Part 12

2.2K 434 203
                                    

Selamat membaca.

Parni berjalan beriringan dengan Luna. Menikmati hembusan angin malam yang menerpa kulitnya. Luna tidak mengeluarkan suara sedikit pun, begitu juga Parni. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu lalang kendaraan dan asap ngebul ikut menemani langkah keduanya untuk pulang ke rumah. Jika Luna sibuk memikirkan keadaan Parni yang menyedihkan, maka berbeda dengan Parni yang saat ini memikirkan omong kosong dokter tadi siang yang mengatakan bahwa dirinya hamil.

"Mbak Parni jadi sekarang bagaimana?" tanya Luna.

"Pasti dokter itu berbohong," jawab Parni dengan pandangan lurus ke depan.

"Tapi bukannya garis dua itu tandanya positif, Mbak?" Luna kembali menatap Parni sengan serius.

"Tapi samar'kan? Test pack bisa saja salah," ucap Parni lagi.

"Mbak ga mau periksa ke dokter saja?"

Parni menggeleng, "tidak perlu, aku baik-baik saja. Bukan hamil," sahut Parni lagi membuat Luna terdiam.

Perkataan dokter tadi perihal kondisi Parni, memang hanya Luna yang tahu. Wanita itu sepertinya mengerti, bahwa Parni memang terlihat ada masalah, maka dari itu Parni lebih tertutup dari pada teman-teman lainnya. Parni bicara seperlunya, bahkan tidak pernah tersenyum, kecuali saat mengantar makanan pada tamu yang makan di warung soto mereka.

"Terimakasih sudah menemaniku ya, Lun," ucap Parni ketika ia sudah sampai di depan kos-kosannya.

"Sama-sama, Mbak. Kalau tidak enak badan, besok izin saja." Luna tersenyum tipis.

"Aku baik-baik saja, Lun. Jangan khawatir." Parni memaksakan senyum tipisnya juga pada Luna, sebelum ia benar-benar masuk ke dalam rumah kos.

Luna hanya mampu menghela nafas panjang, lalu berjalan menuju rumahnya yang masih lima ratus lima ratus meter lagi dari kosannya Parni.

Begitu masuk ke dalam kamar kos, Parni mengambil handuk. Dengan langkah gontai masuk ke dalam salah satu kamar mandi yang kosong. Ya, di dalam kos Parni ada sepuluh kamar dengan tiga kamar mandi, serta ruang cuci. Parni menempati kamar di bawah, paling ujung. Setelah mandi ia masuk kembali ke dalam kamar, suasana kos sangat sepi, hanya ada ibu kos yang kini tengah mengunci pagar.

"Parni duduk di tempat tidur, dengan handuk kecil mengeringkan rambutnya yang basah. Matanya turun melihat perutnya yang rata, menatap nanar dengan hati gundah gulana. Parni menggeleng keras, "kamu tidak boleh hadir, tidak boleh!" bisik Parni penuh luka.

Diambilnya testpack yang tadi ia gunakan untuk memeriksa air seni. Lalu membuangnya ke dalam tempat sampah kecil yang berada di dalam kamarnya. Parni kembali naik ke atas tempat tidur, kepalanya masih berat, namun perutnya terasa sangat lapar. Harusnya tadi ia bawa saja kuah soto untuk teman makan nasinya, tetapi tadi kondisinya sedang kalut, sehingga tidak menerima tawaran untuk membawa kuah soto pulang.

Parni memilih membuat susu saja, memasak sedikit air di teko listrik yang ia beli beberapa hari lalu. Ia berharap dengan minum susu, rasa laparnya sedikit berkurang. Sambil menunggu air mendidih, Parni menyibukkan diri dengan menyapu kamar juga mengepelnya. Namun tiba-tiba kepalanya kembali berkunang-kunang, dengan berpegangan pada sisi tempat tidur, Parni mengistirahatkan tubuhnya, menyeduh susu, kemudian meminumnya setelah cukup hangat.

Tidak tahu kenapa, air matanya kembali menetes, ia terisak dalam hening malam yang hanya berteman suara jangkrik. Hari ini harusnya menjadi hari bahagia dirinya dan Iqbal, namun Tuhan tidak mengizinkan. Dengan punggung tangannya, Parni mengusap air mata, "kenapa Den Ali tega sekali pada saya? Apa salah saya? Kenapa Tuhan menghukum saya begitu berat? Saya hanya ingin menikmati sisa hidup saya dengan orang yang saya cinta, bukan menanggung beban dosa seperti ini," lirihnya dalam isakan, "aku tidak mungkin hamil'kan? Dokter itu pasti salah, tidak! Aku tidak mau hamil! Tuhan, tolong jangan timpakan hal buruk lainnya padaku, aku lelah," isaknya pedih menyayat hati. Ia hancur, ia terluka, dan ia tidak tahu bisa bertahan sampai kapan.

Calon Pengantin yang DinodaiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang