CHAPTER 15 Harapan

229 51 7
                                    

     

     

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

      "Anya, turun sekarang!"

       Rain bersedekap tangan sekaligus berdecak kesal di tempatnya berdiri. Maniknya yang serupa pekat malam tanpa bintang menyorot dengan datar pun dibubuhi aura dingin, yang seolah tiada habisnya pada seorang gadis berpenampilan mengerikan bagai manusia purba; sedang berusaha memanjat pohon mangga yang tumbuh liar di dalam hutan.

     Rain tidak mengada-ngada saat memikirkan sosok Anya yang kian hari semakin mirip kawanan monyet; rambut acak-acakan, baju kedodoran miliknya yang sudah bolong sana-sini, kulit pucat yang dipenuhi bercak tanah, dan jangan lupakan bau menyengat keluar dari tubuhnya.

      Rain harus menahan diri saat berada di dekat gadis itu agar tidak muntah saking baunya.

      Pria itu tidak habis pikir, sebab dia memiliki rumah yang meski berada di tengah hutan tapi kualitasnya masih berada di rana standar hunian layak. Dia punya kamar mandi dengan air mengalir, yang berasal dari aliran sungai kecil tepat disamping rumah, itu hanya dibatasi beberapa pohon yang cukup lebat. Juga, dia punya baju yang banyak dan mumpuni digunakan Anya walaupun kebesaran.

      Walau begitu, Rain harus mengakui dia sangat suka saat Anya memakai pakaiannya yang kebesaran, karena itu, Rain enggan membelikannya gaun atau pakaian wanita saat keluar hutan.   

       Apa dia gila?

       Tidak, dia hanya suka. 
 
        Lalu kenapa Anya tidak mandi dan mengganti baju selama empat hari? Rain sungguh tidak tahu, dia akan menanyakannya setelah berhasil menurunkan monyet itu dari atas pohon. Mengabaikan Rain yang memasang tampang kesal yang tidak dibuat-buat, Anya tetap berada di atas sana bahkan tidak terlihat memiliki niat untuk turun sama sekali. Dia justru berpindah dari dahan satu ke dahan lainnya, untuk memetik satu-persatu buah mangga yang sudah matang maupun yang masih muda, dengan entengnya.

      Tampang Rain semakin keruh saja. Gadis itu jadi semakin banyak tingkah setelah Rain tidak berganti kepribadian selama empat hari belakangan ini, Anya semakin mengabaikan, jika pria itu bisa membunuhnya kapan saja.

       Dan Rain menyesal mengajari Anya memanjat pohon.

       Semakin kesal dan tidak tahan lagi, Rain ikut memanjat pohon menuju tempat di mana manusia rasa monyet tersebut sedang nangkring, sembari menguliti buah mangga yang masih muda menggunakan giginya. Rain sontak berdecak. Tepat ketika ia berhasil menggapai Anya, dia menarik kaki gadis itu sampai Si Empunya menjerit ketakutan karena nyaris saja terjatuh. Rain menyeringai setan saat menyadari Anya tidak selihai yang terlihat. Anya menggerutu tetapi Rain mengabaikannya, seolah ingin menunjukkan kalau diabaikan itu sungguh menjengkelkan.

Adiptara Family's [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang