cetus seorang perempuan yang menggunakan kerudung katun panjang menutupi hampir seluruh tubuhnya.
Rumiyah menghela napas kesal pada perempuan tua yang membawa keranjang rotan di tangannya.
"Haah, Bibi Khanum. Anda tahu ... cerita Baba baru saja masuk babak yang seru," keluh Rumiyah.
"Ayo cepat!" ajak perempuan yang bernama Bibi Khanum dengan nada tegas.
Rumiyah turun dari kursi kayunya, lalu memperbaiki sorban penutup kepalanya.
"Rumiyah cepat pulang ... ayo cepat. Nanti lain kali kita sambung lagi ceritanya," ucap Baba Tua sang pendongeng.
"Baiklah ... dua buku ini kubawa ya. Nona Laila pasti akan senang membacanya," ucap Rumiyah sambil tersenyum, lalu mengambil dua buah buku dari atas meja.
"Baiklah ... baiklah ... hati-hati di jalan ya. Semoga Nona Laila segera sembuh. Aaah, jangan lupa ini," ucap Baba Tua sambil tersenyum ramah, tangannya mengambil sesuatu dari rak, lalu mengangsurkan sebuah kantung kain penuh dengan permen.
Rumiyah tersenyum.
"Terima kasih," ucapnya.
Rumiyah beranjak berjalan menuju pintu keluar, lalu mengikuti Bibi Khanum yang berjalan cepat di depannya.
"Kau ini, tunggu saja sampai ibumu pulang," ancam Bibi Khanum sambil menepuk kepala Rumiyah. Rumiyah hanya nyengir, lalu tersenyum.
Rumiyah harus berlarian mengejar langkah Bibi Khanum. Kakinya yang mungil tak sepadan dengan langkah si Perempuan Tua yang berkaki panjang. Perempuan itu baru saja dari toko obat untuk membelikan obat untuk nonanya.
***
Rumiyah berjalan terpincang-picang mengikuti Bibi Khanum masuk ke sebuah rumah yang megah di tengah kota Samarkand. Sebuah rumah bertembok tinggi dengan penjagaan prajurit yang ketat. Para prajuritnya berwajah sangar, menggunakan baju besi dengan baldrik sebagai tempat menggantungkan pedang. Di kepala mereka menggunakan helm besi perunggu berbentuk lancip yang disebut turikah dan aventail besi yang melindungi leher dan wajah. Rumah itu milik seorang panglima perang pasukan Rasyidin, orang-orang mengenalnya dengan panggilan Tuan Nashruddin, ayah Laila. Di rumah yang berhalaman luas dan memiliki bangunan rumah yang megah berlapis pualam itulah keluarga Rumiyah berkhadimat.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIYAH (Senja Turun Di Kota Samarkand)
Historical FictionNovel Pemenang Naskah Terbaik ke III Event ASKS Banjarmasin 2023, Kalimantan Selatan Rumiyah hidup dan besar di Samarkand yang saat itu di bawah kekuasaan Dinasti Khawarizm, negara vassal kekhilafahan Abbasiyyah akhir. Dia bersahabat dengan teman-te...