"Tolong, Bu. Saya janji nggak akan lama di sana, nggak akan macam-macam, juga nggak mau bikin Inna menangis lagi. Kalau dia memang masih betah, ya sudah. Saya nggak bakalan paksain dia untuk balik ke Jakarta, apalagi ikut ke Kupang nanti. Ibu percaya sama saya kan, Bu?" ujar Torra di depan ibu mertuanya, memohon sembari mengatup kedua tangan dan menyimpannya di dada.
Indri yang melihatnya pun menjadi gusar, sulit menahan kesedihan atas nasib rumah tangga putri semata wayangnya. Ia tak ingin semuanya berakhir begitu saja sebelum kesempatan kedua dilakukan, seperti sang pencipta yang selalu berulang kali memberi kesempatan sebelum mengadili.
Mengembuskan napas sebanyak mungkin, Indri akhirnya membuka suaranya, "Dia ada di Tarakan, Nak Torra."
"Saya sudah tahu, Bu. Om Krisna yang kerja di Angkasa Pura itu yang kasih tahu. Cuma masalahnya, dia di sana tinggal sama siapa? Saya mau minta alamatnya kalau ibu mengizinkan." Namun bukan kalimat tersebut yang Torra harapkan, sebab diri pun sudah mengetahuinya. Itu sebabnya ia dengan cepat menjawabnya, mengeluarkan apa yang selama ini menjadi tanda tanya besar untuknya.
Untuk beberapa detik, Indri berdiam dan berpikir keras. Namun, tak sampai di detik ke sepuluh ia menyerah, memberikan kemenangan itu ada di tangan Torra, "Dia di rumah Mbok Lik Intan. adik bungsunya ibu yang tempo nggak bisa datang ke acara lamaran kalian berdua itu."
Indri menjelaskan dengan jujur, tetapi Torra merusaknya, "Se..serius, Bu?"
"Iya. Kamu kira ibu nipu kamu gitu?" Menghadirkan suara sinis itu keluar tanpa bisa disaring terlebih dahulu.
Tak urung Torra pun menjadi terbata, mengelak sembari meyakinkan ibu mertuanya, "Ng..nggak gitu, Bu. Saya pikir dia kabur ke rumah temannya atau--"
"--Dia udah nggak punya teman banyak sekarang. Teman bicaranya ya palingan cuma Nak Aldi doang. Paling sabar dan juga selalu perhatian dan menyenangkan Inna dari dulu. Nggak seperti kamu yang doyan bikin dia sakit hati, lebih-lebih keluarga kamu itu. Parah!" Namun terputus, atas perbuatan Indri yang malas mendengar ocehan menantunya itu. Ia bahkan membawa nama Aldi di sana, membuat wajah Torra menjadi masam kembali.
Meski begitu, Torra tak mungkin mengeluarkan uneg-unegnya, terlebih ketika ia sedang berusaha mencari simpati.
"Maaf, Bu. Saya janji kali ini semuanya akan baik-baik saja," ujar Torra sekali lagi memohon.
"Memang harus begitu kalau kamu masih mau membina rumah tangga sama anak ibu! Soalnya sisa Inna aja. Masnya sudah nggak ada, bapaknya juga. Jadi ya gitu deh." Mendapat jawaban yang kurang dimengerti oleh Torra.
"Gitu gimana, Bu?"
"Gitu ya gitu! Anak ibu tinggal satu jadi ibu nggak akan mau berpihak sama kamu lagi, kalau Inna masih aja disakiti! Sudah paham?!" Torra pun bertanya, dan Indri menjelaskan.
Terbata di antara hal menohok yang Indri tuntut darinya, Torra lantas melancarkan keinginannya, "Iy..iya, siap. Em, boleh saya minta alamatnya sekarang nggak, Bu? Soalnya--"
"--Kamu menginap saja malam ini. Besok pagi baru ibu kasih alamatnya!" Torra meminta alamat rumah yang Inna kunjungi di kota Tarakan, namun Indri menolak.
Tentu saja ada Torra keberatan dan kembali memohon, "Tapi, Bu--"
"--Jangan buat onar di malam hari begini ya, Nak Torra! Nurut apa kata ibu! Besok atau tidak sama sekali!" Sayangnya keputusan Indri sudah bulat, dan Torra pun harus dibuat terkejut untuk kedua kalinya, atas hal yang tidak biasa dari ibu mertuanya itu.
Tak ada bantahan lagi yang Torra berikan seiring dengan langkah kaki Indri ke dalam rumah, selain daripada menerima dan juga mencerna segala kegundahan satu demi satu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tolong, Ceraikan Aku! [END]
RomanceMenikah itu tidak mudah. Menikah dimaksudkan agar hidup kedua pasangan menjadi teratur dan terarah dengan baik, tapi tak jarang sebuah pernikahan hanya berlandaskan coba-coba, karena harus bertanggung jawab akibat tak kuat menahan hawa nafsu, lalu t...