Kala Demit terkesiap. Terlebih-lebih, setelah melihat bahwa Surya Praga telah bersiap-siap melepaskan pukulan ke arahnya. Maka Kala Demit tidak ingin berlaku ayal-ayalan. Begitu melihat tangan Surya Praga berkelebat ke depan, maka saat itu juga kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam penuh didorongkan.
Seketika seleret sinar berwarna biru melesat dari telapak tangan Kala Demit. Sebaliknya dari telapak tangan Surya Praga, melesat sinar putih menyilaukan mata. Suasana di tengah-tengah arena berubah menjadi panas sekali. Ketika kedua pukulan itu saling bertemu di udara, maka terdengar ledakan menggelegar. Tubuh Surya Praga dan Kala Demit sama-sama terlempar keluar dari arena!
Seketika gemparlah tempat itu akibat ulah dua murid padepokan yang tampaknya ingin saling membunuh. Daeng Saka dan Gempita Soka, bahkan segera naik ke arena laga. Paras mereka berubah pucat melihat kelalaian yang terjadi.
Bagaimana tidak? Mereka yang terlibat adu kepandaian adalah murid tertua yang sudah sama-sama mengetahui aturan yang berlaku. Tak seorang pun yang bertanding diperkenankan mempergunakan pukulan jarak jauh dan senjata. Tapi, Surya Praga dan Kala Demit telah melanggar aturan itu.
Pada saat itu, baik Surya Praga maupun Kala Demit telah naik kembali ke tengah-tengah arena. Dari sudut sudut bibir mereka, tampak mengucur darah kental, pertanda keduanya menderita luka dalam yang tidak ringan.
"Hei... tolol...! Apa yang kalian lakukan...!" bentak Daeng Saka ketika melihat kedua muridnya hendak saling serang kembali.
"Mereka semua telah berubah menjadi gila!" desis Gempita Soka tidak kalah gusarnya.
"Pasti telah terjadi sesuatu yang tidak beres ditempat ini, Paman...!" kata Rangga pelan.
"Maksudmu?!" Daeng Saka tidak mengerti.
"Seseorang telah mempengaruhi jalan pikiran mereka, melalui ilmu mengacaukan akal. Dengan begitu baik Kala Demit maupun Surya Praga merasa kalau orang yang dihadapi adalah lawan yang harus dibinasakan," jelas Rangga.
Belum sempat Daeng Saka bertanya lebih lanjut, tiba-tiba terdengar suara seseorang yang tak ubahnya seperti nyanyian. Kemudian, tercium bau bangkai yang sangat menusuk hidung. Angin tiba-tiba berhembus. Di tengah-tengah hembusan angina yang menebar bau busuk itu, terdengar pula suara seperti orang yang sedang melantunkan bait-bait syair.
Gunung Kelud arena laga. Tempat orang-orang tolol menentukan ketua partai yang baru. Di sini ini, kebiasaan leluhur berlangsung secara turun-temurun. Tapi kali ini keadaan akan berubah. Tercatat atau tidaknya dalam sejarah, Manusia Bangkai akan mengukir sebuah kejayaan dengan tinta darah! Orang-orang tolol. Tidak ada yang lebih baik dan kalian, selain kidung kematian. Lereng Kelud akan bersimbah darah. Hingga hati dan penderitaan ini jadi terpuaskan.
Sepi seketika terasa menghentak. Semua orang yang berada di lereng Gunung Kelud seakan tersirap oleh makna syair yang baru saja dilantunkan oleh seseorang yang bersembunyi dibalik batu-batu besar. Namun pada saat itu, kesunyian segera terpecahkan oleh suara tawa seseorang. Semua mata sekarang tertuju kearah terdengamya suara tawa.
"Peramal Tuna Netra...!" desis Rangga dan Dewi Palasari hampir bersamaan.
"Kehadiranmu sudah kami ketahui, Manusia Bangkai! Janganlah mengumbar syair murahan tanpa berani tunjukkan diri! Tunjukkan tampangmu. Kami semua telah mempersiapkan diri untuk menyambut kematian yang kau janjikan!" kata Ki Kambaya, ketika suara tawa terhenti. Ucapannya disertai tenaga dalam tinggi.
"Wah! Ki Kambaya bicara ngaco. Barangkali dia yang menginginkan kematian. Tapi..., kalau aku nanti dulu!" Rangga menimpali.
Meskipun dalam suasana tegang, mau tidak mau Dewi Palasari tersenyum juga mendengar ucapan Rangga yang diam-diam telah menarik perhatiannya. Tidak lama setelah ucapan Peramal Tuna Netra, dari balik batu-batu besar muncul sosok tubuh yang sudah sangat dikenal Dewi Palasari maupun Rangga.
"Manusia durjana! Jangan terlalu lama berdiri disitu. Tanganku sudah sangat gatal ingin mencabik-cabik tubuhmu!" teriak Dewi Palasari yang memang memiliki dendam pribadi terhadap Manusia Bangkai.
Manusia Bangkai tertawa-tawa. Tubuhnya berkelebat laksana kilat. Dilain kejap dia telah berdiri diujung arena laga, sambil memandang tajam pada Dewi Palasari.
"Bicaramu terlewat takabur, Gadis Cantik. Kalau dulu pemuda di sampingmu tidak datang menolongmu, mungkin saat ini kau sudah menjadi istriku yang paling setia!"
"Cis! Siapa sudi menjadi istrimu? Kau berhutang darah dan kehormatan padaku. Bersiap-siaplah untuk menerima kematian!" teriak Dewi Palasari.
Tanpa dapat dicegah lagi, dengan pedang terhunus Dewi Palasari meneriang Batu Kumbara. Namun laki-laki berwajah angker seperti iblis ini hanya tertawa ganda. Tubuhnya berkelit ke samping. Dalam keadaan seperti itu, dia masih sempat melepaskan Tendangan Iblis Gentayangan yang sangat berbahaya.
Ternyata, Dewi Palasari yang memiliki pengalaman luas ini cepat menarik balik serangannya. Sementara pedang pusakanya kemudian diarahkan kebagian mata Batu Kumbara.
Manusia Bangkai terkejut setengah mati. Kakinya cepat ditarik balik. Dan walaupun dapat menyelamatkan matanya dari ancaman pedang, tidak urung dadanya masih sempat tersambar senjata di tangan gadis itu.
Crak!
Batu Kumbara terhuyung-huyung terhantam senjata Dewi Palasari. Tapi, sambaran pedang itu tidak membawa akibat apa-apa. Sebaliknya, sambil memaki dikerahkannya jurus Menipu Para Dewa. Tangan kanan Manusia Bangkai terjulur kedepan, mencengkeram bagian dada Dewi Palasari. Gadis ini terkejut setengah mati, dan cepat melompat mundur dengan wajah bersemu merah.
"Manusia terkutuk!" maki Dewi Palasari, geram bukan main.
Cengkeraman itu tidak mengenai sasaran. Tapi, tendangan susulan yang dilakukan Batu Kumbara berhasil menghantam perut Dewi Palasari.
"Wuaagkh...!"
Ketua Padepokan Merak Emas itu menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar dan jatuh persis di depan kaki Daeng Saka. Wajah gadis itu berubah pucat seketika. Dari mulut dan hidungnya mengucur darah kental, pertanda menderita luka dalam yang cukup parah. Melihat kenyataan ini, Daeng Saka melompat kedepan. Pedang ditangannya sudah melintang di depan dada.
"Manusia iblis! Akulah lawanmu!" dengus Ketua Padepokan Naga Merah sambil bersiap-siap mengerahkan jurus. Menggulung Topan Samudera, salah satu jurus yang menjadi andalan Padepokan Naga Merah.
"Manusia jelek! Coba sebutkan namamu, sebelum aku membunuhmu!" bentak Batu Kumbara. Keparati Kau tidak layak mengetahui siapa aku!"
"Kalau begitu, kau akan mati penasaran!" desis Manusia Bangkai.
Segera Batu Kumbara menghindari serangan dahsyat yang dilakukan Daeng Saka. Tapi anehnya serangan yang dilakukan Daeng Saka seakan tidak ada habis-habisnya. Apalagi pedang di tangannya seakan berubah semakin banyak, mengurung ruang gerak Batu Kumbara. Tidak pelak lagi, beberapa kali pedang di tangan Daeng Saka berhasil menerobos pertahanan Manusia Bangkai. Tapi sebagaimana yang dialami Dewi Palasari, kali ini pun serangan itu tidak membawa hasil apa-apa.
"Hiyaaa...!" Batu Kumbara mengeluarkan bentakan keras. Tubuhnya melompat kedepan dengan gerakan melayang. Laksana kilat, diserangnya Daeng Saka dengan totokan-totokan mematikan. Di lain saat, secara aneh pedang di tangan Daeng Saka telah berpindah tangan. Ciutlah hati Daeng Saka, melihat kehebatan lawannya. Dan sebelum rasa terkejut ini hilang, pedang Daeng Saka yang telah berpindah ke tangan lawannya menusuk kebagian dada, tepat menembus jantung.
"Aaa...!"
Tubuh Daeng Saka yang tertusuk pedang hingga tembus kebagian punggung tampak terhuyung-huyung. Mata Ketua Padepokan Naga Merah tampak melotot seperti akan melompat keluar. Sementara dari bagian dadanya, darah terus mengucur tidak ada henti-hentinya.
Ketika Batu Kumbara menyentakkan pedang itu secara keji, maka tubuh Daeng Saka langsung ambruk di lantai arena laga. Sosok yang telah berlumuran darah ini tidak berkutik lagi. Sedangkan Batu Kumbara tergelak-gelak melihat kematian lawannya.
Dewi Palasari tampak berusaha bangkit berdiri. Tapi, bahunya segera ditahan Rangga. Sementara itu, Gempita Soka telah melompat ke depan dengan senjata anehnya yang berupa pisau berlekuk tiga.
"Hm... Rupanya masih ada lagi yang ingin minta mati. Baiklah.... Aku akan mengirimmu ke neraka!"
"Manusia iblis! Kaulah yang harus merasakan ketajaman senjataku ini...!" bentak Gempita Soka.
Sebelum Batu Kumbara sempat melepaskan pukulan iblisnya, pisau di tangan Gempita Soka sudah menderu dan mengarah pada bagian mata.
"Keparat...!" maki Batu Kumbara sambil bersalto kebelakang untuk menyelamatkan matanya.
Belum sempat laki-laki berwajah angker dan menebar bau bangkai ini berbuat sesuatu, Gempita Soka sudah mengejarnya. Dan untuk yang kedua kali, pisau itu menderu ke arah mata.
Batu Kumbara merasa sudah tidak mungkin mampu lagi menghindarinya. Maka demi menyelamatkan mata, langsung ditangkisnya serangan itu dengan telapak tangan terkembang.
Plak! Des!
"Wuakh...!"
Gempita Soka memekik kesakitan. Tangan kanannya yang memegang senjata tampak remuk terhantam pukulan tangan Manusia Bangkai yang telah berubah mengeras laksana baja. Sedangkan pisau berlekuk ditangannya terpental. Ketua Partai Giling Wesi ini terus bergerak mundur, ketika Manusia Bangkai melakukan serangan balasan yang jauh lebih dahsyat.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan ini, Rangga segera menghadang ke depan dan langsung mementahkan serangan Batu Kumbara dengan mempergunakan jurus Rajawali Menukik Menyambar Mangsa. Serangan Pendekar Rajawali Sakti memang jauh lebih berbahaya lagi. Karena yang diincar bagian mata Batu Kumbara.
Sambil memekik kaget Manusia Bangkai memalingkan wajahnya ke arah lain. Dan dengan cepat pula, dia melompat kebelakang. Dalam jarak lima batang tombak, Batu Kumbara memperhatikan Rangga dengan perasaan geram.
Pada saat itu, Peramal Tuna Netra sudah melompat ke arena laga. Dengan seenaknya, tenaga dalamnya dikerahkan ke bagian punggung Dewi Palasari yang tengah menderita luka dalam.
"Kalau saja mataku tidak buta, tentu aku akan senang melihatmu mengorek mata Manusia Bangkai yang menjadi sumber malapetaka itu, Rangga...!" desis Ki Kambaya dengan sikap acuh.
Sebaliknya Batu Kumbara semakin bertambah kaget saja. Kepalanya langsung berpaling kearah Peramal Tuna Netra. Dan hatinya makin heran, begitu melihat mata si kakek sama sekali tidak dapat melihat.
"Siapakah kau? Apakah kau ingin cepat-cepat mampus?" bentak Batu Kumbara merasa tersinggung.
"Diamlah kau, Manusia Busuk dan Jelek! Jika kau berhasil mengalahkan dan membunuh Pendekar Rajawali Sakti, barulah aku akan memberitahu padamu, siapa aku yang sebenarnya!" sahut Peramal Tuna Netra, enteng.
"Keparat! Kalian memang pantas mampus semuanya ditanganku!" Kemudian dia menoleh ke arah Rangga. "Anak muda! Kau tidak bakal menang melawanku!"
"Biar tidak menang, asal aku dapat mencongkel matamu!" sahut Rangga tenang.
Semakin bertambah gusarlah Manusia Bangkai mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Maka tiba-tiba secara curang tangannya dihantamkan kedepan. Rupanya sejak tadi, Batu Kumbara telah bersiap-siap melepaskan pukulannya. Seketika dua leret sinar hitam menebarkan bau busuk menyesakkan pernapasan menderu ke arah Rangga. Udara di sekitarnya kontan berubah dingin luar biasa.
Pendekar Rajawali Sakti terkesiap begitu merasakan angin sambaran serangan Batu Kumbara. Tapi dengan cepat tangannya menghentak ke depan, melepaskan pukulan dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali tingkat terakhir. Seketika dari telapak tangan Pendekar Rajawali Saka melesat sinar kemerahan berhawa panas menghanguskan, menyongsong pukulan Batu Kumbara.
Glar!
Terdengar dentuman yang seakan menghancurkan gendang telinga. Arena laga kontan hancur berantakan. Sementara, Pendekar Rajawali Sakti dan Batu Kumbara sendiri jatuh berdebuk keras di tanah.
Rangga merasa bagian dalam dadanya seperti hancur. Tapi tanpa menghiraukan keadaannya sendiri, dia telah melompat keatas arena laga yang berantakan.
Sementara Batu Kumbara rupanya memang tidak mengalami akibat apa-apa. Bibirnya tampak menyeringai. Namun seringainya melenyap, ketika melihat tubuh Pendekar Rajawali Sakti sudah berkelebat cepat. Dia merasa ada satu keanehan yang terjadi. Di matanya, tubuh pemuda itu seakan berubah menjadi banyak. Yang lebih mengherankan lagi, tangan-tangan Pendekar Rajawali Sakti yang seakan menjadi puluhan, hampir keseluruhannya terarah pada bagian matanya. Sehingga membuat Manusia Bangkai mati-matian menyelamatkan matanya yang menjadi sumber kekuatan dan kelemahan selama ini.
Kenyataan yang dirasakan Batu Kumbara memang tidak dapat dipungkiri. Karena, Rangga saat ini telah mengerahkan jurus Seribu Rajawali. Dengan bersusah payah, Batu Kumbara menghindari serangan Rangga. Sama sekali Batu Kumbara tidak diberi kesempatan mengedipkan matanya. Sedangkan Rangga terus bergerak mengejarnya dengan serangan-serangan dahsyat yang terus mencecar bagian mata.
"Kurang ajar!" maki Batu Kumbara ketika mulai menyadari, betapa berbahayanya serangan gencar pemuda itu, jika terus berusaha menghindar.
Di awali satu bentakan keras, Manusia Bangkai melompat kebelakang. Matanya yang telah berubah merah membara langsung berkedip.
Hampir bersamaan waktunya, Rangga mencabut pedang pusaka dari warangka. Seketika sinar biru menyilaukan mata memancar, begitu Rangga mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian gagang pedang. Sementara tangan kirinya melepaskan pukulan jarak jauh dari jurus Pukulan Maut Paruh Rajawali.
Dua leret sinar merah yang melesat dari mata Batu Kumbara datang menggebu. Didepannya, menyongsong sinar merah yang juga sama-sama menebarkan hawa panas menghanguskan.
Orang-orang yang berdiri di sekeliling arena langsung berserabutan menjauhkan diri dari arena. Dan ketika dua leret sinar berwarna merah itu bertemu diudara, terjadilah satu ledakan yang sangat dahsyat.
Blarrr...!"
Rangga jatuh terguling-guling dengan pedang masih tergenggam di tangan. Dari mulutnya tampak mengucur darah kental. Dengan terhuyung-huyung pemuda ini bangkit berdiri.
Sementara, Manusia Bangkai telah berdiri tidak jauh di depannya. Matanya yang berubah merah seperti mata iblis itu memandang kearah Rangga dengan kemarahan berkobar.
"Bangsat! Rupanya nyawamu benar-benar alot juga!" dengus Batu Kumbara geram.
Pendekar Rajawali Sakti hanya diam dengan pandangan tajam. Wajahnya berubah geram penuh perbawa, bagai malaikat maut yang siap menjemput. Kemudian pedang di tangannya diputar sedemikian rupa. Tidak salah lagi. Saat ini Rangga telah mengerahkan jurus Pedang Pemecah Sukma, salah satu jurus yang sangat diandalkan.
Manusia Bangkai sendiri terkesiap. Tiba-tiba saja jiwanya terasa terpecah-pecah. Bahkan dia tidak tahu, apa yang harus dilakukannya sekarang. Manusia Bangkai hanya merasa, semangat bertempurnya hilang begitu saja.
"Hiyaaa...!" Rangga tiba-tiba melesat ke depan. Pedang ditangannya mendadak menusuk ke mata kiri Manusia Bangkai yang hanya terpaku.
Untung saja Batu Kumbara cepat-cepat menggelengkan kepala, mengusir keanehan yang terjadi. Lalu, kepalanya ditarik kebelakang. Sementara, tangan kanan menepis tusukan pedang ditangan Pendekar Rajawali Sakti.
Trak!
Tubuh Pendekar Rajawali Sakti bergetar hebat. Sebaliknya, Manusia Bangkai tampak terhuyung-huyung. Belum siap Batu Kumbara pada kuda kudanya, Rangga telah menyerangnya kembali dengan kecepatan berlipat ganda. Pedang di tangannya menusuk ke bagian perut. Tapi ketika jaraknya hanya tinggal dua jengkal saja, Pendekar Rajawali Sakti membelokkan serangan ke bagian mata kiri Batu Kumbara.
Cras!
"Wuagkh...!"
Batu Kumbara menjerit setinggi langit begitu mata kirinya mengucurkan darah akibat tertembus Pedang Pusaka Rajawali Sakti. Ketika musuhnya masih sibuk mendekap mata kirinya yang terluka, pedang ditangan Rangga kembali menderu. Dan kali ini, langsung menusuk mata kanan Batu Kumbara. Manusia Bangkai ini tidak punya kesempatan untuk menyelamatkan matanya. Apalagi serangan Rangga cepat bukan main. Maka...
Cres!
Untuk kedua kalinya, terdengar lolongan Manusia Bangkai yang begitu menyayat. Tubuhnya terhuyung-huyung. Belum juga tubuhnya ambruk, dari arah samping kiri tiba-tiba melesat sesosok berbaju kuning kearah Batu Kumbara. Bahkan langsung membabatkan pedang kebagian perut Manusia Bangkai ini.
Cras! Cras!
Sambil menjerit-jerit kesakitan, Batu Kumbara terhempas ke lantai arena. Darah menyembur dari perut dan dadanya. Memang setelah titik kelemahan Batu Kumbara yang terletak pada matanya tertembus pedang, maka musnahlah seluruh ilmu kebalnya.
Sementara Dewi Palasari tidak puas sampai disitu saja. Gadis itu terus mencincang tubuh orang yang hampir merenggut kehormatannya. Sehingga tubuh Manusia Bangkai kini sangat sulit dikenali lagi.
"Sudah, Dewi...!" cegah Rangga seraya menangkap gerakan tangan Dewi Palasari yang mengayunkan pedang. "Tidak ada gunanya berbuat seperti itu. Dia sudah mati."
Dewi Palasari menghentikan gerakannya. Bibirnya tampak cemberut. Rangga hanya menggelengkan kepala.
"Ah.... Kalau bukan dia yang melarangku, tidak mungkin aku menurutinya...!" desah Ketua Padepokan Merak Emas yang diam-diam telah jatuh hati pada Rangga.
"Mari kita urus mayat Daeng Saka Dan... eh! Kemana perginya Gempita Soka dan Peramal Tuna Netra itu...?" tanya Rangga, mencari-cari.
"Yang satu buta. Yang lain menderita luka dalam. Mungkin mereka saling bahu-membahu untuk menyembuhkan luka dan penyakit masing-masing."
Rangga hanya tersenyum mendengar ucapan Dewi Palasari yang mengerling manja.***
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
149. Pendekar Rajawali Sakti : Teror Manusia Bangkai
ActionSerial ke 149. Cerita ini diambil dari Serial Silat Pendekar Rajawali Sakti karya Teguh S. Dengan tokoh protagonis Rangga Pati Permadi yang dikenal dengan Pendekar Rajawali Sakti.