Namjoon selesai merapikan meja makan dan duduk di sofa ruang tamu, menunggu secangkir kopi pekat hangat karena ditawarkan Seokjin yang berlalu ke dapur. Menolak Namjoon membantunya mencuci piring.
Setelah pengungkapan sesaat lalu, jarak keamanan mereka dirasa perlu guna memberikan masing-masing privasi dalam berpikir.
Namjoon terang-terangan mengatakan niat untuk melamar begitu masa berkabung usai. Dirinya tidak bisa menahan rasa rindu yang membludak dan ingin selalu merengkuh Seokjin dalam dekapan. Hari-hari belakangan mereka kembali berkomunikasi juga bertemu, tak cukup mengobati kesenjangan berpisah satu setengah tahun lalu.
Namjoon duduk gelisah. Satu sisi ia lega mengungkapkan semua beban di hati, sedang sisi lainnya ia khawatir Seokjin malah menganggapnya sama sekali belum dewasa karena tak sanggup mengatasi masalah diri.
Namjoon berpaling sejenak menatap bahu lebar yang membelakanginya di dapur. Penasaran mau tahu apa yang ada di benak sosok menawan itu. Karena setelah puas berkata-kata, tanggapan Seokjin biasa saja. Walau jelas kedua mata bulat indah itu berkaca-kaca.
Namjoon membuang pandang ke tautan tangannya, benci jika tak tahu makna dari tatapan bisu Seokjin.
"Mau gula atau krim?" Pecah suara dari dapur, sampai Namjoon terkesiap.
"Uh, tak usah. Hitam saja," jawabnya, begitu menoleh, Seokjin sudah berjalan menghampiri dengan cangkir mengepul di tangan. Namjoon bergumam terima kasih dan menyeruputnya pelan. Mata elangnya mengamati Seokjin yang pergi mendudukkan diri di seberang. Tepat saling berhadapan dengan memegang gelas buram yogurt dingin.
Kaki jenjang berselimut celana kain panjang itu menekuk ke atas sofa, merapat dengan pelukan lengan. Satunya memegang gelas dan diminum lamat-lamat.
Dua pria matang saling bertatapan di atas minuman masing-masing. Secara bersamaan, mereka menurunkan lengan masih tanpa melepas kontak mata.
Seokjin mendengkus, menggeleng tertawa. "Stuck on me, you said?"
"Yeah."
"Itu pasti menyusahkanmu."
"Tergantung persepsi. Dalam beberapa hal, aku sama sekali tidak merasa terganggu. Hanya ketika tidak bisa menjangkaumu saja, barulah itu sangat menyebalkan."
Seokjin menegak isi gelasnya lagi, tak berkedip menatap Namjoon. "It's more like, YOU obsessed on me, young man."
Namjoon mengangkat cangkirnya. "If you said so. I don't mind, at all." Lalu, ikut menegak.
Namjoon menyandarkan punggung, agar membuatnya lebih santai. Bahasa tubuh Seokjin mulai binal. Itu bisa berarti dua arah. Setuju dengan semua kalimatnya, atau sebaliknya dan itu masalah.
Seokjin menangkup gelas dengan dua tangan, berpaling ke arah jendela. Kesempatan yang digunakan Namjoon untuk menghela napas. Entah kenapa.
"Ini terlalu membingungkan. Aku tak suka."
"Bagian mana? Semua—"
"Ya, aku dengar, Namjoon. Aku dengar. Just ... let me take a moment." Seokjin menutup mulut, meremas pegangan gelas, masih setia menatap tirai jendela. Di luar terang, hanya bagian tipis yang dibiarkan menutup jendela juga pintu menuju balkon itu.
Suasana yang harusnya sejuk dan damai, tapi penghuninya sekarang tengah tegang.
"Aku ... aku tidak tahu harus bagaimana, Namjoon. Dadaku sesak," lirih Seokjin. "I'm the bad guy, if ...."
"Bad? What'd you mean bad? Kamu datang dan membuat diriku hidup kembali. Mananya yang jahat?"
Seokjin berpaling juga. Matanya berkaca-kaca lagi. "Kau suami orang! Apa yang akan dikatakan mereka jika kau sampai menikahiku? Karir dan kehidupanmu terlanjur jadi konsumsi publik dan aku tak bisa begitu saja merebutmu begitu istrimu tiada, Namjoon! Aku—" Seokjin menelan kalimatnya karena Namjoon berdiri mendadak, meletakkan kopi lalu menghampirinya.
Pengaruh kafein yang menghilangkan rasa mabuk dari soju ditambah kesadaran penuh untuk meluapkan emosi karena tidak puas dengan tanggapan yang malah dijawab klise, memompa Namjoon begitu saja merebut gelas Seokjin dan meletakkannya asal ke nakas terdekat, lalu menarik Seokjin berdiri.
Namjoon mengguncang tubuh yang terasa ringan itu sesaat. Menatap lamat-lamat ke kedua mata yang campur aduk meluapkan suasana hati.
"Don't you get it? I want you back for me."
"Tapi, aku masih bingung. Kau ...."
"Kamu memang membingungkan, cantik. Sedetik lalu kamu tampak nakal dan siap mengumpat padaku, lalu berubah menyedihkan dengan mata basah sambil mengatakan hal klise seolah aku tak memberi kejelasan apa pun. Ya. Kamu memang jahat, karena membuatku gila. Persetan kata orang! You're the one that i wanted! And it's now or no one does!"
Seokjin mendengkus. "What you gonna do 'bout it?" tanyanya, lalu menangkup rahang Namjoon, "itu obsesi, darling. Tidakkah kau melihat bagaimana posisiku jika menerimamu kembali?"
Rasa panas dalam dadanya perlahan reda seiring jemari yang mengusap lembut di pipi. Tak lagi meremas lengan dan ganti merengkuh pinggang, Namjoon memejam ketika Seokjin menarik tengkuknya, mempertemukan kening mereka.
"It's weird and addictive for me. Aku bisa memukul dan menendangmu keluar sekarang juga karena kau memaksakan afeksi, tapi lihatlah. Aku terlalu lemah."
Namjoon merengkuh erat sampai tubuh mereka berimpitan. Menyesapi rasa hangat Seokjin yang lama sekali hilang dari pelukan.
"Bae ...." Jemari ramping menekan bibir Namjoon, menolak kalimat keluar.
"Aku belum selesai, darling. Perlu kau ketahui juga, aku sendiri sulit bersikap dingin. Setengah mati menyadarkan diri agar menghalau semua kabar mengenai dirimu, bukan hal mudah. Sampai saat kulihat lagi dirimu di layar kaca, aku masih menahan agar tetap menyimpan jauh rasa yang pernah ada dan menggantikan itu semua dengan dalih persaudaraan, pertemanan atau sebut saja semua alasan itu, tapi nyatanya terjadi di luar kendaliku," Seokjin melingkarkan lengan ke leher Namjoon, mencari kenyamanan yang dulu selalu membuai, "untuk sesaat usahaku berhasil. Itu yang membuatku datang menemuimu, tapi ketika kutatap dan kudengar langsung dirimu masih mengingatku dengan panggilan manis itu, pertahananku mulai goyah. Aku tak bisa berpijak di mana pun. Karena semakin kucoba mengabaikan sikap lembut yang nyata tak berubah, diriku jadi lebih merasa berdosa." Seokjin tengadah, mereka saling menatap lekat, "do you know why?"
"No, i don't?"
Seokjin tersenyum lepas. Pendar kedua mata berkaca-kacanya jadi lebih indah, membuatnya begitu cantik di mata Namjoon.
"Karena aku menginginkanmu kembali, darling. Really, really bad."
Namjoon seperti diguyur air, segar dan lega bukan main begitu Seokjin tertawa dalam degup isak tangis. Mengusap juga menyentuhkan hidung satu sama lain.
"Aku merasa sangat jahat karena ingin merebutmu dari Hyejin. Kalian tampak bahagia dan—" Seokjin terbungkam kecupan yang perlahan menuntut. Napas tertahan saat dilepas, hanya untuk mendengar suara berat Namjoon membisikkan kalimat sayang.
"You own me, not her. Never was."
"Oh, i'm sorry. I'm sorry for doubting myself, i—i missed you, darling. I want you—" Seokjin kembali dibungkam kecupan, tapi lebih dalam melumat, mengecap juga mengeliat dalam mulut seolah Seokjin tidak nyata terasa dan ingin menelan habis. Sampai kedua lutut lemas dan mereka jatuh dramatis ke atas sofa, tak sedetik pun bibir terlepas.
Namjoon naluriah menindih Seokjin dengan gerakan tangan yang tak puas. Entah meraba punggung, perut atau menekan tengkuk agar semakin mentautkan lidah, semua jengkal tubuh Seokjin serasa tidak nyata dan ingin terus dirasa.
Tak ada kalimat apa pun diucap mereka selain mendesahkan sapaan sayang dengan lembut seperti baru saja bertemu setelah ratusan abad. Seisi ruang tamu apartemen sederhana itu jadi saksi bisu keintiman dua orang yang meluapkan rindu.
Namjoon yang ingin menguasai karena akhirnya bisa menumpahkan emosi yang tertahan disertai birahi, Seokjin sendiri yang membiarkan dirinya ditelanjangi agar terlepas dari sakitnya menahan diri untuk memiliki.
Mereka sedang ingin tidak peduli dengan logika dunia.
Mereka hanya mau kembali saling terikat dalam benang asmara, yang dulu berusaha diputus paksa.
.
(Lanjutkan pikiran kotormu! Until next page ...(°∀°)b)
KAMU SEDANG MEMBACA
.Bae | NJ [✔]
Romantik[BTS - NamJin] Semua orang layak diberi kesempatan kedua. Seokjin tahu, tapi apa ia berani mengambil itu? . . Desclaimer: BTS milik Big Hit entertainment, Tuhan YME dan diri mereka sendiri. Penulis hanya mengklaim plot dan alur cerita. (Start, Sept...