BAB I PANGGILAN TAK TERJAWAB

41 2 20
                                    

Andhiko Wicaksono sangat bersemangat sore itu, karena hari ini adalah jadwal bertemu dosen pembimbing untuk menyerahkan revisi skripsinya. Setelah perjuangan panjang selama empat tahun, akhirnya tiba juga semester terakhir yang dinantikan. Sepulang dari kampus nanti, rencananya dia akan menjemput Chairunissa—kekasih hati yang sedang ada acara bedah buku bersama seorang penulis wanita ternama dari ibu kota di auditorium kampus. Lalu mereka akan pergi ke rumah Nissa di Malang untuk bertemu kedua orang tuanya.

Derrrtt!

Getar gawai Dhiko menghentikan langkahnya, tepat sebelum dia masuk ke ruang dosen. Dia menepi ke tiang di sebelah kanan pintu.

[Semangat, ya, Mas!] Sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya dan mampu membuat Dhiko tersenyum sendiri.

[Tentu, Sayang. Terima kasih, ya.] Dibubuhi emoticon hati, terkirim sebagai balasan. Lalu Andhiko pun mengetuk pintu ruang dosen.

"Selamat siang, Mr.Han ada?" Andhiko bertanya kepada satu-satunya orang yang ada di dalam ruangan itu.

"Oh, Andhiko, ya?" sahutnya sambil sibuk membereskan beberapa berkas. "Mr.Han mendadak harus ke rumah sakit, taruh saja laporanmu di mejanya," lanjutnya sambil mendongak sesaat.

"Iya, Bu. Terima kasih." Dhiko meletakkan skripsinya di atas meja Mr.Han yang jauh dari kata rapi. Lalu sesegera mungkin dia ingin meninggalkan tempat itu, "Saya permisi, Bu," pamitnya menuju pintu.

"Ya, silakan," sahut wanita itu, sayangnya Dhiko sudah menghilang di balik pintu.

Dhiko mengambil handphone yang dikantongi dalam jaket almamaternya,

[Sayang, masih lama nggak?] Sebuah pesan dikirimnya kepada Nissa.

[Loh kok ...?] Pesan balasan yang diterimanya dibubuhi emoticon bingung.

[Iya, nggak jadi bimbingan nih, Mr.Hannya sakit.]

[Makan yuk,] ajaknya.

[Bentar lagi ya, Mas. Masih bisa tahan kan? 15 menit lagi deh, ini juga lagi antre tanda tangan.] Nissa menambahkan emoticon peluk.

[OK, Aku tunggu di musala ya.] Pesan terakhir yang dikirim Andhiko sebelum melangkah ke arah Musala.

***

Andhiko masih tafakur dalam doa, selepas mengerjakan salat asarnya. Beribu rasa syukur dilangitkan oleh segenap jiwanya, atas semua kemudahan dan kelancaran yang diberikan kepadanya. Dia teringat setahun yang lalu, saat pertama kali bertemu dengan Chairunissa Irawan, dalam sebuah acara santunan anak panti asuhan yang diselenggarakan oleh kampus mereka.

Saat itu Dhiko tersihir oleh pesona seorang gadis berpenampilan salihah, yang sedang membacakan dongeng untuk adik-adik usia dini di panti. Suara merdu Nissa yang membawakan sebuah lagu dolanan anak, di akhir pembacaan cerita itu, membuat Dhiko menghentikan langkah sejenak untuk menikmatinya. Hari itu, Dhiko menyadari bahwa wanita seperti Nissa-lah idaman hatinya.

"Mas Dhiko, sini masuk!" panggil Retno, rekan seangkatannya, dari dalam aula.

"Kenalkan, ini Chairunissa the Story Teller kebanggaan kampus kita," lanjutnya, sesaat setelah Nissa bergabung.

Aula panti sudah sepi, anak-anak sudah kembali ke kamar masing-masing untuk beristirahat dan mereka pun segera membereskan beberapa peralatan yang tadi digunakan dalam acara pembacaan dongeng siang ini.

"Oh, iya. Saya Andhiko." Dia menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan Nissa, tetapi dengan segera kedua tangan Nissa menangkup di depan dada. "Saya Nissa, Mas," sapanya lembut, menggetarkan jiwa Andhiko.

The CallTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang