BAGIAN 6

191 11 0
                                    

Sepasang mata Batu Kumbara tampak berubah bengis. Dipandanginya Rahasta tanpa berkedip sedikit pun. Seingatnya, pemuda yang satu ini dulu sering bergantian dengan Sapta Renggi dalam melihat keadaannya di Lembah Batang. Dan Rahasta juga pernah melukai kulit dadanya, kemudian menyiram luka yang dideritanya lengan air jeruk nipis hingga menimbulkan rasa perih yang menusuk. Mengingat itu, tiba tiba Manusia Bangkai ini menggeram marah.
"Kau...!" Batu Kumbara menunjuk Rahasta. "Dulu kau juga pernah ikut menyiksaku. Tahukah kau, apa yang akan kulakukan padamu?"
"Setelah melihat kematian adik seperguruan kami Sapta Renggi, tentu saja aku tahu apa tujuanmu kemari. Tapi, ingat! Waktu itu aku hanya menjalankan perintah. Jika kau kini ingin membalas dendam, apakah dikira aku takut padamu?" kata Rahasta tanpa mengenal rasa gentar sedikit pun.
"Hahaha...! Kalau kepandaianmu hanya setahi kuku, jangan sekali-kali jual lagak didepanku! Rasakanlah...!" teriak Batu Kumbara.
Tubuh Manusia Bangkai laksana kilat melesat ke depan sambil melepaskan satu jotosan menggeledek. Namun diluar dugaan dari arah samping menderu sambaran golok kearah kaki Batu Kumbara.
Sambil memaki panjang pendek, Batu Kumbara menarik balik serangannya. Kemudian dilepaskan satu tendangan menggeledek kearah murid-murid Padepokan Golok Perak. Tendangan yang dilakukan secara beruntun itu disertai pengerahan ilmu 'Iblis Gentayangan' yang dipelajarinya dari Makhluk Kegelapan.
Seketika angin kencang menderu. Sehingga, membuat sesak dada para pengeroyok. Bahkan tidak lama kemudian, terdengar jerit kesakitan ketika tendangan Batu Kumbara menghantam remuk dada salah seorang murid.
Melihat kematian saudara seperguruan, yang lain bukan semakin ciut nyalinya. Sebaliknya, sembilan orang lain langsung menyerbu dengan senjata terhunus. Secara serentak, mereka segera mempergunakan jurus 'Mengusir Awan Kelabu'.
Bukan main hebat dan cepatnya serangan yang dilakukan murid-murid Padepokan Golok Perak ini. Sehingga hanya dalam waktu sangat singkat, pertarungan seru pun terjadi.
Tapi Batu Kumbara tidak bisa dianggap enteng Dengan mempergunakan jurus tangan kosong 'Menipu Para Dewa', sambaran golok lawan lawannya selalu dapat dihindari. Walaupun begitu, dia harus bertindak sangat hati-hati. Karena di antara sekian banyak serangan yang menggempur pertahanan tubuhnya, serangan Rahasta dan Durutama perlu diperhatikan.
Setelah memasuki jurus yang kedua puluh, Batu Kumbara mulai kelihatan terdesak. Bahkan golok ditangan Durutama beberapa kali menghantam bagian tubuhnya. Sebaliknya, tendangan yang dilancarkan Rahasta secara berturut-turut menghantam perutnya.
Namun, tidak urung murid Padepokan Golok Perak dibuat terkejut, ketika melihat kenyataan yang membelalakkan mata. Ternyata Manusia Bangkai selain kebal terhadap pukulan, juga kebal terhadap serangan senjata tajam.
"Gila! Orang ini benar-benar mengalami perubahan luar biasa. Dengan siapakah dia berguru?" kata Rahasta dalam hati.
Dengan penasaran, murid tertua Padepokan Golok Perak ini menghantamkan goloknya ke bagian kepala Batu Kumbara. Serangan yang dilakukannya bukan serangan biasa, karena tiga perempat tenaga dalam yang dimilikinya dikerahkan.
Crak!
Namun yang terjadi justru sebaliknya, Rahasta malah terhuyung-huyung. Golok di tangannya nyaris terlepas. Sementara itu, bagian tangannya terasa sakit berdenyut-denyut.
Sementara dalam waktu yang bersamaan, terdengar pula jerit kematian di sana sini. Korban di pihak Padepokan Golok Perak terus berjatuhan. Kenyataan ini membuat Rahasta dan Durutama semakin bertambah berang.
Kedua pemuda ini melompat mundur. Sedangkan Batu Kumbara tertawa tergelak-gelak. Dan dia terus menyerbu kearah adik seperguruan Rahasta yang hanya tinggal bersisa empat orang lagi. Memang, apa yang diucapkan Manusia Bangkai segera menjadi kenyataan. Ketika melepaskan pukulan 'Langkah Sang Iblis', dua murid padepokan itu jatuh terjengkang meregang ajal.
"Manusia terkutuk!" teriak Durutama, melihat kematian adik seperguruannya yang sangat mengenaskan.
Kini Durutama telah bersiap-siap melepaskan pukulan 'Halilintar' ke arah Batu Kumbara. Dan ketika tangan yang telah teraliri tenaga dalam berkilat, seleret sinar berwarna putih dan kuning menderu ke arah Batu Kumbara.
Namun laki-laki bertampang angker ini hanya tersenyum mengejek. Lalu dengan gerakan sangat cepat tangannya dilambaikan menyongsong pukulan yang dilepaskan Durutama.
Glar!
"Wuagkh...!"
Durutama kontan jatuh terguling-gulingan begitu pukulan jarak jauhnya membentur papakan Manusia Bangkai. Sebaliknya Batu Kumbara hanya tergetar saja tubuhnya. Sedangkan dari mulut Durutama mengucur darah segar, merupakan satu tanda kalau menderita luka dalam yang tidak ringan.
Melihat kenyataan yang dialami Durutama, tentu saja Rahasta tidak dapat tinggal diam. Segera dilepaskannya pukulan 'Halilintar' ketika melihat Batu Kumbara bersiap-siap ingin mengakhiri kehidupan saudara seperguruannya.
Pukulan yang dilepaskan dari arah samping ini, tidak dapat lagi dihindari Manusia Bangkai. Dengan telak, pukulan itu pun menghantam punggung Batu Kumbara. Tubuhnya langsung jatuh terjengkang. Punggungnya terasa panas bagai terbakar. Tapi anehnya, tidak membawa akibat apa-apa bagi Batu Kumbara. Malah ketika bangkit dan berbalik, sepasang matanya telah berubah merah membara.
Rahasta terkesiap! Mata Batu Kumbara mendadak berkedip. Maka sinar merah menghanguskan langsung meluruk ke arah tubuh Rahasta. Begitu cepat serangan itu, membuat Rahasta tak bisa berbuat apa-apa.
Blar!
"Hugkh...!"
Rahasta jatuh terhempas, begitu tubuhnya terhantam sinar merah dari mata Batu Kumbara. Sekujur tubuhnya tampak melepuh seperti orang yang menderita luka bakar. Dia berusaha bangkit berdiri. Tapi rasa sakit didadanya sudah tidak tertahankan lagi.
Sementara itu, Batu Kumbara sudah bersiap-siap mengedipkan matanya ke arah Rahasta dan Durutama sekaligus. Sedangkan kedua pemuda yang menderita luka cukup parah ini, dengan sisa-sisa tenaga yang dimiliki berusaha menghindari sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara. Tapi gerakan mereka tampaknya sangat lamban.
"Matilah kalian!" desis Batu Kumbara.
Durutama dan Rahasta salmg berpandangan. Mereka sudah merasa tidak punya kesempatan lagi untuk menyelamatkan diri. Namun dalam saat-saat yang sangat menegangkan, dari bagian depan ruangan pendopo terdengar bentakan yang disertai melesatnya cahaya kuning dan putih menyilaukan mata.
Batu Kumbara tersentak kaget ketika sinar yang melesat dari arah bagian pendopo itu memotong jalannya sinar yang keluar dari kedua matanya.
Glar! Glar!
Dua kali ledakan dahsyat terdengar. Tanah tempat mereka berpijak seperti dilanda gempa. Debu dan pasir beterbangan, sehingga membuat suasana di sekitarnya semakin bertambah gelap.
Tidak lama setelah keadaan disekitarnya telah berubah seperti biasa kembali, tidak jauh di depan Manusia Bangkai berdiri seorang laki-laki setengah baya. Pakaiannya merah darah. Wajahnya lonjong. Tatapan matanya memancarkan kewibawaan. Di bagian pinggang laki-laki berkumis dan berjenggot panjang ini tersandang sebilah golok besar.
"Malam-malam begini manusia iblis sepertimu mengacau kediaman orang lain! Dan..., heh?! Rupanya kau telah membunuh delapan orang muridku?" desah laki-laki berbaju merah yang tidak lain Ketua Padepokan Golok Perak.
Batu Kumbara tertawa mengekeh. "Pandanglah baik-baik wajahku yang rusak ini, Dananjaya!" kata Batu Kumbara sengit. "Kawanmu Bagas Salaya telah kukirim ke neraka bersama seluruh muridnya. Apakah kau sudah mendengar kabar ini?"
Laki-laki bernama Ki Dananjaya ini jelas-jelas sangat terkejut. Kalau tidak melihat sendiri apa yang dilakukan oleh laki-laki yang berdiri di hadapannya ini terhadap murid-muridnya, tentu tidak akan percaya.
Bagaimana tidak? Ki Bagas Salaya sahabatnya adalah seorang tokoh golongan putih yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sangat disegani kawan maupun lawan, karena kehebatannya dalam mempergunakan kapak, senjata andalannya. Jika manusia setan yang hampir mencelakakan Durutama dan Rahasta ini mampu membunuhnya, maka sama artinya laki-laki bertampang angker itu memiliki ilmu kepandaian yang sangat sulit dijajaki.
"Siapa kau, Kisanak?" tanya Ki Dananjaya. Suaranya jelas-jelas mengandung teguran.
"Hahaha...! Apakah kau benar-benar sudah tidak dapat mengenaliku lagi, Dananjaya? Apakah kau juga lupa dengan apa yang kau lakukan pada seseorang tiga tahun yang lalu?"
Ketua Padepokan Golok Perak tampak terkejut. Sampai-sampai, kakinya tersurut mundur sejauh dua langkah. Siapa yang tidak ingat kejadian di Lembah Batang, dimana seorang laki-laki durjana menjalani hukuman atas keputusannya, dan juga keputusan kalangan persilatan?
"Hm... Jadi kau orangnya yang telah manbunuh muridku dan juga kawan-kawanku. Batu Kumbara. Hukumanmu memang sepatutnya kau terima. Kejahatanmu setinggi langit, sampai tembus ke bumi. Sangat wajar bila hal itu harus terjadi padamu!" sahut Ki Dananjaya.
"Keparat! Seenaknya kau bicara! Kau tidak pernah merasakan betapa pedihnya terpanggang dipanas matahari. Kau juga tidak pernah merasakan betapa dinginnya angin malam!"
"Lalu, apa yang kau inginkan?" tanya Ki Dananjaya, tersenyum dingin.
"Yang kuinginkan sudah sangat jelas, Dananjaya. Aku menghendaki nyawamu!" sentak Batu Kumbara berapi-api.
"Hm.... Nyawaku hanya nyawa titipan Tuhan. Jika kau menghendakinya, aku harus minta izin pada Tuhan!"
"Jangan banyak omong! Heaaa...!"
Batu Kumbara tiba-tiba membuat salto ke depan. Gerakannya sangat cepat dan tidak dapat terduga. Dalam sekejap, dia telah sampai persis di depan Ki Dananjaya. Langsung tinjunya dihantamkan ke dada Ki Dananjaya. Namun dengan gesit Ki Dananjaya, menepis. Sehingga, benturan tenaga dalam pun tidak dapat dihindari lagi.
Plak!
Batu Kumbara tersurut mundur. Sebaliknya, Ki Dananjaya tampak tergetar tubuhnya. Ujung-ujung jemari tangannya terasa sakit seperti ditusuk-tusuk jarum.
"Hiyaaa...!" teriak Batu Kumbara, langsung menerjang ke depan.
Laki-laki yang telah dirasuki dendam kesumat ini tak ingin lagi membuang-buang waktu lebih lama. Langsung dikerahkannya jurus 'Menipu Para Dewa' yang sangat hebat itu. Dengan gencar, dilancarkannya serangan ke arah Ki Dananjaya.
Tapi walau bagaimanapun, Ki Dananjaya adalah seorang tokoh persilatan yang telah memiliki banyak pengalaman. Sehingga untuk menjatuhkannya, tidak mudah bagi Batu Kumbara. Maka tidak dapat dihindari lagi, pertarungan pun berlangsung seru dan seimbang.
"Heaaa...!"
Sambil berteriak melengking tinggi, Ki Dananjaya, mengerahkan jurus 'Mengusir Awan Kelabu'. Karena jurus ini dimainkan penciptanya, maka tidak dapat disangkal akan sangat berbahaya karena mengandung tipu daya yang sangat memarikan.
"Hup!"
"Hap...!"
Tidak kalah sengitnya, Batu Kumbara membalas serangan-serangan gencar Ki Dananjaya. Tapi setiap serangan Manusia Bangkai ini selalu kandas, sebelum sampai sasarannya. Bahkan setelah Ki Dananjaya mengeluarkan golok pusakanya, pertempuran pun menjadi berat sebelah. Beberapa kali golok di tangan laki-laki itu menghantam dada dan perut Batu Kumbara. Tapi tidak satu pun tebasan golok yang mengenai sasarannya mampu menembus tubuh Manusia Bangkai ini.
"Manusia iblis itu kebal terhadap senjata tajam, Guru!" teriak Durutama memberi peringatan.
"Muridku, benar. Jika aku tidak dapat menemukan titik kelemahannya, bukan tidak mungkin akan menerima nasib konyol seperti yang dialami Ki Bagas Salaya sahabatku!" kata batin Ki Danan jaya.
"Manusia busuk! Jika kau punya senjata dan pukulan yang diandalkan, cepat-cepat keluarkan!" teriak Batu Kumbara.
Sepasang mata laki-laki iblis ini sekarang telah berubah memerah. Dengan geram mata iblis dikedipkan ke arah Rahasta dan Durutama yang masih terbaring ditempatnya semula.
Seketika seleret sinar merah laksana bara datang ke arah kedua murid Padepokan Golok Perak disertai suara menggemuruh. Ki Dananjaya yang baru saja mengerahkan tenaga dalam kebagian telapak tangannya, sudah tidak sempat mencegah sinar merah yang meluruk kearah murid-muridnya, kecuali teriakan peringatan.
"Awaaas...!"
Glar! Glarrr...!
Terlambat sudah. Sinar merah yang melesat dari kedua bola mata Batu Kumbara telah telak sekali menghantam Rahasta dan Durutama.
"Aaa...!"
Dalam waktu bersamaan, terdengar jeritan menyayat. Tubuh Rahasta dan Durutama tumpang tindih dalam keadaan hangus menyedihkan. Tercium bau daging busuk terbakar. Melihat keadaan murid-muridnya yang sangat mengenaskan ini, Ki Dananjaya tampak menggerung-gerung seperti harimau terluka.
"Ka..., kau telah membunuhnya?" jerit Ki Dananjaya sambil melepaskan pukulan dahsyat ke arah Batu Kumbara.
Kembali seleret sinar berwarna putih dan kuning menderu dahsyat ke arah Batu Kumbara. Namun, laki-laki ini malah tertawa. Kemudian matanya dikedipkan berturut-turut.
Wus! Wer!
Dua leret sinar meluruk seperti saling berlomba-lomba, menyongsong datangnya sinar lain. Suasana di sekitar pertempuran berubah terang benderang. Kemudian, terdengar dentuman yang sangat menyakitkan gendang telinga.
"Wuagkh...!"
Baik Ki Dananjaya maupun Batu Kumbara sendiri sama-sama menjerit kesakitan. Tubuh mereka terlempar sejauh tiga batang tombak. Dari mulut Batu Kumbara mengalir darah kental. Demikian juga yang terjadi terhadap Ki Dananjaya.
Tanpa menghiraukan luka dalam yang diderita, Ki Dananjaya bangkit berdiri. Dan dengan golok terangkat tinggi-tinggi di tangan, tubuhnya meluruk memburu ke arah Batu Kumbara yang baru saja berusaha bangkit berdiri.
"Matilah kau...!" teriak Ketua Padepokan Golok Perak itu, keras.
Crok!
Golok pusaka di tangan Ki Dananjaya kontan terpental dan entah jatuh ke mana, begitu menghantam Manusia Bangkai itu. Sebaliknya Baru Kumbara yang hanya berpura-pura, sempat mengirimkan tendangan 'Iblis Gentayangan' keperut Ketua Padepokan Golok Perak ini.
Des! Des!
Ki Dananjaya jatuh terjungkal. Pada saat itu pula, Batu Kumbara kembali mengedipkan matanya. Maka dua leret sinar merah terang benderang meluruk menghantam Ki Dananjaya. Ketua Padepokan Golok Perak itu tak sempat mengelak lagi. Jiwanya melayang seketika itu juga.
Batu Kumbara alias Manusia Bangkai tersenyum puas. Diinjaknya tubuh yang sudah tak bernyawa dalam keadaan hangus.
"Hampir semua orang yang membuatku sengsara, telah menebus kesalahannya. Tapi, aku Manusia Bangkai tidak akan berhenti sampai di sini saja. Beberapa hari lagi, akan ada pertandingan partai persilatan golongan putih untuk menggantikan pimpinan yang lama. Hm...! Jika selama bertahun-tahun kebiasaan seperti itu berlangsung aman-aman saja, maka jangan harap kali ini! Puncak Gunung Kelud akan bersimbah darah!"

***

Panas terik yang menyengat tidak dihiraukan seorang laki-laki tua yang terus berjalan menuju ke arah timur. Sesekali tongkat hitam di tangannya bergerak kedepan. Dan mendadak, langkahnya terhenti. Wajahnya yang kemerah-merahan, mendongak kelangit. Matanya yang keseluruhan berwarna putih tampak berkeriapan. "Ah! Dunia ku gelap sekali. Sejak dulu hingga sekarang, tidak pernah kulihat di mana matahari. Tapi..., aku telah merasakan kehadirannya. Terasa panas menyengat. Orang-orang kalap berlari kencang seperti setan. Cepat atau lambat, pasti akan sampai di puncak Gunung Kelud. Kulihat dia kebal senjata dan pukulan. Tapi bukan berarti kekebalan tidak ada titik kelemahannya!" gumam kakek buta yang tidak lain Peramal Tuna Netra.
Sementara itu, di kejauhan terdengar suara derap langkah kaki kuda. Semakin lama, semakin mendekati Peramal Tuna Netra.
"Kuda dengan penunggangnya dua orang! Tega-teganya orang itu berbuat begitu?"
Kenyataannya, memang saat ini tampak seekor kuda berbulu hitam sedang berlarian cepat kearahnya. Penunggangnya, yang satu seorang pemuda berompi putih. Sedangkan di belakangnya duduk membonceng seorang gadis cantik berpakaian ringkas warna kuning.
Jika Peramal Tuna Netra yang buta dapat memastikan tanpa melihat berapa orang yang duduk diatas punggung kuda, ini merupakan satu tanda kalau pendengarannya sangat tajam. Tidak lama, terdengar ringkikan di belakang Peramal Tuna Netra yang bernama asli Ki Kambaya.
"Ki Kambaya!" sapa pemuda berbaju rompi putih itu.
Ki Kambaya memutar tubuhnya Keningnya berkerut dalam. "Kau Rangga, bukan?"
"Benar, Ki...!" sahut pemuda yang memang Rangga kalem. Sedangkan gadis yang tak lain Dewi Palasari hanya memandang terkejut. Karena tanpa melihat, kakek itu mampu menebak siapa yang datang.
"Kudengar kudamu mendengus-dengus seperti akan mati! Apakah gadis yang duduk di belakangmu Ketua Padepokan Merak Emas?" tanya Ki Kambaya.
Kembali Dewi Palasari dibuat terkejut! Bahkan Rangga pun sampai memuji dalam hati terhadap kepandaian Peramal Tuna Netra.

***

149. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Manusia BangkaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang